“Betul sekali, Yusuf. Tiada yang lebih baik daripada engkau meluruskan niat terlebih dulu untuk menuntut ilmu apapun macamnya.”
Yusuf menatap hampa pada tumpukan kitab di hadapan Zaid. “Maksud engkau, niatku belum betul?”
Zaid tersenyum tenang. “Katakanlah padaku, apa yang sangat ingin membuatmu belajar tentang pemerintahan dan ilmu segala rupa ini?”
“Tentu karena dorongan hatiku sendiri. Aku ingin menjadi sebenar lelaki. Lelaki sejati dan anak Ayahandaku sesungguhnya, Raja Asyfan Nazhim.”
“Kau benar. Tapi ingatkah engkau Yusuf, sejak bilakah kau benar- benar bertekad untuk berubah?”
“Sejak –“
“Bila kau tiada menganggap aku terlalu lancang, dapat aku katakan bahwa semuanya bermula sejak perkenalanmu dengan Tuanku Putri Syahidah.”
“Ah.”
Zaid menepuk bahu Hamid Yusuf, menguatkan hatinya. “Aku tiada mempermasalahkan keinginanmu untuk menjadi lebih baik. Aku juga tiada menganggap perjumpaan engkau dengan Tuanku Putri semestinya tak terjadi. Bukan begitu. Engkau bersua dengannya, adalah suatu yang tiada mampu kau hindari karena sudah termaktub dalam takdir-Nya. Perasaan engkau yang tumbuh untuk Tuanku Putri juga bukanlah sesuatu yang salah, sebab Tuhan Allah ciptakan rasa kasih dan sayang di antara makhluk- makhluk-Nya. Namun, apabila keinginan engkau menuntut ilmu pemerintahan, belajar siasat dan pedang, serta menuntut ilmu agama adalah karena seseorang yang engkau sukai, maka semua yang kau pelajari tiada akan bernilai lagi.”
Hamid Yusuf manggut- manggut. Perlahan- lahan, seluruh ucapan Zaid masuk dan mulai meresap dalam kepalanya. “Kurasa Tuan Guru pun pernah menyampaikan sebuah hadits tentang niat ini. Bahwa perbuatan tergantung niatnya, dan balasan bagi setiap orang tergantung apa yang ia niatkan.”
Zaid merangkul erat- erat sahabatnya. “Engkau hafal haditsnya! Tambahan lagi, bahwa ‘Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan’. Menuntut ilmu –yang semestinya engkau bisa mendapat pahala dan keridhaan Tuhan Allah sebab ia adalah suatu ibadah – hanya akan menjadi sia- sia belaka tanpa pahala bila engkau memiliki niat yang salah. Ingatlah, perjumpaanmu dengan Syahidah mungkin menjadi awal mula engkau ingin berubah lebih baik, tapi jangan jadikan itu sebab perubahanmu. Awal mula tiada sama dengan sebab. Dan perjumpaan itu pun takkan terjadi bila bukan karena Tuhan Allah yang menetapkan.”
“Aku paham,” ujar Yusuf. “Seharusnya aku meluruskan niatku terlebih dulu untuk menjadi lebih baik karena-Nya.”
“Engkau benar sekali. Dan bila kita kembali pada perumpamaanku tadi –bahwa bila aku tiada meluruskan kitab- kitab ini maka ia tiada akan dapat dikembalikan ke perpustakaan –maka begitu pulalah dengan ilmu dan ibadah. Bila niat ilmu dan ibadahmu bengkok sejak mula, maka ia tak akan dapat memberi manfaat bagimu kelak. Bukan hanya manfaat, tapi ia juga akan cepat pudar dari ingatan, hilang tak berbekas.”
***
Dalam pada itu, di ruang utama istana tak jauh dari tempat Hamid Yusuf dan Zaid duduk berbincang, dua kakak beradik di kerajaan itu pula tengan bercakap- cakap hal penting. Mereka mempercakapkan masalah pemerintahan, dan pengaruh yang disebabkan oleh surat pertambahan pajak khusus dan titah pengurangan biaya untuk pedagang Sepinang ke negeri mereka. Apalagi Baginda Raja juga menyampaikan pada pedagang asli Seperca, agar menaikkan juga sedikit harga barang mereka agar tambahan pajak yang dipinta Sri Diraja Pulau Besar tak menyusahkan di kemudian hari. Oleh sebab itu, maka ada pertambahan sedikit pada harga hasil kain tenun tekat dan sulaman Seperca.
“Untungnya tiada seberapa berubah, Kakanda,” kata Zafan. “Negeri kita punya kelebihan dalam perdagangan kain, benang dan serupa dengannya. Tiada yang dapat menandingi keelokan tenunan dan kain kita pula. Jadi para saudagar ini tetaplah harus datang mengambil barang ke sini, sebab tiada pilihan lain yang mesti mereka ambil bila hendak mendapat barang terbaik, lebih- lebih lagi tenunan dan sulaman.”
“Engkau benar,” ujar kakaknya, Baginda Asyfan Nazhim, mengiyakan. “Tapi aku yakin benar bahwa para pedagang tenunan dan sulaman nanti akan menaikkan harga barang mereka lebih banyak. Pabila dagangan itu diperjualbelikan di negeri lain nan jauh, tentu tiada menjadi masalah buatku. Namun apabila pengolah kain sudah menaikkan harga sehingga tenunan dan sulaman di negeri Seperca juga menjadi mahal, maka tentu tak banyak lagi penduduk Seperca yang mampu membeli. Alangkah elok bila kita memperdagangkan sesuatu, rakyat kita mampu jua mendapatkan dan membelinya.”
“Jadi bagaimana usul yang elok menurut Kakanda Baginda?”
“Tentu ini akan kita musyawarahkan bersama bersama pejabat istana dan para menteri terlebih dulu. Terlebih lagi akan terasa benar harga kain asli Seperca dan kain Sepinang yang didagangkan di sini. Apakah mungkin bila kita dapat menyuruh para pedagang asli negeri kita untuk melipatgandakan harga jualan di luar Seperca?”
Kening Zafan berkerut. “Tentu perlu hitung- hitungan yang banyak, Kakanda. Mereka juga mesti menimbang untung- rugi mereka. Dan dengan penetapan begitu, sangat mudah tersiar kabar bahwa harga di Seperca lebih rendah, sehingga berduyun- duyunlah para pembeli untuk datang kemari. Mereka tak akan banyak mendapat jual- beli lagi.”
“Aku amat mafhum dengan pemikiran itu. Kita juga tiada dapat merugikan para saudagar kita sendiri. Dan engkau juga tiada boleh lupa, bahwa bila pedagang kain menaikkan harga, ada kemungkinan petani juga ikut menaikkan harga sawah ladang mereka. Walau kita tak banyak bergantung di situ, tapi mereka tentu tak ingin ketinggalan mendapat untung lebih banyak.”
“Benar, Kakanda. Soalan ini memang pelik.”
“Jadi sepertinya, kita memang perlu merembukkannya bersama menteri dan pejabat kerajaan. Tiada guna kita memeningkan perihal ini berdua, sebab tiada hasil yang kita dapat. Engkau usahakan memberitahukan mereka untuk datang pada perembukan esok pagi, Zafan. Dan mintalah Hamid Yusuf turut serta. Walau menurutku, tanpa diminta pun, mungkin Yusuf akan bermaksud dalam hatinya untuk ikut dalam perembukan esok.”
Wajah Zafan bergerak aneh. “Mengapa kita mesti mengajak Yusuf serta, Kakanda? Maksudku –ia pemuda yang belum matang benar. Ilmunya pun belum sampai lagi. Terlebih sudah sepekan ini pula ia tiada belajar dari Tuan Guru.”
Asyfan Nazhim hanya tersenyum melihat keresahan adiknya. “Memang benar, adikku. Ia belum cukup ilmu untuk bisa menduduki jabatan apapun. Namun ia sudah memiliki cukup bekal untuk mulai menggunakan ilmu yang ia pelajari sejauh ini dalam pemerintahan. Aku perlu mengajarinya sedikit- sedikit tentang masalah kerajaan, sebelum benar- benar mewariskan tahtaku padanya nanti.”
Mendengar itu, Zafan hanya dapat menelan ludah.
Asyfan menyambung, “Aku juga mendengar kabar dari putraku bahwa Tuan Guru sakit akhir- akhir ini, namun dapat kulihat kekerasan hati Yusuf untuk terus belajar semampunya meski Tuan Guru belum dapat datang. Aku sangat menghargai itu, dan oleh sebab itulah ia pantas untuk diajak pada musyawarah besok, sebagai pengalaman baru baginya. Lagipula ia masih muda lagi dan sering bertualang. Ada kiranya ia dapat memberikan kita bantuan pendapat tentang apa yang terjadi di tengah- tengah penduduk sebagaimana yang ia lihat selama ini.”
Zafan diam, tiada dapat menunjukkan kekesalan yang berlipat- lipat dalam hatinya.
“Jika memang Kakanda berpikiran begitu, tentu itulah yang terbaik. Aku akan menurut dan patuh. Namun sudahkah Kakanda berpikir Yusuf ini sudah cukup masanya untuk menikah? Dan perempuan yang hendak ia lamar itu berasal dari negeri seberang pula, Sepinang. Adakah Kakanda merasa, hubungan keluarga ini nantinya juga akan berpengaruh jua pada hubungan perkawanan kita dengan Sepinang?”
Raja Asyfan mengelus misai dan jenggotnya, sebagaimana yang selalu ia lakukan bila tengah memikirkan sesuatu yang pelik. “Bila kita lihat umur, maka memang Yusuf sudah baligh, mampu membedakan yang baik dan buruk, dan akalnya pun sudah bertambah jua. Ia juga tiada lagi sibuk bermain sebagai dahulu, dan cara berpendapatnya pun sudah mendalam. Namun memang, ia masih perlu belajar banyak dan memahami siasat- siasat dalam pemerintahan. Seiring waktu, insya Allah ia akan dapat memecahkan persoalan negeri sedikit demi sedikit.”
“Tapi tentang niat perkawinannya?”
“Tentu Yusuf sudah tahu apa yang ia perbuat. Perkawinan akan berarti besar baginya, sebab tanggung jawab yang mesti ia pikul bertambah. Dari sinilah, kurasa, ia dapat mulai mengerti apa itu sebenar tanggung jawab. Ia dapat belajar membina perkawinannya dulu, sebelum nanti membina Seperca.”
Zafan mengeluh dalam gumaman. “Namun itu sangat berbeda, Kakanda. Manalah lagi kita tiada paham benar tabiat orang Sepinang. Aku lihat sejak perembukan Kakanda dengan Baginda Syamsir Alam itu, hanya kita yang menenggang rasa rakyatnya. Sedangkan sakit pedih negeri kita, hanya kita yang menanggung. Padahal, kita ini satu rumpun. Namun tak tampak sama sekali persaudaraan sedarah se-Melayu kita pada diri mereka.”
Baginda Asyfan Nazhim memegang bahu adiknya dengan lembut. “Perkawinan dan pemerintahan memang berbeda. Yang satu memakai rasa, yang satu memakai pikiran. Namun pelimpahan beban tanggungan tetap hampir serupa juga kiranya. Maka dari itulah kita perlu membimbing Yusuf untuk mulai bertanggung jawab pada keluarga kecilnya dulu, sebelum menjangkau keluarga yang lebih besar –Seperca.”
“Dan kerisauanmu mengenai ketidaksamaan tenggang rasa antara negeri kita dan Sepinang,” lanjut Baginda seraya memandang alam jauh, “Ini bukan masalah saling membalas kebaikan. Kurasa, sudah tak terhitung pula banyaknya bantuan- bantuan dari Sepinang yang sudah kita terima selama ini, tanpa pernah kita sebut- sebut. Itu sebelum masalah yang ditimbulkan oleh surat dari penguasa Pulau Besar. Jadi elokkah rasanya kita menghitung perbuatan kita? Lagipula, perihal ini kitalah yang memutuskan terlebih dulu untuk membantu Sepinang. Tiada baik bila kita menghitung perolehan dari apa yang kita putuskan sejak pertama. Elok kita melihat apa yang menjadi perkara di pelupuk mata, sebelum memandang apa yang jauh dan membuat api di sana.”