Permaisuri berniat benar melambatkan langkah derap sepatunya supaya gema- gema ruang duduk dapat ia dengar sedikit. Tapi sayang, suara pembicaraan ayah – anak itu samar sekali di telinganya sebab pintu jati ruang itu tertutup rapat, dan ia tak bisa berlama- lama berdiri sementara pengawal baginda menunggui sisi pintu.
Upayanya yang agaknya mengecewakan hatinya itu ditambah pula dengan Zafan Nazhim yang mencegat Permaisuri Aziya tepat di lorong istana. Tak pelak lagi, pastilah pembuluh rindunya ini hendak bertanya tentang perihal yang sama.
“Tuanku Zafan,” sapa Permaisuri Aziya dengan lembut, merukukkan badannya. “Apa halkah Tuan mencegat saya di tengah jalan ini?”
“Aku tak ingin berlama- lama, Aziya,” ungkap Zafan. “Apa pasal yang disampaikan si Yusuf pada baginda? Apa sebab ia menemui beliau begitu lama?”
Aziya menggeleng putus asa. “Saya juga tidak tahu Tuanku Zafan. Saya sudah berusaha mereka- reka dari luar, tapi tak mampu.”
“Adakah pemuda itu mengatakan sesuatu padamu?”
“Ada, Tuan. Dia katakan bahwa ia hendak membahas pelajarannya bersama Tuan Guru. Tapi…, Ah, aku tak yakin benar dengan kata- kata anak selir ini,” sahut permaisuri.
“Tak berguna!”
Permaisuri Aziya sontak terkejut mendengar umpatan ini. Ia terpana, dan mengangkat wajah memandang Zafan Nazhim. Wajah Zafan nampak berkerut, berlipat- lipat marah. Namun yang tak permaisuri ketahui adalah sesungguhnya kepalanya sangat dingin memikirkan perkara ini.
Apakah Baginda hendak membahas surat dari Pulau Besar mengenai pajak? Ataukah hal lain yang membuat Baginda Asyfan memanggil sendiri Hamid Yusuf ke hadapannya? Tanpa berkata- kata, Zafan berlalu, meninggalkan permaisuri nan bingung dan lara ditinggal kekasihnya.
***
Di Sepinang, makan pagi hari itu di lingkung kerajaan agak tertunda sedikit karena keadaan Syamsir Alam Syah. Beliau sudah tak enak badan sejak subuh, meriang panas- dingin. Pun, beliau mendapat kabar apapun dari Panglima Gafar dan Yazid.
Matahari sudah agak naik saat semua anggota keluarga beserta Gafar Ali dan Alif Samudera berkumpul di ruang makan. Baginda Syamsir Alam Syah tampak pucat dan lemah, ubannya pun seakan bertambah di rambut hitam beliau. Syahidah tak henti- hentinya melayangkan matanya pada ayahanda terkasihnya itu, wajahnya begitu cemas melihat keadaan beliau. Sementara itu, Panglima Gafar dan Yazid terus saja saling bertukar pandang, berkata- kata dalam lirik mata. Agaknya mereka masih menimbang pengaduan tentang surat yang ganjil dari Pulau Besar tadi. Badruddin berlain seorang. Ia malah memandang Putri Syahidah dan Baginda silih- berganti. Tak ada seorang pun yang berani bersuara, sampai Baginda Syamsir memulainya.
Tepat saat jamuan terhidang dan pelayan istana pergi, Baginda Syamsir mendehem dan berujar, “Apa kau punya hal penting untuk kau bicarakan, Gafar?”
Tukar pandang Panglima Gafar dan Yazid terhenti. Sebaliknya, perhatian panglima kini sepenuhnya tertuju pada Syamsir Alam.
“Ada, Baginda. Tapi hal ini bisa menunggu, jadi saya hendak pastikan dulu keadaan Baginda telah sehat kembali begitu saya memberi laporan.”
Mendengar itu, mata Badruddin menyipit, memandangi panglima tua dengan tajam. Badruddin yakin benar bahwa sang panglima pasti hendak menyampaikan isi surat itu, juga tentang ia yang menyerahkan surat Pulau Besar itu pagi tadi. Tapi pengaduan ini tak akan membuat Badruddin gentar. Nah, lagipula, apa lagi yang dapat ia perbuat? Gafar Ali yang sangat memercayai Yazid dan rapatnya Syahidah dengan Yazid adalah asal muasal kerenggangannya dengan saudaranya sendiri, bahkan dengan seluruh kerajaan. Bukankah ia anak seorang raja? Ia punya hak lebih dan patut mendapat kewenangan atas masalah negeri. Adalah suatu kemafhuman bahwa ia pun menginginkan kebaikan bagi Sepinang. Namun, tiada satupun anggota kerajaan yang mendukungnya. Pantaskah ia diperlakukan semacam itu?
“Badruddin,” panggil Baginda Syamsir Alam Syah tiba- tiba, “Bagaimana keadaan pasar induk dan pengiriman barang- barang pokok?”
Badruddin mengangguk dalam. “Baik, Baginda Ayah. Semua berjalan dengan lancar, alhamdulillah,” sahut Badruddin sopan.
“Baguslah,” puji baginda. “Aku sangat memercayakan engkau, Badruddin, sama sebagai rasa percayaku pada Yazid dengan tugasnya. Tapi…”
Kata- kata baginda terputus oleh batuk hebat beliau tepat di atas piring makan. Sejurus Yazid dan Gafar Ali berdiri mendekati Syamsir Alam.
“Tak apakah engkau, Syamsir?” tanya Panglima Gafar dengan cemas.
“Ayahanda!” bisik Syahidah. “Apa tak sebaiknya Ayahanda beristirahat dulu?”
Baginda menggeleng sedikit. “Jangan cemaskan aku, Gafar. Dan anak gadisku, Syahidah, aku akan turutkan perkataan engkau,” sahut baginda sambil berusaha tersenyum. “Terima kasih, Nak. Bolehkah aku pinta engkau panggilkan aku tabib istana? Pergilah dengan Alif.”
Syahidah mengangguk dan melihat sekilas pada Alif yang turut berdiri dari perjamuan. Keduanya berjalan keluar dari ruangan, menyisakan Yazid, Badruddin, dan Panglima Gafar Ali.
“Yazid, aku ingin berbincang dengan kau setelah pertemuanku dengan tabib. Pastikan engkau sudah ada di tempat pertemuan setelah ini,” kata baginda dengan suara lemah dan parau. Namun rasanya ganjil –ada ketegasan dalam perintah itu yang tidak mampu Yazid tolak, yang membuat Yazid mengangguk tak sanggup bertanya- tanya lagi. Begitupun Badruddin yang terdiam.
***
Sinar surya pagi mulai terik, menyiram bunga- bunga halaman istana dengan cahaya keemasan. Sudah beberapa waktu berlalu sejak selesai makan tanpa adanya Baginda Syamsir Alam, dan sudah beberapa saat ini juga pikiran Syahidah menjadi tak menentu.
“Engku,” panggil Dayang Nilam tatkala ia tengah berjalan- jalan dengan Syahidah di taman istana, “Saya lihat Engku ini tampaknya banyak pikiran. Jika Engku berkenan, bolehlah Engku bercerita sedikit pada saya, kalau- kalau saya dapat membantu.”
Pandangan Syahidah tak tentu arah, macam termenung- menung saja rupanya. “Aku hanya memikirkan tentang Ayahandaku, Nilam. Beliau terlihat sangat tidak baik sepagian ini. Rasa sakit Ayah juga turut menyakitkanku, dan beliau semacam banyak masalah pula. Tampak… gelisah.”
“Engku, mungkin itu karena perasaan Engku saja. Memang, orang sakit tampak lesu wajahnya, tak ada rona berwarna. Apabila Baginda nanti sehat lagi, takkanlah tampak lagi rona kusut gelisah itu.”
Syahidah pun mengangguk.
Sementara itu Nilam melanjutkan, “Kita doakan saja semoga beliau cepat sembuh, Engku. Itu saja yang dapat kita lakukan.”
Tuanku Putri Syahidah menghela napasnya. “Engkau benar, Nilam. Tapi ada satu lagi yang menyusahkan hatiku, walaupun itu tak terlalu tampak.”
“Apa itu Engku?”
“Entah kenapa, aku merasa agak ganjil sedikit dengan keadaan ruang makan tadi. Sebagaikan ada tabir rahasia yang tiap orang simpan, dan tak mampu mereka sampaikan sebab lidah telah kelu. Entahlah, mungkin aku hanya berburuk sangka saja.”
Dayang Nilam menoleh pada Syahidah lekat- lekat. “Mungkin Engku perlu membicarakan hal lain masa ini.”
“Hal lain semacam apatah itu?”
“Mungkin Engku ingin bercerita tentang surat Engku kemarin?” tanya Nilam coba- coba.
Sejurus Syahidah terdiam beberapa saat, meski kakinya terus melangkah.
“Maafkan saya, Engku!” kata Dayang Nilam yang dengan cepat menunduk takut. “Saya tidak bermaksud lancang. Hanya, saya ingin Engku tidak terlalu bersusah hati sekarang. Mungkin jika kita membahas pertemuan kemarin, ada terangkat sedikit beban hati Engku Putri. Maafkan saya sekali lagi, Engku.”
Perlahan, senyum mengembang di wajah kuning langsat Putri Syahidah. “Tak mengapa, sahabatku. Aku tak marah padamu bila kau tanyai dan tidak akan pernah gusar. Jadi apapun itu, aku akan senang berbagi denganmu. Kau pun jangan pernah sungkan.”
Dayang Nilam tersenyum kecil.
“Perihal surat itu…,” sambung Syahidah tergagap- gagap. Suaranya mengecil, seolah- olah ia mengatakan perkara yang tak seharusnya ia sampaikan. “Bukannya aku tak ingin memberitahumu. Akan tetapi, kurasa terlalu banyak yang kusampaikan di dalamnya. Aku… meminta Tuan Yusuf berceritera tentang negerinya. Ada pula kuminta agar ia bisa bertemu dengan Syaikh El Beheira. Ya Allah, aku malu sekali!” bisik Syahidah menggeleng- geleng dengan pipi bersemu merah. “Terlalu banyak cakapkah aku ini, Nilam? Sungguh, aku malu mengingat isi suratku itu!”
Dayang Nilam tergelak sedikit. “Engku Putri, surat Engku adalah cerminan isi hati Engku. Tak perlu Engku malu jika yang Engku sampaikan itu hal baik. Engku bukan wanita yang tergesa- gesa,” kata Nilam. Ada cahaya kagum dalam matanya kala ia menoleh lagi pada Syahidah. “Engku Putri adalah sahabat dan tuan saya yang baik, dan pandai. Saya bersyukur untuk itu, Engku.”