Gumpal- Gumpal Awan

1343 Words
Pagi dingin berkabut yang menggundahkan hati Yazid dan Gafar Ali, tak ubahnya bagai pagi hangat tanpa kecemasan bagi Hamid Yusuf. Angin meniup Seperca sama kencangnya jua, namun Hamid Yusuf tak bisa menahan bahagia di hatinya sejak petang lalu berjumpa lagi dengan Tuanku Putri Syahidah. Sudah sehari- dua ini tak mampu ia memicingkan mata, terlelap tidur pun tak dapat walau malam sudah larut datang menyelimuti pekatnya Seperca. Angin malam nan membuai- buai pun tiada jadi helah buat pemuda itu untuk membuat hati dan pikirannya dapat beristirahat. Perasaannya terus terasa mengawang, kadang pula meledak melompati jantung dan tenggoroknya, tiada dapat ia tahan. Apa sebab? Tak lain dan tak bukan adalah semenjak pertemuan ia terakhir kali dengan Tuanku Putri Syahidah. Gadis kerajaan berkulit langsat nan pemalu itu masih terbayang di ruang matanya. Sejauh pandangan, Syahidah bersama dayangnya mendekati ia dan Zaid yang tengah menunggu di pinggir dermaga, berjalan dengan elok dan malu- malu. Itu saja sudah cukuplah mendebarkan jantung Yusuf, apatah lagi tatkala Putri Syahidah menyorongkan selipat perkamen elok rupa itu padanya. Sungguh benar ia tak dapat menguasai perasaannya saat itu. Meski ia sudah menunduk sebagaimana yang Zaid suruhkan padanya, mengalihkan matanya dari keelok- anggunan pembuluh hatinya itu, namun tangan Syahidah yang membawakan surat teruntuk dirinya itu sudah membayangkan rindu tak terhingga bagi Hamid, membayang kesan di matanya sekarang. Tak pernah terasa baginya keadaan ganjil begini, selain ini yang pertama kali ia alami. Selepas subuh Yusuf biasa ke kandang kudanya, berlatih kuda barang sebentar sampai matahari naik lagi. Tapi dingin kabut pagi beserta gumpal- gumpal awan pertanda hujan mengurungkan niat Yusuf, begitu pulalah semua kerja di Seperca dan di istana terundur pula. Jadilah Hamid Yusuf sanya menatap langit dari jendela bilik, membuat rasa rindunya pada Syahidah malah bertambah- tambah. Selang sekejap, Yusuf berbalik dari jendela itu, mengambil kotak jati di sisi peraduannya. Ia buka kotak itu dan ia ambil surat Syahidah kemarin dulu. Lipatannya persis sebagai semula, dan dengan hati- hati ia bentangkan kertas pelipur hatinya itu. Dan tampaklah, tulisan Arab- Melayu nan indah, meliuk- liuk menghiasi kertas kulit kayu itu: Bismillahir Rahman ar Rahiim, Salam saya untuk Tuanku Hamid Yusuf, semoga Allah selalu limpahkan Tuan dengan keberkahan dan kesehatan. Sebab apalah kita tanpa ridha dan nikmat-Nya, semoga diri ini selalu insaf dan tiada lupa bahwa hanya kepada-Nya-lah badan ini kembali. Tuan, saya haturkan terima kasih saya yang tak terhingga untuk surat Tuanku dulu kepada saya. Tuan telah bersusah- susah pula menghadiahi saya songket Seperca yang tiada terharga nilainya, dan besar syukur saya untuk ketulusan hadiah dari Tuan. Ditambah pula bantuan Tuan kepada saya saat di dermaga dulu, saat Tuan menangkap tangan saya kala terjatuh. Banyak saya berutang budi akan Tuanku Hamid Yusuf. Saya sungguh senang bila Tuan memang berkenan menjadi kawan saya. Bila ada masa, alangkah beruntungnya bila saya dapat berjumpa lagi dengan Tuan. Namun Allah sajalah pemilik alam dan waktu. Jikalau Tuan sering berkunjung ke Sepinang, tentu dapat Tuan menemui saya di lain hari. Takkan rugi Tuan berkunjung ke negeri saya, sebab pencaharian negeri saya berdiam ini agak berbeda sedikit dengan pencaharian negeri Tuan. Berladang dan sawah masih banyak akan Tuanku dapati di sini. Berlain pasar, berlain tutur, walaupun asal kulit kita sama Melayu juga. Apabila Tuan berkenan, saya juga bermaksud mengenalkan Tuan pada syaikh guru saya, panutan saya. Kalau Tuan ada hari senggang, bolehlah Tuan ceriterakan sedikit mengenai negeri Tuan dalam surat. Tentu saya akan sangat senang bisa mengetahuinya langsung dari Tuan. Wassalam, Putri Syahidah   Tiba- tiba saja sebuah pemikiran terpantik dalam kepala Yusuf. Dengan cepat namun hati- hati, ia susun dan elokkan kembali letak surat dalam kotak jatinya. Setelah selesai, Yusuf pun melangkah keluar bilik. Gerimis rapat berhawa dingin masuk menusuk- nusuk celah ruang istana. Yusuf memutari istana yang lembab, memeriksa satu demi satu ruang. Namun akhirnya ia berhenti di salah satu sisi istana dan mendengar sayup- sayup suara dari dalamnya. Jelas saja ayahandanya, Raja Asyfan Nazhim kini berada di ruang duduk yang tak begitu jauh dari selasar utama. Beliau biasa khusyuk membaca laporan menteri- menteri di sana, akan tetapi sepertinya ada seseorang lain yang tengah berbincang dengan beliau di dalam. Dengan sabar Hamid Yusuf menunggu di luar, sehinggalah terdengar langkah kaki mendekat dan suara pintu ruang duduk membuka. Tampak permaisuri Aziya terkejut melihat kehadiran anak angkatnya itu berdiri berhadap mata dengannya. “Ibunda,” sapa Hamid Yusuf penuh hormat. “Oh, anakku Hamid,” sahut permaisuri Aziya. Air mukanya sudah kembali sebagai semula. “Engkau ingin bertemu dengan ayahmu, Nak?” “Benar, Ibunda,” sahut Hamid. “Adakah aku dapat mengetahui apa maksud yang hendak engkau sampaikan pada beliau, Nak? Jangan salah sangka. Jika apa yang engkau hendak perbincangkan bukan hal yang pelik, engkau bisa menunggu hingga beliau benar- benar selesai dengan laporan dan surat yang masuk hari ini. Anakku tentu tahu benar bahwa banyak hal yang mesti diurus Baginda Raja.” Hamid Yusuf mengangkat kepalanya, tersenyum penuh kelembutan yang menggetarkan wajah sesiapa yang memandang, sekaligus senyum kesopanan berahasia. “Tiada penting benar sebagaimana urusan kerajaan, Ibu. Akan tetapi penting bagi saya sebab ini tentang pelajaran saya dengan Tuan Guru.” Permaisuri Aziya menatap pemuda di depannya lekat- lekat. “Apa ada masalah dengan pelajaran engkau, Yusuf?” Hamid Yusuf menggeleng. “Tentu Ibu masih ingat bahwa Baginda pernah mendengar kabar tentang saya yang sering mangkir belajar dengan Tuan Guru? Itulah yang ingin saya sampaikan pada beliau. Dan,” sambung Yusuf lagi, “Adakah Ibunda tahu darimana asal kabar dusta itu?” “Maafkan Ibu, Nak. Ibu juga tidak tahu benar bagaimana kabar itu tersiar. Engkau janganlah risau dengan berita- berita semacam itu. Tentu Ibu, Baginda dan Pamandamu lebih tahu bagaimana perangai engkau dan tiadalah serta- merta mempercayai hal semacam itu.” Hamid Yusuf menunduk sejenak, lalu kembali memandang Ibunya. “Akan tetapi, Ayah ada sekali percaya kabar itu. Beliau sempat menanyaiku dulu. Adakah…,” kata Yusuf memandang tajam pada ibu angkatnya, “…Adakah Pamanda tahu tentang ini?” Permaisuri Aziya terkejut. “Anakku Yusuf! Bagaimana Ibunda bisa tahu apakah Pamandamu Zafan mengetahui perihal ini?” “Ada apa, Aziya? Dengan siapa engkau berbicara di luar?” tanya Asyfan Nazhim. Memang, permaisuri membiarkan pintu ruang duduk terbuka selagi ia berbicara dengan Yusuf. “Tak mengapa, Kakanda. Ada anak kita yang ingin menemui Kakanda sekarang,” sahut permaisuri. Ia lalu memegang bahu Hamid sambil tersenyum. Kerut- kerut tipis tampak di wajahnya. “Pergilah, Nak. Sepertinya Baginda tak terlalu sibuk sekarang ini.” Hamid Yusuf membungkuk penuh terima kasih pada ibu asuhnya itu lalu masuk ke ruangan itu. Kedatangan Hamid Yusuf pada ayahnya itu disambut anggukan oleh Asyfan Nazhim. Ia lipat semua laporan dan surat yang terserak di dekatnya dan ia kesampingkan. Roman beliau tampak hangat menyambut Yusuf. “Maafkan aku, Ayah. Aku mengganggu waktu- waktu sibuk Ayahanda.” “Tidak begitu sibuk, Nak. Hanya beberapa laporan dan sebuah surat dari Pulau Besar.” Hamid mengangguk lalu duduk di samping Ayahnya. “Nah, terangkanlah maksud engkau! Apa yang membuatmu mendatangi Ayah pagi- pagi seperti ini?” Hamid Yusuf diam sejenak, namun wajahnya penuh keyakinan memandang Ayahandanya. “Ayahku, Baginda Kerajaan negeri. Aku ingin meminta Ayahanda mendatangkan Tuan dan Syaikh, beserta Panglima bagiku.” Asyfan Nazhim memandang anaknya dengan rona tidak mengerti. “Apa maksudmu, Nak?” Hamid Yusuf menghirup napas dalam- dalam. Ia tegakkan dagu dan ia busungkan dadanya. “Ayah, aku ingin belajar ilmu kerajaan dengan sungguh- sungguh. Aku ingin diajari bersilat dan siasat perang. Aku ingin diajari cara berkuda selayaknya seorang prajurit menunggang, bukan seperti yang aku lakukan sekarang. Dan… aku juga mempelajari Islam dengan benar, Ayah.” Jika hujan pagi itu mengandung kilat dan guruh, rasanya takkanlah semengejutkan pernyataan Yusuf padanya pagi itu. Sebelum Baginda Asyfan membuka suara, Yusuf membungkuk dalam di hadapan beliau. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya. “Aku memohon pada Ayahanda, agar mendatangkan mereka untukku. Aku ingin mendapatkan kepandaian mereka sepenuh hatiku. Tak mengapa bagiku berbasah- basah dalam peluh lelah belajar dan berkucur darah ketika berlatih silat.” Yusuf kembali menegakkan punggung. Matanya yang masih memancarkan tekad, mengena benar di hati Asyfan Nazhim. Ada kesungguhan yang tak dapat ia lukiskan dalam diri anaknya itu. “Ayah, aku ingin menjadi seorang pemuda.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD