Dugaan Alif

2302 Words
Hari berikutnya, gelanggang negeri memang terus dilangsungkan sebagaimana biasa. Pertandingan sepak raga oleh prajurit kemarin dilanjutkan, lalu diikuti pula dengan permainan yang dimainkan para lelaki dan bujang semacam layang- layang, dayung perahu, dan masih banyak lagi. Alif melakukan sebagai yang disuruhkan Yazid. Ia mengatur jalannya gelanggang dengan baik, dan kala itu sepak raga prajurit masih belum selesai lagi ia mainkan beserta kawan sepasukannya. Salah satu dari kawannya melambungkan bola rotan itu tinggi- tinggi, mengarah ke Alif. Pemuda itu pun berlari kecil ke muka, dan dengan mata kaki bagian dalam ia tangkaplah bola rotan itu. Alif memantul- mantulan bola itu di kakinya beberapa saat, sebelum bola rotan ia sepakkan dengan ujung betis. Raga itu berpindah di udara. Untuk sekejap ketika ia menyepak, Alif menoleh ke arah panggung keluarga kerajaan dan pejabatnya. Di sana memang masih banyak karib kerabat Raja. Ada Ayahandanya, Gafar Ali, beserta Badruddin. Baginda Syamsir tentulah sibuk dengan segala urusan istana, begitupula Yazid. Namun bukan merekalah yang jadi tujuan mata Alif. Tiada gadis kesukaan hatinya di sana. Syahidah tidak berada di salah satu kursi panggung, begitupula dengan dayangnya. Alif dapat merasakan jantungnya agak jatuh sedikit. Ada ia berharap kalau- kalau gadis itu melihat dirinya agak sekali. Satu kali saja. Alif tiada mampu menerusi perhatiannya pada sepak raga sekarang, sebab pikirannya berkisar- kisar pada Syahidah. Permainan di pelupuk matanya itu tiada lagi menarik selera hatinya, sedang hati itu terus bertanya- tanya mengapa gadis dambaannya tak kunjung datang ke gelanggang hingga sore beranjak. Oleh sebab itu, lepas selesai pelaksanaan permainan dalam sehari itu, Alif segera pergi dari lapangan negeri. Ia pergi menuju istana, meminta izin agar dapat bertemu dengan Putri Syahidah. Pengawal istana mengabarinya kalau Syahidah tengah beristirahat di kamar, dan dapatlah ia memintakan pada dayang untuk memanggilkan Tuan Putri menemui Alif. Selagi itu, Alif Samudera menunggu Syahidah di ruang baca beliau. Sementara pengawal mendatangi Syahidah beserta dayangnya, Alif memperhatikan buku-buku yang ada di ruang baca gadis itu, yang berupa sekumpulan kertas kulit kayu diikati oleh serat batang. Pemuda itu berjalan lambat- lambat memperhatikan setumpuk kertas yang belum lagi selesai ditulisi Syahidah, berisi perihal ajaran Ketuhanan dan pokok agama lain yang diajarkan Syaikh El- Beheira. Ia amati elok- elok tulisan Arab- Melayu Syahidah yang miring dan halus itu, dan bibirnya pun memulaskan senyum. Dari jauh, terdengar langkah- langkah kaki mendekati ruang itu, dan Alif pun berbalik menghadap pintu, menunggu. Tiada lama sesudah itu, muncullah Syahidah. “Syahidah!” seru Alif dalam keterkejutan yang amat sangat. Tiada ia menyangka gadis itu datang dengan dipapah Nilam. Selain itu, pipinya yang selalu memerah sebagai terkena sinar segar matahari, tampak begitu buram tanpa cahaya. Walau tetap anggun, namun geraknya tiada bertenaga. Tiap- tiap buku jemarinya pasi sebagaikan terendam air dalam masa lama. Alif segera mendekati Syahidah, cemas kalau- kalau gadis itu rubuh di depannya. Ia ingin menolongkan memapahnya, tapi Alif tahu agama dan adat. Ia perhatikan Syahidah yang berusaha terlihat gembira, namun sia- sia saja. Sakit yang menyerang telah menyuramkan ronanya dengan amatlah banyak. Perlahan, Nilam mendudukkan Putri Syahidah di atas sebuah kursi beralas bantal empuk, lalu menambahkan sandaran di punggungnya. “Terimakasih, Nilam,” kata Syahidah dalam suara yang serak. Nilam mengangguk dalam kerisauan. “Saya akan ambilkan minuman untuk Tuanku Alif dan Engku Putri.” Gadis dayang itu mundur dengan halus, lalu berjalan ke arah dapur istana di belakang. Alif kembali memandang Syahidah yang ada di depannya. “Untunglah Nilam selalu ada bersama engkau di saat- saat seperti ini, Syahidah,” tukasnya. “Ia memang dayang yang amat baik.” “Dia bukanlah kuanggap sebagai dayang lagi. Dia sudah menjadi sahabatku sejak aku lahir. Bahkan di saat ia memiliki masa’alah sekalipun, Nilam selalu menyertaiku dan mendahulukan kepentinganku. Bila dapat kukatakan, Alif, tiadalah aku sekedar beruntung, tapi patut bagiku bersyukur karenanya,” sahut Syahidah panjang- lebar. Ia terbatuk sekali- dua. Alif mengangguk setuju, lalu berujar lagi dengan terbata- bata. “Maafkan aku, Syahidah. Tiada aku mengetahui kalau engkau tengah sakit payah semacam ini,” kata Alif terbata- bata. Syahidah memandang Alif dengan matanya nan lembut. “Tiadalah sakit ini memayahkanku, Alif. Ini ringan saja. Engkau paham benar aku tiada terbiasa melihat kekerasan, terlebih setelah apa yang terjadi kemarin. Janganlah engkau risau.” “Suaramu sangat parau, Syahidah. Dan engkau beberapa kali batuk. Bagaimana rasa keadaan badanmu sekarang?” “Alhamdulillah, sudah agak berkurang sakit kepalaku sedikit, walau terkadang panas dingin juga. Tampaknya aku hanya dapat menonton permainan negeri saat hari terakhir.” “Nanti akan kuberikan ubat- ubat mujarab langsung dari tabib untukmu.” “Tidah usah, Alif. Engkau datangpun, aku sudah teramat senang. Janganlah meletihkan dirimu dengan teracap bolak- balik ke sini hanya karena Tuan Putri ini,” kata Syahidah menunjuk dirinya sendiri dengan senyum. “Aku tiada merasa susah setitik pun, sebab nanti pelayanku sendiri yang akan mengantarkannya untuk engkau, Syahidah. Nah, sudah puaskah hatimu?” Bola mata Syahidah tampak bercahaya. Senang benar ia kiranya dapat bercakap- cakap dengan Alif. “Ya, baiklah, bila engkau bersikeras.” Alif Samudera menunduk malu. “Tak elok benar syak hatiku ini. Semenjak pagi tadi aku selalu bertanya- tanya, apa gerangan yang menghalangimu untuk datang ke gelanggang hari ini. Ada hatiku terkesan, jangan- jangan engkau tak lagi suka menonton permainan negeri, atau mungkin kau tiada suka melihatku.” Syahidah tertawa kecil sembari menutup mulutnya dengan punggung tangan. Wajahnya juga mulai gembira. “Nah, yang kau lakukan sekarang amatlah tepat kiranya, dengan menanyaiku langsung tentang ketiadaanku di gelanggang tadi. Bukankah engkau tahu benar girang hatiku bila ada keramaian seperti ini? Dan engkaulah yang amat hafal tentang bagaimana perasaanku menunggu- nunggu gelanggang negeri tiap tahun.” Alif meminta maaf sekali lagi, lepas itu terdiam. Sementara Syahidah tampak gundah, namun apa yang ia gundahkan itu akhirnya ia katakan jua. “Alif, bila boleh, aku ingin menanyaimu perihal sesuatu.” “Tanyakan saja, Syahidah.” “Aku –aku sendiri juga bingung hendak memulainya bagaimana. Namun, aku ingin tahu apa engkau pernah mendengar kabar apapun beredar di istana ini.” “Kabar semacam apa?” “Kabar –,” kata – kata Syahidah kembali terhenti. Ia mengigit bibirnya yang kering dan pasi akibat sakit, sebab ia takut apa yang ia katakan nanti membuat Alif sedih. “Sepertinya ada yang membuatmu ragu mengatakan sesuatu padaku, Syahidah.” “Aku tiada menyangkal itu,” kata Syahidah. Ia menghirup napasnya dalam- dalam. “Aku sungguh senang berkawan denganmu sejak masa kecil dulu. Dan sampai sekarang pun, aku tiada merasa ada yang perlu aku keluhkan terhadap dirimu. Hanya saja –mengapa engkau terlalu memperhatikanku semacam ini?” Tergelak Alif mendengarnya. Namun sebelum ia menjawab, Nilam sudah terlebih dulu masuk membawakan nampan berisi gelas- gelas. Setelah meletakkan kedua gelas itu di meja, Nilam bermaksud lekas- lekas pergi dari situ. Namun lengannya ditahan oleh Syahidah. “Engkau bersamaku di sini saja, Nilam. Tak apakah bagimu, Alif?” “Tentu, tiada mengapa. Lagipula, engkau juga akan sering membutuhkan Nilam saat jatuh sakit,” kata Alif mengiyakan. “Nah, aku jawab soalanmu. Tentulah aku sangat memperhatikanmu, sebab kita ini sudah lama berkawan, bukan begitu? Orang yang saling mengenal tiada salahnya saling merawat satu sama lain.” Syahidah menggeleng. “Engkau tahu kalau yang kumaksud bukan itu, Alif. Engkau pun acap pula mengatakan itu padaku.” Nilam –yang duduk gelisah di samping Syahidah –tampak merasa tak enak berada dalam percakapan penting antara kedua bangsawan itu. Tapi ia tiada berdaya, sebab ia takut memotong pembicaraan mereka untuk meminta izin. “Baiklah,” tukas Alif. “Engkau memang sudah sebagaikan tangkai kalbu bagiku, dan perasaan itu sudah tumbuh sejak lama. Aku juga sudah berkali- kali menyampaikan maksudku padamu, dan selalu kautolak. Namun, tiada dapatkah aku setidaknya berharap?” Wajah Syahidah berubah sedih. “Pengharapan tak selalu dapat wujud, dan aku tiada ingin memberi engkau terlalu banyak harapan, Tuanku Alif.” Alif tertawa kecil. “Jangan memanggilku tiba- tiba dengan Tuan, Syahidah. Sebab rasanya kita berjarak sekali.” Syahidah sama sekali tidak tersenyum, melainkan makin sedihlah air mukanya. “Sudah semestinya begitu, Tuanku Alif. Aku tiada ingin membuatmu kecewa nanti. Dan,” sambung Syahidah sambil menguatkan dirinya, “Aku tiada ingin mendahului takdir apapun, akan tetapi seseorang dari Seperca akan datang menemui Syaikh El- Beheira mewakili keluargaku usai pergelanggangan ini. Tentu beberapa anggota keluargaku akan turut hadir.” “Dari Seperca?” ulang Alif. “Siapakah dia?” “Tuanku Hamid Yusuf –anak Raja Seperca,” kata Syahidah terbata- bata. “Aku sungguh memohon maaf padamu.” Alif Samudera diam, rautnya tak dapat dilukiskan. Entah sedih, marah, terkejut, tapi matanya jelas memancarkan rasa kecewa. Ia tampak berpikir satu dua saat, dan lalu ia pun bercakaplah. “Ya, aku paham maksudmu. Tahukah engkau, Syahidah? Tuanku Yazid sempat menanyai pula mengenai adakah aku berbincang dengan Syaikh El- Beheira. Aku semestinya mampu menduga perkataan Tuanku Yazid kala itu, namun waktu aku belum tahu tentang pemuda ini sama sekali, hingga tiadalah aku menduga. Tampaknya selama ini aku terlalu berbesar hati tentang anganku sendiri padamu, Syahidah. Aku ini dungu.” Alif beranjak bangkit dari duduk, tanpa menunggu jawaban gadis di depannya. “Aku pamit pulang dulu, Syahidah. Jagalah dirimu baik- baik.” *** Syahidah ingin menahan Alif karena tidak ingin menyakiti perasaannya, namun Alif sudah keluar dari ruang baca itu. Langkah kakinya amat sigap, hingga gadis itu tiada dapat menyusulnya, terlebih lagi ia masih harus dipapah Nilam.Sebelum ia keluar dari ruang baca, Alif sudah menghilang dari istana. “Aku tidak ingin ia pergi begitu saja dengan hati sakit seperti itu, Nilam,” tutur Syahidah menggelengkan kepalanya. Ia dipapah Nilam menuju kamar peristirahatan. “Aku ingin meminta maaf sekali lagi, namun Alif sudah pergi begitu saja.” “Mungkin memang sebaiknya begitu, Engku,” Nilam menghibur. “Walaupun Engku meminta maaf berkali- kali, tiada akan mengubah suatu apapun. Dan tiada pula itu menyenangkan hati Tuanku Alif Samudera.” Dalam hati, Syahidah membenarkan perkataan sahabatnya itu. Tapi ia tidak mampu lagi berbicara, sebab tubuhnya sudah terlalu letih. Sementara itu, jauh di dekat rumahnya sendiri, Alif tampak berdiri memandang langit petang. Warnanya jingga kelabu sebab awan- awan mendung bergantung di ujung langit. Debu- debu dipusar angin pertanda angin laut akan mendekat, bahwa hujan tak lama lagi akan turun. Namun Alif tidak bermaksud masuk rumah, melainkan ia pergi ke kandang kudanya. Ia lepaskan kudanya itu, lalu ia pasang pelana di punggung kudanya itu, lalu Alif pun naiklah. Pemuda itu menepuk sela kaki kuda agar berbelok, seraya sesekali menarik talinya. Tak lama, ia memacu kuda itu agar melaju kencang menuju garis pantai. Sepanjang perjalanan menuju pantai, angin berhembus lembut di telinga Alif. Namun dinginnya udara tak mampu mengurangkan panas hatinya. Ia tiada marah, sebab tak ada yang ia marahkan pada gadis itu. Tak sampai hati pula ia melakukannya. Ia memang kecewa, sebab seorang pemuda lain telah berhasil merebut hati Syahidah. Ia marah pada dirinya sendiri, sebab sudah begitu bodoh dan pongahnya yakin bahwa suatu saat ia akan dapat meminang Syahidah. Bahwa suatu ketika, ia akan mampu meluluhkan hati Syahidah. Siapa dia, mampu mengagak- ukurkan semuanya dan begitu pasti tentang perasaan gadis itu? Ia hanyalah manusia, bukan Tuhan. Ombak menghempas tepian pantai, silih- berganti tiada berhenti. Begitu kerasnya hempasan itu –dan entah karena lamunan panjangnya pula –sampai- sampai Alif tidak menyadari ada Badruddin yang juga menunggang kuda datang mendekatinya. “Tuanku Alif,” sapanya, membuat pemuda yang bermenung itu terkejut. “Oh, engkau rupanya Badruddin! Astaga, aku tidak menyadari kalau engkau juga tengah berkuda di sini.” “Tidak, Tuanku. Saya bukannya berkuda, melainkan mengejar Tuan Alif hingga kemari.” “Kenapa?” “Sebab tadi saya melihat Tuan Alif keluar dari istana begitu cepat, dan belum sempat saya mengetahui ke mana arah Tuanku pergi, saya sudah melihat Tuan Alif memacu kuda dengan amatlah cepatnya.” Alif manggut- manggut. “Saya lihat- lihat, sepertinya Tuan Alif ada masalah. Dan entah mengapa saya yakin benar ini ada hubungannya dengan Kakaknda Putri Syahidah.” Alif menghela napasnya. “Engkau benar, Badruddin. Selama ini aku terus membodoh- bodohi diri sendiri, tanpa bersusah- payah membuka mata mengenai kenyataan di hadapan. Syahidah memang tiada pernah menyukaiku.” “Saya amat mengerti perasaan Tuanku,” kata Badruddin menunduk. “Saya sudah sejak lama melihat kegigihan Tuan Alif untuk Kakanda Putri saya, dan tiada pernah saya melihat ada orang yang segigih Tuan.” Alif hanya diam, tanpa perasaan apapun begitu mendengar pujian itu. “Tuanku,” sambung Badruddin lagi, “Tuanku Alif ini adalah orang yang suka bekerja keras di mata saya. Jadi tidakkah Tuanku ingin bekerja keras sekali ini untuk mendapatkan niatan hati Tuan?” “Apa maksud engkau, Badruddin?” “Ya –bila Tuanku benar- benar seorang yang tekun dan telah lama pula mengenal Kakanda Putri, tiadakah Tuanku ingin memperjuangkan hati Kakanda Putri dan mendapatkannya kembali? Saya yakin benar, pemuda yang bermaksud melamar Kakanda Putri saya itu tidaklah sebaik dan sebagus Tuan perangainya. Ia sama sekali tidak pantas dengan Kakanda saya, betul. Dan Baginda Ayah tentu setuju saja dengan pilihan Kakanda, padahal belumlah beliau mengenal pemuda itu luar- dalam.” Alif memandang laut lepas sejenak, lalu menoleh. “Apa gunanya menjadi yang paling baik dan paling bagus menurutmu, Badruddin? Menjadi orang yang tidak pernah mempunyai dosa pun tak ada gunanya bagiku.” “Bagaimanakah maksud Tuanku Alif?” Alif kembali mengalihkan tatap matanya pada laut. Matahari tampak jua sedikit meski kabut tebal, sebab sinarnya begitu terang di ujung, di tempat ia biasa terbenam. “Bagaimanapun kerasnya aku berusaha, kecondongan hati takkan dapat kuubah. Sama halnya denganku pula. Bilamana aku melihat gadis yang cantik dan tuturnya lebih baik sekalipun, namun cinta hatiku tetap pada Syahidah. Apakah engkau paham maksudku?” “Saya paham, Tuan Alif.” “Aku juga yakin, Badruddin, Raja bersetujuan pendapat dengan Syahidah sebab beliau tahu bahwa anak gadisnya itu pandai dan bijaksana. Sebab aku pun dapat melihat kelebihan itu pada diri Syahidah.” Mata Alif berkaca- kaca, namun ia terus berbicara dengan suara bergetar, “Lagipula, selama Syahidah dapat bahagia dan senyum tak pernah meninggalkan wajahnya, aku sudah senang.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD