Cahaya di ufuk timur tampak perlahan di pagi itu, menyibak langit biru pekat dengan silau emas kemerahan. Belum banyak penduduk Sepinang yang bangun, hanya emak- emak yang menjerang nasi di tungku berasap buat bekal suami ke sawah saja yang baru terjaga. Namun selebihnya, negeri itu lengang saja. Kokok ayam jantan terdengar sesekali, memecah hening.
Akan tetapi tidak dengan lingkungan istana. Para kadet prajurit istana sudah berlatih ketahanan sepagian itu, menitikkan peluh mereka di tanah pagi nan lembap. Panglima Gafar Ali-lah yang langsung turun tangan. Ada masanya memang panglima turun serta, tapi di hari biasa semua beliau serahkan pada pengawasan bawahannya satu- dua tingkat setelah beliau, termasuklah di dalamnya sang anak, Alif Samudera.
Hari itu, meski sang ayah yang memimpin, Alif dan kawan pemimpin latihan lain tetap turut mengawasi, memastikan semua calon prajurit berlatih dengan baik. Alif memegang pemecut rotan, kalau- kalau ada yang berdiri kurang kokoh pada kuda- kuda, atau lengan mereka bergetar tatkala berpedang.
Semuanya tengah sibuk berlatih tanpa satupun yang menyadari -baik Tuanku Panglima ataupun Alif- bahwa Baginda Syamsir Alam Syah baru saja turun ke halaman, ikut menyaksikan mereka. Hanya beberapa calon prajurit yang awal melihat beliau, dan mereka pun bersegera memberi salam hormat.
"Siapa yang menyuruh engkau salam hormat?" tanya Panglima Gafar Ali lantang seraya berbalik melihat kepada siapakah pemuda- pemuda itu menghormat. Sontak beliau begitu terkejut dengan kehadiran Baginda, dan ikut pula membungkuk.
"Maafkan saya, Baginda. Saya tidak melihat Baginda tadi."
Syamsir Alam Syah tampak tersenyum di balik misainya sembari menepuk punggung kawan karibnya itu. "Tak apa, Gafar. Tak perlu kau minta maaf."
Gafar tua yang bijaksana tersenyum pada Raja Syamsir Alam Syah. “Ada hal apa Baginda sekali ini datang mengawasi pelatihan prajurit? Ada hal pentingkah?”
Baginda tersenyum. “Tidak mengapa. Aku hanya ingin melihat sampai dimana pelatihan yang engkau bina, Gafar. Dan janganlah engkau berkata- kata padaku seakan kita ini orang jauh saja.”
Panglima Gafar Ali tertawa terbahak- bahak. Bergema, menggetarkan udara pagi sampai- sampai Alif Samudera, anaknya ikut menoleh sekilas pada ayahnya sebelum ia kembali mengawasi kelompok pemuda yang tengah berlatih tarung dengan belati. Tentu, mereka belum bertarung dengan sebenar belati, melainkan bilah kayu pendek yang diruncingkan.
“Jika kau memang meminta begitu, aku kabulkan, Syamsir,” kata panglima. “Nah, aku hendak bertanya sekali lagi. Apa ada yang mengganggumu, kawan? Kau tak biasanya datang ke pelatihan, dan awan di keningmu jelas- jelas menyatakan kegelisahan hatimu.”
“Tahu benar engkau rupanya,” sahut Baginda dengan senyum di bibir. “Tak banyak. Aku hanya tengah memikirkan anak- anakku saja, Gafar.”
Gafar Ali mengelus jenggot putihnya yang tumbuh liar di dagu, lalu bertanya, “Jadi, apa yang begitu menyusahkan hatimu tentang ketiga anak- anakmu?”
Syamsir Alam Syah menghela napasnya, menera kabut putih beruap di pagi buta. “Entahlah. Banyak saja pikiranku yang berkisar- kisar kesana kemari. Aku menggelisahkan Yazid Alam yang tak punya kekuatan sebesar Badruddin. Ia terlalu tenang, lebih menghanyutkan dari air sungai mengalir.”
“Tapi, tak ada yang salah dengan Yazid, menurutku,” kata Gafar Ali mengerutkan kening.
Raja Syamsir Alam Syah menggeleng. “Memang, tak ada yang salah. Namun aku tak pernah bisa menebak jalan pikirannya. Ia tak banyak bercakap. Berbeda sekali dengan Badruddin yang begitu lantang dengan apa yang ia maui, sampai aku tak bisa membendung kemauan kerasnya. Ditambah lagi, Yazid masih belum beroleh anak dari istrinya sekarang.”
Panglima Gafar Ali tersenyum. “Syamsir, perkara anak itu adalah rezeki yang Tuhan Allah aturkan untuk kita. Engkau tak perlu cemas begitu.”
“Benar,” kata Baginda. “Begitupun dengan jodoh, bukan begitu? Kurasa Syahidah pun sudah sampai umurnya, untuk mencari pasangan hidup dan berkawin.”
Kali ini Gafar tergelak. Geli hatinya mendengar kegundahan kawan karibnya ini. “Engkau menyusahkan hatimu tentang segala yang sudah Tuhan tulis di kitab-Nya. Sungguh, aku tak bisa membantu kalau begini.”
Baginda menggeleng putus asa. “Ya, aku ini rasanya terlalu berlebihan memikirkan ini- itu. Semacam akan pergi jauh saja, semacam aku akan menanggalkan tahta ini dalam waktu dekat.”
“Jangan mengira apa yang belum tampak, Syamsir,” kata Gafar. “Terlalu banyak memikirkan apa yang di luar jangkauan manusia pun tak baik, kebanyakan berpikir itu datang dari iblis. Jangan tertipu pikiran- pikiran buruk. Dan mengenai Badruddin, tak banyak yang bisa engkau lakukan selain membimbingnya dengan baik.”
Baginda Syamsir memandangi sekelompok pemuda tak jauh dari mereka berdua yang tengah dilatih prajurit kelas dua untuk ketahanan fisik. Ia berdiam diri beberapa waktu, lalu berkata, “Aku tak pernah merasa goyah dengan kesenangan hatiku pada perangai Syahidah. Aku banyak percaya kata- katanya. Ia jauh bijaksana dari saudara- saudaranya, bahkan Yazid sekalipun. Tapi kedua putraku ini, Gafar. Rasa ada perselisihan antara mereka yang aku tak pernah tahu. Mereka banyak diam, meski yang satu tenang dan yang satu memberontak.”
Gafar mengangguk sekilas, lalu bersorak ke arah anaknya Alif. “Kau lengah, Alif! Yang itu baru saja menyodok lawannya dengan sengaja!” teriak Gafar Ali dengan keras pada anaknya. Alif terkejut, dan cepat- cepat menghentikan dua pemuda yang tengah ia latih kini, yang salah satunya adalah Zainal. Alif meminta keduanya mengulangi tarung belati, yang dituruti Zainal dengan berat hati dan wajah kesal.
“Jangan engkau lewatkan yang sedikit- sedikit itu! Itulah gunanya bertekun dan disiplin!”
Alif mengangguk hormat pada ayahnya sejenak, lalu kembali memusatkan perhatian pada kelompok pemuda yang ia latih.
Sejurus kemudian Gafar Ali memutar pandangannya pada Syamsir Alam. Serta- merta ia berkata, “Tiap kita mesti mencemaskan anak masing- masing, rasa mereka belum cukup pandai menghadapi dunia ini. Kau lihat Alif, Syamsir? Anakku itu pemuda yang baik, tapi sayangnya kecerobohan dan ketidak hati- hatiannya selalu mencemaskanku.”
Baginda mengangguk.
“Aku bisa mempercayakan banyak hal padanya, tapi rasanya aku belum ingin melepas campur tanganku sepenuhnya. Alif masih terlalu rawan, belum banyak merasai tipu daya dan siasat buruk orang. Kesemua sifatnya itu sama sekali bukan campuran yang bagus. Belum lagi ketergesa- gesaannya dalam tiap keputusan,” kata Gafar Ali. Ia memutar badan menghadap Raja Syamsir Alam Syah sepenuhnya. “Itulah sebabnya kita ajari mereka ilmu, Syamsir. Memang, dunia ini tak akan hentinya bergejolak dengan masalah- masalah. Tapi kecemasanmu tak akan mengelokkan hubungan Yazid dan Badruddin lagi. Sering- seringlah berbicara dengan mereka.”
Baginda memilin misainya dengan dahi berkerut. “Aku setuju dengan perkataanmu, Gafar. Sayang sekali, selama ini aku tak punya waktu banyak bercakap dengan keduanya.”
“Tak hanya pada Yazid dan Badruddin, tapi pada Syahidah kau pun mesti berlaku sama,” tambah Gafar Ali. “Dan, bila kau berkenan menuruti nasehatku, kawan, kurang- kurangilah amarahmu pada mereka jika mereka salah, Syamsir. Kegusaran tak akan menyelesaikan apapun.”
***
Tak jauh dari perbincangan orang tua yang tengah memikirkan anak- anaknya itu, asap tampak menggulung dari tungku istana. Segala rupa perempuan yang bertugas memasak sudah sibuk di sana, mempersiapkan makan pagi keluarga istana. Dayang Nilam pun tampak tak jauh dari situ. Ia bukan diberi tugas berat semacam menjadi dayang sekaligus tukang masak, bukan. Ia dayang khusus putri yang tak dibebani beban kerja berlipat ganda. Namun., ia sudah bangun awal- awal untuk menyiapkan penganan kesukaan Putri Syahidah, pemberian khusus yang dia peruntukkan bagi beliau.
Ya, untuk sahabat sejak kecilnya itu.
Nilam merasa akhir- akhir ini isi hati tak berjalan baik sebab dirinya terlalu mengangankan Hamid Yusuf. Hatinya kadang berang melihat Putri Syahidah, tapi iba- kasihnya pun kadang muncul jua, timbul tenggelam. Ingin sekali ia mengistirahatkan kepalanya itu sejenak, sebab kepala itu juga sudah terlalu penat ikut dikacau- kacau isi hati yang tak menentu. Ia banyakkan zikir, mengulang- ulang apa yang sudah ditunjuk ajari oleh Syahidah. Hati dan pikirannya perlahan mulai membaik, dan ia merasa sebab Putri Syahidah jualah ia bisa banyak belajar cara membentengi diri dari pikiran dan perasaan buruk itu. Ia menyesal sempat memiliki sebongkah rasa benci dan iri yang datang tanpa sebab beberapa hari terakhir. Dan untuk itulah, ia ingin menghadiahkan rasa terima kasihnya untuk putri.
Nilam tersenyum seraya menata piring- piring penganan untuk Syahidah, sambil menegakkan telinga elok- elok mendengar bilakah azan Subuh berkumandang. Ia berniat meletakkan penganan ini di kamar putri, begitu Putri Syahidah pergi ke sumur mempersiapkan wudhu. Ia ingin memberikannya sebagai kejutan untuk sahabatnya itu.