Pencalang Muatan

1436 Words
Rumah kebesaran terkhusus bagi Syaikh El Beheira, para sepuh dan menteri kerajaan hanya sepelemparan batu saja dari lingkungan istana. Putri Syahidah tinggal membelok saja ke dekat pagar pembatas istana dan sampailah ia di gerbang samping istana Sepinang. Begitu masuk ke halaman istana, tampaklah ia sosok Dayang Nilam tengah bermenung, tak jauh dekat dapur. Syahidah tersenyum dan dengan anggun ia dekati sahabatnya itu. “Aku sudah katakan tadi agar engkau melakukan apa yang engkau suka selagi aku keluar, Nilam. Mengapa engkau pakai waktumu untuk bermenung saja?” tegur Syahidah tiba- tiba. “Engku Putri,” kata Nilam yang terkejut karena kehadiran Syahidah. “Apa yang engkau menungkan ini?” Nilam menggeleng. “Tak ada, Engku. Oh, ada sempat terpikir oleh saya, kemanakah Engku Putri sampai- sampai Engku tak mau saya temankan.” Syahidah tersenyum. “Jangan pula engkau merasa tersinggung, Nilam. Bukannya aku tak senang berada dekat dengan engkau, namun aku hanya butuh waktu sendiri saja. Sesiang tadi, aku berjalan- jalan keliling negeri. Ada beberapa hal tentang kebid’ahan yang aku jumpai di negeri, dan ini aku sampaikan pada syaikh.” “Untuk apa, Engku?” “Untuk memberi pengajaran bagaimana Islam itu kepada penduduk, Nilam. Kebanyakan orang- orang mencampur- adukkan apa yang mereka percaya dulu dengan sekarang. Aku meminta tambahan waktu pengajian oleh syaikh untuk menambah pengetahuan masyarakat Sepinang.” Nilam mengangguk dan memberi hormat. “Permintaan Engku sangat baik sekali.” “Ya,” kata Syahidah. “Tapi masalah pun muncul pula. Syaikh dan aku belum bisa memutuskan kapan tambahan ini akan diadakan. Beliau hendak memperbincangkannya dulu dengan Ayahanda.” “Memang, Engku. Cukup sulit untuk melakukannya. Apalagi dari subuh hingga petang, orang- orang sibuk bekerja.” “Kau memang pandai, Nilam! Syaikh juga berpikir seperti itu pula. Itulah sebabnya syaikh berkata, bahwa butuh waktu beberapa saat sebelum tambahan pengajian mengenai Islam ini diadakan.” Nilam kembali mengangguk mengerti. “Dan juga...” Kata- kata Syahidah terputus, sebab ia merasa ragu. “Dan apa, Engku?” tanya Nilam penasaran. Wajah Syahidah merona merah. “Dan juga, aku menanyakan perkara... pemuda itu, Nilam. Hamid Yusuf.” Nilam membulatkan matanya terkejut. “Benarkah, Engku?” Syahidah cepat- cepat mengenggam kedua telapak tangan Nilam. “Jangan engkau tertawakan aku, ya, Nilam! Aku hanya bertanya pada syaikh, perihal bagaimana aku tidak terlalu memikirkan dia. Sembahyangku pun tak khusyuk. Dan syaikh memberi tahu beberapa hal.” Nilam memandangi engku putrinya itu lekat- lekat. “Engkau... tidak tertawa?” tanya Syahidah. Dayang Nilam diam sejenak, lalu ia tersenyum ramah. “Tak pantas bagi saya menertawakan Engku. Lagipula, tak ada salahnya dengan rasa suka.” Ia menatap Syahidah tepat pada bola matanya, seraya bertanya, “Jadi, sebenar sukakah Engku Putri pada Tuanku Hamid Yusuf?” Syahidah memalingkan pandangannya ke arah asap tungku yang bergulung dari dapur. Ia hirup sejenak aroma sore nan menjelang, sebelum menjawab pertanyaan Nilam. “Aku rasa... ya, Nilam, meski kadang aku tak terlalu yakin. Itulah yang aku perbincangkan dengan syaikh. Beliau bahkan memintaku agar Tuan Hamid Yusuf bisa menemui beliau.” Syahidah kembali memandang Nilam, namun kini matanya cerah berbinar. “Syaikh bilang, bila beliau rasa aku dan Tuanku Hamid Yusuf serasi, beliau akan bantu membincangkan ini dengan Ayahanda.” Sejurus kilat, senyum ramah di wajah Nilam agak memudar sedikit. Tapi itu sekejap saja, sebab kini ia sudah mengembangkan senyumnya lebih lebar lagi. “Kabar baik sekali, Engku! Semoga keberuntungan selalu menyertai Engku Putri.” *** Yazid Alam memanglah berbadan besar dan tegap, meski tak setegap adiknya, Badruddin. Ia tak banyak melatih prajurit sebagaimana Panglima Gafar Ali, namun hanya banyak mengawasi saja. Kini, ia tengah berdiri di ketinggian, tak jauh dari dermaga. Ia mengawasi kapal- kapal besar yang hendak menuju dermaga Sepinang, yang tampak makin mendekat. Semakin mendekat kapal- kapal itu, semakin menyeramkan saja rupanya sebab ukurannya yang besar. Terdengar bawahan Yazid, para pengawas dermaga, meneriakkan aba- aba. Yazid bukannya menghabiskan waktu saja mengawasi dermaga siang ini. Ia biasa menyerahkan pada pengawas bawah untuk urusan dermaga, tapi kali ini berlain sedikit sebab hari ini pengiriman pasokan bahan- bahan penting tengah diangkut. Kerajaan berencana akan membuat kapal perang baru, dan bahan mentahnya diutamakan yang berkualitas terbaik dan paling bagus. Ditambah lagi, kayu- kayu besar tak banyak di Sepinang.Kerajaan telah mengeluarkan uang untuk pembelian bahan terbaik dari negeri- negeri lain, dan bahan perakitan kapal perang itulah yang tengah diangkut kapal- kapal besar ini. Yazid memang pula sengaja merencanakan semua ini dilakukan siang. Sebab, di pagi hari, banyak pedagang yang ramai berdagang di pasar besar Sepinang. Keramaian pasar memang di pagi hari, meski pasar tetap ada hingga petang. Namun di petang, pasar tak seramai pagi lagi. Jadi menurut Yazid, jika pengiriman bahan ke Sepinang dilakukan pagi, tentu akan menghambat kegiatan jual- beli di Sepinang. Masyarakat merugi banyak. Kapal- kapal besar tampak makin mendekati dermaga, mengokah lautan hingga bergejolak tinggi. Para pengawas mengatur pelabuhan kapal-kapal itu supaya bisa menepi dengan aman. Pencalang dan kapal rakyat diminta menepi dulu hari itu, dan tidak melabuh di dermaga untuk setengah hari. Sebab akan menyulitkan tatkala pembongkaran muatan bahan, ditambah lagi dermaga Sepinang yang tidaklah besar. Pencalang- pencalang saudagar tertahan untuk sementara sampai pembongkaran muatan kapal besar itu selesai. Sementara itu, kapal sedang yang dinaiki Hamid Yusuf dan kawan- kawan juga mulai mendekati Sepinang. Mereka tentu terheran- heran, mengapa di tengah ombak laut banyak pencalang lain yang tidak berlabuh di Sepinang. Namun ia dan kawan- kawan mulai menaydari kehadiran kapal besar, yang tadinya tertutupi oleh kapal- kapal lain di depan mereka. “Tunggu, Tuanku! Ke tepilah dulu, tapi Tuan belum bisa berlabuh!”  sorak seorang pengawas kapal yang mengawasi tak jauh dari kapal Hamid Yusuf. “Ada apa ini gerangan, Tuan?” “Tahan dulu! Kerajaan tengah membongkar kapal bahan. Tuanku Yazid Alam ingin pembongkaran bahan selesai sore ini juga, Tuan!” “Baik! Terima kasih!” sorak pengendali kapal Hamid Yusuf. Ia memutar roda kendali kapal berbelok ke pinggir. Sementara itu, tak jauh dari tempat Yazid berada, tampak Badruddin. Ia baru saja datang ke dermaga, dengan maksud meminta peertimbangan Kakandanya agar ia bisa mendapatkan bagian di pengapalan. “Baru datangkah kapal bahan, Kakanda?” tanya Badruddin. Yazid menoleh ke belakang. “Benar, adikku. Aku sudah berpesan pada para pengawas agar segera membongkar begitu kapal pertama datang berlabuh. Para pembawa beban juga sudah siap dengan kereta pikulnya, dan sudah aku bagi dalam kelompok- kelompok. Semoga saja pembongkaran bisa selesai dengan cepat.” Badruddin mengangguk. “Kapankah hendak Kakanda mulai perakitan kapal?” “Secepatnya. Tapi banyak yang harus dipastikan dulu, jadi paling cepat besok lusa, Badruddin.” “Kakanda,” bisik Badruddin. “Bisakah kiranya Kanda memberikan saya di bagian pengapalan ini? Tak apa jika hanya membantu di bagian bawah pun, tapi saya teringin benar membantu Kanda.” “Badruddin,” panggil Yazid lembut. “Aku tahu, engkau sangat ingin mencoba banyak hal, segala sesuatu. Darahmu tengah bergejolak, darah muda. Ini tidak semudah yang engkau bayangkan. Baik jika engkau menyelesaikan perkara kesejahteraan penduduk dulu. Jika engkau sudah bisa dan banyak pengalaman, aku akan mencoba tanyakan bagianmu di keamanan pada Ayahanda.” “Tapi sampai kapan aku harus menunggu? Kapan aku bisa memulai?” “Pengalamanmu, Badruddin. Pengalaman,” kata Yazid menekankan. “Cobalah untuk menahan keinginanmu, itu lebih baik. Tapi tentu aku dengan senang hati menerima anjuran darimu, jika engkau punya.” Badruddin melengos, lalu memandangi gelondongan kayu besar yang tengah diturunkan. “Sudah semuanyakah ini, Kakanda?” “Belum,” sahut Yazid. “Masih ada sisa bahan yang hendak didatangkan esok siang.” Kening Badruddin berkerut. “Mengapa tidak selesaikan saja semuanya hari ini, Kakanda?” Yazid Alam tersenyum pada adiknya. “Jika kupastikan semuanya selesai sekarang, tentu akan sampai malam hari sampai semua barang diangkut ke sini, Badruddin. Engkau harus memperhatikan waktu istirahat pekerja pula. Lagipula, kita tak tahu semacam apa kualitas bahan yang dibawa di gelap malam.” Ia menoleh pada adiknya itu, seraya menambahkan, “Pengalaman sedikit- sedikit inilah yang perlu engkau pahami, adikku. Lebih cepat memang lebih baik. Tapi engkau mesti pertimbangkan pula banyak hal.” Badruddin tampak kesal dan jengkel mendengarkan nasihat Yazid Alam. “Lalu, mengapa tidak dari esok pagi saja, Kakanda memulai pembongkaran sisa bahan?” Yazid menggeleng sambil tersenyum. “Engkau tentu ingat besok hari pasar? Keramaian pasar di esok pagi tentu lebih lagi daripada pagi ini. Kita tidak boleh menghambat kegiatan perdagangan. Aku sudah memberi pengumuman, agar besok, perdagangan diselesaikan secepat mungkin hingga matahari tegak, tepat sebelum Zuhur.” Rahang Badruddin tampak mengeras begitu semua anjurannya ditolak Yazid Alam. Bukankah Yazid tadi berkata bahwa anjurannya akan didengarkan? Dengan menggerutu tentang kelambanan Yazid, ia meninggalkan dermaga itu. Sementara Yazid sudah kembali mengawasi pembongkaran, tanpa sadar kekesalan Badruddin dan bahwa adiknya telah meninggalkannya secepat ia datang tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD