Sebelum Besok Hari

1239 Words
Alif Samudera tiada pernah mencederai janjinya barang sekalipun. Begitu pula dengan janjinya saat sekarang. Walau hatinya tak terkira sedih, hampa, lagi kosong semenjak percakapan ia dengan Syahidah, ia tetap meminta ubat dari tabib untuk Syahidah. Ia suruhkan pelayannya membawakan ubat itu ke istana. Ia jernihkan hatinya, sebab apapun yang terjadi antara ia dan Syahidah, pemuda itu terus mengharapkan kepulihan gadis itu selekas mungkin. Dan Tuhan Allah memang Maha Mendengar doa, terlebih pula doa yang begitu tulus dipanjatkan. Beberapa hari kemudian Syahidah mulai kembali sembuh dan riang sebagai biasa, dan ia dapat jua menyaksikan hari terakhir gelanggang. Tentunya dayang Nilam selalu menyertainya. Di hari terakhir itu, dilangsungkan pertandingan wau –semacam layangan tradisional Melayu. Sangat banyak anak- anak muda turut serta menerbangkan wau mereka, yang beragam warna- warninya bertabur di langit. Berupa- rupa wau yang melayang itu, ada yang besar dan kecil. Namun tak satupun di antaranya yang tak punya hiasan meriah, sebab yang dipertandingkan adalah wau siapa yang paling cantik dan paling tinggi terbang. Syahidah dan Nilam berjalan ke pinggir, mencari tempat yang paling bagus untuk mereka berdua mengamati sebab hari itu matahari amatlah menyilaukan. Keduanya akhirnya duduk di sebuah batu besar dekat situ masih dengan air muka terperangah dan terkagum- kagum, sebagaimana semua yang menonton di sana –sebab menyaksikan bentuk rupa wau yang indah- indah. Alif juga berada di lapangan negeri menonton pertandingan, namun tanpa ia sadari, kakinya melangkah menuju tempat Syahidah dan Nilam duduk. Matanya masih saja terpaku pada wau yang paling besar –tak jauh darinya –sedang ia tiada begitu memperhatikan jalan. Hampir saja ia tersandung oleh kerikil, namun untunglah Alif cepat menyadari. Tepat ketika Syahidah dan Nilam juga memperhatikan pemuda itu. “Berhati- hatilah engkau berjalan, Al—“ “Terima kasih,” potong Alif dengan wajah kaku. Lekas ia mengangguk, tanpa senyum dan tanpa beramah- tamah semacam biasa. Ia pun membungkuk sopan sedikit lalu berbalik pergi ke arah lain. Syahidah menghela napas. “Engkau sepertinya betul pasal ini, Nilam,” mulai gadis raja itu memperhatikan tanah kering yang ia pijak. “Mungkin memang lebih baik aku dan Alif tidak bercakap banyak lagi sebagaikan dulu. Hanya akan menambah perih hati Alif, dan hatiku pun perih karenanya. Aku benar- benar merasa bersalah.” “Ini sama sekali bukan kesalahan, Engku, ataupun Tuanku Alif,” kata Nilam menghiburkan. “Semuanya memang akan berat di awal- awal, terlebih bagi Tuanku Alif. Ini masa- masa pelik untuk beliau. Tapi semakin bertambah masa, maka akan semakin memudarlah semua beban itu. Dan nanti Engku Putri akan bisa lagi menjalin perkawanan dengan beliau.” Syahidah manggut- manggut. Mungkin sekali ia akan terus memikirkan perkara ini, bila saja Syaikh El- Beheira tak datang memberi salam kepadanya. “Waalaikumussalam warahmatullah, Tuanku Syaikh” jawab Syahidah dan Nilam yang serempak berdiri dari duduk. Mereka menunduk sopan, dan lalu Syahidah pun menanyai kabar beliau. “Alhamdulillah, diriku baik, Ananda,” ujar Syaikh dengan senyum menenangkannya. “Aku dengau engkau sakit beberapa hari, Syahidah? Sudah sehatlah engkau rupanya, sehingga dapat menyaksikan pertandingan wau.” “Alhamdulillah sudah, Tuanku Syaikh.” “Syukurlah. Kesehatan benar- benar dibutuhkan menjelang hari- hari ini, bukan begitu, Anakku? Terlebih lagi esok.” Syahidah hanya tersenyum simpul, namun dapat jualah ia mengira apa yang dipercakapkan Syaikh El- Beheira. “Adakah engkau bertemu lagi dengannya semenjak gelanggang ini?” “Tidak ada, Syaikh. Hanya sekali, sebelum gelanggang. Syahidah menyampaikan perihal pesan Syaikh waktu itu,” kata gadis itu dengan muka memerah. “Baguslah, baguslah. Orang muda yang hatinya tengah berbunga- bunga rawan sekali ditipu syaitan. Percayalah, pertemuan kalian berdua dengan keluarga akan membuat engkau dan pemuda itu jauh lebih baik. Nah, aku baru sahaja mendapatkan sebuah surat dari pemuda Hamid Yusuf,” kata Syaikh seraya mengeluarkan selipat kertas dari selempang sarungnya. “Dia berkata, insya Allah dia akan datang besok siang, bila tiada halangan merintang.” Syahidah merasa malu menjalar di urat- urat wajahnya bila membincangkan Hamid Yusuf, dan Syaikh pun tampak memafhumkan perihal itu. Pemuka agama sepuh itu tergelak melihat anak Raja yang terlihat berdegup cemas dan malu di hadapannya itu. “Tiada mengapa, Syahidah. Aku paham bagaimana perasaan engkau sekarang. Namun walaupun kedatangannya telah diberi izin langsung oleh Ayahandamu untuk bertemu muka langsung dengan beliau, mesti jua engkau mengatakan pasal ini sekali lagi. Selain itu pula, yang akan menemuinya tak setakat Baginda Syamsir saja, namun juga aku, Tuanku Abdul Jalil, dan saudara lelaki engkau.” “Baik, Syaikh.” “Nah, marilah ajak serta dayangmu, Anandaku. Aku yakin benar kalau pemuda Hamid Yusuf ini juga telah mengirimkan surat pada Baginda –memberitahukan kedatangannya esok. Mari, engkau perlu bertemu dengan Ayahandamu hari ini. Aku juga akan ke istana pula petang ini.” *** Sepekan sudah berlalu semenjak Hamid Yusuf belajar sendiri tanpa bimbingan Tuan Guru. Ada ia menjenguk guru beberapa kali sesudah kedatangan di hari pertama, dan wajah Tuan Guru memang tampak berangsur- angsur cerah. Beliau mulai dapat bangkit dari tempat tidur, sudah berdaya dan bertenaga. Namun demi kesehatan beliau dan sebab nasihat dari tabib, Hamid Yusuf meminta jua pada beliau untuk berehat beberapa waktu lagi. Sejak ia belajar sendiri itulah, ia banyak minta ditemankan oleh kawannya, Zaid. Yusuf memang jujur mengakui kalau kawannya itu lebih mendalam daripadanya dalam hal ilmu agama, dan oleh sebab itu ia bertanya banyak pada Zaid bila ada soalan buntu di hadapannya. Petang itu, ia dan kawan eratnya duduk di balai- balai luar dengan kitab- kitab terletak di atas meja. Mereka baru saja lepas belajar. Sementara Zaid memperhatikan beberapa buku di situ, Yusuf terlihat berulang- ulang menghirup dan menghela napas. “Lengkap benar pustaka istana ini,” kata Zaid yang menatap buku- buku di depannya dengan rasa puas. “Bolehlah engkau sering datang ke sini setiap hari, Zaid. Engkau dapat membaca sesuka hati dan sebanyak engkau mau. Aku akan memberikan perintah pada pengawal gerbang untuk mengizinkan kedatangan engkau.” “Terima kasih, kawan.” “Sama- sama. Aku hanya membantumu sedikit- sedikit, sebab aku tahu, tanpa bantuanku pun engkau tetap akan menjadi orang yang pandai- bijaksana kelak. Engkau orang yang selalu haus ilmu, dan mudah benar bagimu untuk belajar dua tiga kitab sehari. Berbeda sekali denganku,” keluh Yusuf. “Sepekan tanpa Tuan Guru telah membuat kepalaku pening luar biasa.” Zaid tertawa kecil. "Bukan setakat cepat atau lambat kita belajar. Lagipula menuntut ilmu bukanlah semacam berpacu kuda. Engkau hanya perlu tekun." "Benar juga katamu itu." "Nah, ada yang ingin kutunjukkan padamu, Yusuf." "Apakah itu?" tanya Yusuf ingin tahu. Zaid memberi isyarat pada Yusuf agar lebih mendekat sedikit dan melihat ke meja di depannya. Teronggok segala macam buku yang diambil Yusuf dari pustakan istana, berserak. Zaid pun menyusun buku- buku di tersebut, lalu ia luruskan jari- jemarinya di sisinya. “Engkau bisa lihat, Yusuf? Aku tengah menumpuk semua kitab, satu di atas yang lainnya. Namun adakah semua kitab ini terlihat bagus tersusun apabila aku tidak meluruskan jari- jariku di sampingnya?” “Tentu tidak.” “Betul. Engkau juga tiada dapat mengembalikan semua kitab ini ke rak perpustakaan istana tanpa engkau luruskan siku- sikunya.” Yusuf menoleh pada Zaid, penuh rasa tertarik. “Begitu pula dengan diri engkau, kawan,” sambung Zaid lagi. “Mungkin memang tak serupa benar aku memberi misalan, tapi sebanyak apapun ilmu yang engkau cari di dunia ini, tiada engkau akan mampu mengaturnya dalam kepalamu dan mengamalkannya dengan baik apabila ada satu yang tiada kau luruskan terlebih dulu.” “Apatah gerangan itu?” “Niatmu,” jawab Zaid singkat. “Niat?” gumam Yusuf mengulang jawaban Zaid seraya mengerutkan keningnya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD