Kapal Dirancang

1645 Words
Pagi itu berkabut embun disambut cericit burung- burung yang meski matahari sudah menjelang naik, namun kabut pagi tetap jua menyelimuti hawa seakan langit juga tengah menggelap di atas sana. Awan dan langit sama- sama tak punya batas keduanya, tak berona- beragi apa juga bagai selimut putih yang terhampar besar. Angin dingin menggigilkan pelaut dan nelayan yang baru pulang mencari ikan, meringkukkan penghuni rumah- rumah atap rumbia agar tetap berdiang di selingkung api. Akan tetapi, di dalam istana Sepinang, terlebih di ruang pertemuan tempat Baginda biasa berembuk dengan putranya, beberapa orang tampak sibuk memperbincangkan hal- hal pokok. Tak ada Baginda Syamsir Alam di situ, melainkan Tuanku Yazid Alam beserta dua orang lain. Yazid Alam berkerut benar keningnya tatkala Tuan Samir Sajid yang mengepalai perancangan dan pertukangan kapal, mengembangkan kertas tebal dari kulit kayu di hadapan beliau.  Kertas itu berisi gambaran kapal yang bukan main peliknya beserta ukuran dan segala rinci persiapan yang akan mereka alami kelak. Ia menerangkan bagian- bagian pembinaan kapal itu dengan tenang pada Tuanku Yazid Alam. Opu Daeng Majo, kawan erat Tuan Samir Sajid yang juga turut berandil merancang kapal, hadir pula di ruang pertemuan. “Saya dan Daeng berniat mengusulkan kepada Tuanku, jikalau Tuan berkenan agar kapal ini sedikit dirampingkan. Sebab begitu, kapal perang ini dapat melaju baik dengan bantuan angin,” kata Tuan Samir seraya menunjuk pada beberapa bagian gambaran, menutup penjelasannya yang panjang. “Bagus benar pendapat Tuan. Saya sependapat jika itu dirasa memang lebih baik,” sahut Tuanku Yazid Alam mengangguk. “Berapa lapiskah dindingnya hendak Tuan maksudkan jika kapal ini sedikit ramping?” “Tetap enam sampai tujuh lapis, Tuanku,” jawab Tuan Samir. “Tidakkah ia cukup berat nanti, terlebih saat memutar haluan? Dan apatah lapisan itu tidak membuatnya lebih tebal?” Tuan Samir mengangguk mengiyakan dan menoleh sedikit pada Opu Daeng. “Saya juga sudah pikirkan tentang ini masak- masak, Tuanku. Saya, dibantu Daeng, akan mengubah sedikit ukuran- ukurannya supaya bisa sesuai dengan keadaan kapal perang yang Tuanku inginkan. Untuk Tuanku tahu, kapal ini mesti akan sangat besar dan kelak bisa bermuatkan puluhan meriam orang kulit putih pula. Ada niat kita akan menambah tiang- tiang kapal, dan beberapa ubahan lain. Kami juga mencari tahu bentuk kapal orang kulit putih, supaya kapal rancang kita lebih bagus jadinya.” Opu Daeng Majo yang tua tersenyum pada Tuanku Yazid Alam. “Tidak usahlah Tuanku Yazid risau. Saya kelak akan membantu pula pembinaan kapal ini. Kapal tetap akan gunakan papan silang sambung dan pasak- pasak, sebagai kapal pencalang lain. Dari yang saya runding dengan Samir, memang lebih baik jugalah kita gunakan pasak- pasak sebagai penyatu. Selain lebih kuat dan kokoh dari paku besi, pasak juga lebih menunjukkan ciri sebagai orang Melayu. Tapi, jikalau Tuanku berkehendak, dapat juga kita peroleh paku besi baja dari negeri Cina. “ Tuanku Yazid menurunkan dagunya dalam. Ia berkata, “Banyak terima kasih saya nan tiada terhingga untuk Opu Daeng. Sudah terlimpah bantuan Opu dan saudara perantauan dari Bugis dalam raja- kerajaan Sepinang ini.” Opu Daeng mengangkat tangannya sedikit. “Saya dan kaum kerabat pun berhutang budi pula pada negeri ini, sebagaimana Tuanku Yazid pun merasakan yang sama. Tiada terhitung lagilah banyak peruntungan niaga dan hidup kami di sini.” Yazid tersenyum sedikit, lalu berujar, “Untuk menggunakan paku besi, saya timbang benar dulu. Dapatkah saya memberitahu Tuan Sajid dan Opu Daeng petang nanti?” “Tentu, Tuanku. Tentu,” kata Sajid Samir membungkuk. “Saya dan Opu Daeng beserta para pekerja bisa mengangsur peletakan papan teras dahulu. Begitu selesai, kita akan membina dindingnya pertama, Tuanku, barulah rangka di akhir.” Kerut Yazid yang berkerut menjadi licin dalam sekejap ketika terdengar ketukan di pintu. Tak berapa lama, tampaklah Panglima Gafar Ali yang datang dengan salam hormat kepada ketiga orang yang ada di ruang. Tuan Samir Sajid dan Opu Daeng Majo membalas salam yang sama. “Saya rasa memang tak banyak lagi yang perlu disampaikan, Tuanku,” kata Tuan Samir Sajid. “Segala tambah yang masih terkurang, akan saya sampaikan di pertemuan petang nanti.” “Kami undur diri dulu, Tuanku Yazid Alam,” kata Opu Daeng pula. “Baik. Terima kasih Tuan Samir dan Opu Daeng. Saya sangat menunggu pertemuan kita nanti.” Keduanya mengambil kembali kertas- kertas rancangan yang sudah digelar tadi lalu membungkuk sopan, berlalu melewati Panglima Gafar Ali dengan sedikit anggukan. Yazid sendiri mengantar kedua tamunya sampai ke pintu. Begitu keduanya sudah menjauh, Yazid Alam menoleh pada Panglima dengan wajah hormat sekaligus heran. “Pamanda Panglima? Ada apa gerangan? Jarang sekali Pamanda Gafar mengunjungi saya pagi- pagi begini.” Wajah Gafar Ali yang ramah itu tampak banyak pikiran. Jenggotnya yang memutih tampak bergerak- gerak. “Ini,” kata beliau sembari mengangsurkan selipat kertas tebal yang dililit serat. Ada cap kerajaan ditera di atasnya, namun lilin cap itu sudah retak, merengkah terbuka. “Apa ini Pamanda?” “Surat dari Pulau Besar,” sahut beliau. “Ayah engkau, Baginda Syamsir Alam, kurang enak badan saat menerima surat ini.” Yazid Alam terkejut, tangannya bergetar sedikit saat menerima kertas kayu yang masih terlilit itu. “Mengapa Paman? Ada apa dengan Ayahanda?” Wajahnya tampak memucat, risau sekali. Gafar Ali memegang bahu Yazid, yang sudah ia anggap bagai anaknya sendiri. “Tak perlu khawatir, Nak. Baginda tidak mengalami sakit berat. Tabib berkata, beliau hanya kelelahan, dan akhir- akhir ini Baginda juga sering masih terjaga hingga lewat tengah malam.” Yazid tampak memperhatikan meja pertemuan. “Moga Allah cepat berikan Ayahanda kesembuhan.” Panglima Gafar mengamini, lalu berkata lagi, “Tapi, Anakku. Aku hendak mengabari engkau sedikit tentang surat ini. Inilah yang lebih utama.” Yazid mengangguk. “Saya mendengarkan Pamanda.” Air muka Panglima tampak begitu tegang. “Prajurit utama penjaga Baginda memberikanku surat ini tadi, tak lama selepas Subuh. Dia mengabari pula tentang Baginda Syamsir yang tak kuat untuk mengurusi kepentingan apapun hari ini, dan sebab itu dia mengalihkan masalah pada surat itu padaku sebagai tangan kanan beliau, agar aku bisa menyelesaikan masalah apapun dalam surat ini.” “Ayahanda belum membaca surat ini, begitukah maksud Pamanda?” “Benar. Akulah sahaja yang membaca ini, namun ada heranku sedikit pada surat ini.” Yazid mengangguk. “Surat ini datang terlalu pagi. Terlalu awal.” “Benar,” kata Panglima Gafar mengiyakan. “Apatah lagi dari Kerajaan Pulau Besar yang lebih tahu dan mengenal adat dan kesopanan. Mereka memang sudah lemah tidak berkekuatan, namun masih menjunjung nama dan martabat mereka. Yang kedua adalah, perihal darimana asal prajurit ini memperoleh surat. Ia mendapatkan dari Badruddin tadi Subuh, menyuruhnya memberikan pada Baginda Syamsir.” Yazid memandang panglima yang tua dan kekar itu lekat- lekat. “Adakah Pamanda sepemikiran dengan saya, bahwa surat ini sudah dikirim sejak kemarin dan berada di tangan Badruddin hingga pagi ini saat ia menyerahkannya?” “Benar, Anakku. Aku sependapat tentang itu. Selambat- lambatnya surat ini telah dikirim kemarin petang. Keraguanku ini dikuatkan dengan cap ini,” terang panglima seraya menunjuk cap yang telah terbuka, “Senang saja bagiku membuka cap tera ini, seolah- olah sudah direkat ulang dengan lilin. Cap Kerajaan Sepinang saja sudah cukup sulit untuk dibuka hingga perlu gunakan belati, apalah lagi cap besar seperti dari Pulau Besar, tidakkah begitu?” Yazid menatap Panglima Gafar Ali tanpa senyum sedikit pun. “Benar.” “Nah, cobalah engkau baca.” Tanpa bicara sedikitpun, Yazid segera membaca tulisan panjang dari raja Pulau Besar. Butuh beberapa waktu bagi Yazid, hingga ia menutup surat itu dan melipatnya lagi sebagai semula. “Pemberlakuan pajak? Setelah kewajiban upeti kita bertahun- tahun ini yang kita dapat?” “Ya,” sahut Gafar Ali di balik jenggot memutihnya. “Pulau Besar berniat memberlakukan pajak tambahan bagi Sepinang. Ayahmu belum tahu perkara ini, meski aku yakin beliau mungkin saja setuju sebab pajak yang diinginkan Pulau Besar tidaklah banyak. Kemungkinan untuk tidak membayar pajak yang kecil ini tentulah berakibat besar bagi kerajaan kita. Meski kita sudah beroleh kekuatan, itu masih lebih sedikit dari kekuatan yang bisa didapat Pulau Besar dari kerajaan jiran yang jauh lebih kuat.” “Saya mengerti, Pamanda,” kata Yazid. “Pabila ayahanda tidak menyetujui pemberlakuan pajak, ada kemungkinan Pulau Besar meminta sokongan dari kerajaan sekitarnya untuk mengambil alih Sepinang lagi. Pulau Besar memang sudah melemah dan tercerai- berai, tapi ia sebagaikan singa yang menyembunyikan taring.” “Tepat sekali, Yazid anakku,” kata Gafar Ali lagi. “Sri Baginda Pulau Besar sekarang bisa jadi tengah memperkokoh kerajaannya lagi, dan tiada mustahil ia akan menyerang kita yang telah bertahun- tahun ini memberontak dari mereka.” “Apakah perancangan kapal perang kita telah mereka ketahui?” Panglima menggeleng. “Aku rasa belum. Lagipun, tujuan kita membuat kapal ini lain. Bukan untuk menantang jiran- jiran kita untuk bertempur, melainkan untuk pengawasan keamanan dan penjagaan saja. Aku pula telah memikirkan sebab tiba- tiba pemberlakuan pajak ini, tapi kepalaku tak menemui apapun, tak lain hanyalah jalan buntu,” kata Panglima. “Apa yang hendak dituju Sri Baginda Pulau Besar?” Keduanya diam, berhening dan sibuk dengan pikiran masing- masing. Yazid bergumam selang beberapa lama setelah itu, “Dan apa pula sebab Badruddin mengambil surat ini terlebih dahulu dan membacanya? Apa kuasa yang ingin ia peroleh?” Panglima Gafar Ali menghirup napas. “Aku juga sama sekali tiada paham, Nak. Aku hanya mengetahui tentang keinginannya yang menggebu- gebu untuk berada di tempat berpijakmu, dan mengetahui kabar berita terlebih dahulu mungkin memberinya seujung kuku keuntungan.” Wajah Yazid benar- benar cemas begitu mendengar perkataan Gafar Ali. “Saya sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Badruddin, meski kami berbagi darah yang sama.” Gafar Ali menepuk bahu Yazid. “Lakukanlah yang terbaik, Nak. Berserah diri pada Allah. Apapun ancaman, dari dalam atau dari luar, kewajiban kitalah untuk mempersiapkan diri dengan baik. Janganlah engkau terlalu cemas,sebab aku yakin Baginda juga akan memusyawarahkan tentang pajak Pulau Besar ini meski mungkin beliau tidak memperhatikan rekat lilin sebagaimana perhatianku. Tapi, kau tetap perlu mawas diri, Yazid. Gelombang tenanglah yang banyak menenggelamkan, akar bergelung indahlah yang menjerat.”   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD