Perasaan Yusuf bukan main gembiranya tatkala mengurai ikatan surat dari Syahidah dan membuka lipatannya. Teramat sangat ia rindu –merindukan gadis yang menjadi buluh tangkai hatinya itu, rindu bercakap- cakap panjang dengannya. Namun begitu melihat tulisan Arab- Melayu yang miring dan halus terbentang di depannya, ada jugalah rasa rindu itu terobati sedikit, seakan ia sudah bertemu muka satu dengan yang lain. Apalagi sepertinya Syahidah telah mencurahkan seluruh isi hatinya dalam surat itu, sebab surat yang dipegang Yusuf kali ini begitu panjang.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Semoga rahmat Tuhan Allah senantiasa menyertai Engku Hamid Yusuf.
Apatah lagi semua yang dapat saya sampaikan kepada Engku, bila apa yang Tuanku sampaikan di surat sebelumnya telah mencerminkan pula perasaanku? Aku sungguh senang dengan segala putusan yang Engku telah ambil, dan aku pun bersetuju dengannya. Tahukah Engku, bahwa lepas Engku bersua dengan keluargaku, aku ada melihat Engku keluar dari istana?Pasal surat, tentulah aku dapat menyurati Engku selalu. Mendengar kabar Engku Yusuf pun meski tak secara langsung, sudah pula cukup memuaskan hatiku. Cerita- cerita apapun yang Engku kabarkan melalui tulisan ini selalu menarik untukku dan tiada membosankan untukku
Aku sendiri tiada pernah berkunjung ke Sepinang. Bila Ayahanda mengizinkan aku berlayar dengan perahu, tentulah aku sudah melayari laut untuk pergi ke sana. Aku ingat, tentang janji Engku menceritakan kehidupan di Seperca? Dapatlah Engku tuangkan dalam surat, sebab bila mataku tak dapat melihat negeri Tuanku secara langsung, dapatlah aku membayangkannya dalam kepala seakan- akan aku sungguhan pergi ke sana.
Tuanku tak usah berberat hati, sebab aku pun akan mengisahkan apa yang kujalani di sini, di Sepinang. Aku baru saja hendak memulakan penyampaian kajian perihal keagamaan pada para puan di Sepinang. Tak terkira senang hatiku, tatkala Ayahanda dan Syaikh menunjukku untuk pengaturan ini semua. Syaikh juga meminta anak perempuannya, Engku Imaan Mariam El- Beheira untuk membantuku, sebab aku masih pemula dalam pasal ini. Insya Allah, majelis pengajian ini akan segera dilaksanakan begitu tiada halang rintang di depan lagi. Terlebih pula, akhir- akhir ini ada beberapa kejadian dan masalah yang dihadapi Sepinang, dan Ayahanda serta saudara- saudaraku sibuk pula menyelesaikannya. Aku dan dayangku pun sempat terpikir dengan masalah- masalah itu.
Tatkala aku menulis surat ini, aku baru saja pulih dari sakit beberapa waktu yang lalu, sedang dayangku Nilam tengah sakit sekarang. Sungguh, Engku, aku merasa gelisah sekali. Sepertinya semua masalah yang mengebat kehidupan Sepinang juga telah membebani pikiran kami yang perempuan pula, meski kami tak bisa berbuat banyak untuk menyelesaikannya. Apalagi Nilam. Salah satu hal yang terjadi di sini, ada berkait dengannya, sehingga ia jadi begitu terpukul. Aku akan terus menghibur sahabatku itu hingga ia dapat melupakan semuanya.
Aku sungguh senang dan menghaturkan terima kasih tak terhingga untuk tawaran Engku perihal meminjami aku buku. Membaca memang kegemaranku, Engku, dan aku juga telah kehabisan bahan bacaan di Sepinang sini. Bila Tuanku berkenan, bolehlah Tuanku meminjami beberapa buku yang asyik untuk saya baca lagi bermanfaat. Aku dapat menduga, tentulah Engku sudah memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dari saya. Orang yang berilmu memang lebih utama, sebab bukan ialah yang menjaga ilmu itu melainkan ilmu yang menjaga dirinya.
Sampai di sini kututup suratku ini, Engku Yusuf. Semoga surat ini tidak terlalu panjang dan tidak membebani Engku saat membacanya.
Aku akan senantiasa menantikan Engku Hamid Yusuf dalam ruang mataku, dan hingga masa itu tiba, semoga Allah terus menjaga kita dan memurnikan hati kita dari segala perbuatan yang tak Ia ridhai. Kepada Allah sajalah kita berserah diri.
Wassalam,
Syahidah
Usai membaca itu, senyum simpul tak henti- henti membias di wajah Yusuf. Ia lalu pergi ke pustaka istana dengan perasaan riang. Ia sudah berniat sekali hendak menyisihkan beberapa bacaan terbaik untuk gadis itu.
***
Di tempat lain nun jauh di seberang laut –atau lebih tepatnya di wilayah terluar nan dekat pula dengan dermaga, membentang tanah lapang luas yang penuh dengan gelondongan kayu. Tanah lapang di Sepinang itu juga terlindung sebab hutan- hutan pinggir pantai yang lebat dan letaknya yang ada di ujung dermaga, sedang tak satupun rakyat yang diperbolehkan datang ke situ. Para penjaga berjalan mengitari tempat itu, mengawasi orang- orang yang hendak mengintip atau mencari tahu apa yang diperbuat di sana. Namun tatkala satu orang berpembawaan tegap dan berisi ini masuk, semua pengawal bergerak ke pinggir dengan salam hormat.
Tuanku Yazid Alam mengangguk pada mereka, dan begitu ia telah memasuki lapangan, para penjaga itu balik lagi berbaris dan berjalan memperhatikan dengan mata yang awas.
Yazid mendekati ahli perancang sekaligus kepala pembina kapal –Tuanku Samir Sajid dan Opu Daeng Majo. Kedua orang itu sedang asyik berbicara, dan begitu melihat kedatangan Yazid, keduanya langsung mengucapkan salam sopan mereka kepada putra Baginda itu. Yazid pun membalas, dan sebelum ia memulai perbincangan, ia amati sejenak kapal yang tengah dibina itu. Ada puluhan pekerja –mungkin ada lima puluh orang –yang tengah sibuk mempersiapkan gelondongan kayu yang tampak tadi. Ada yang memotongnya, ada yang menghaluskannya, dan ada pula yang membentuknya hingga menjadi bilah- bilah dan papan tipis sesuai ukuran yang telah diberikan kedua Tuanku Samir dan Opu Daeng. Sebagian lagi tampak mulai telah membina dinding kapal dengan meletakkannya secara berlapis- lapis, menggunakan papan- papan yang sudah selesai dibentuk.
“Berapakah jadinya ukuran yang Tuan- Tuan gunakan untuk pembinaan kapal kita?” tanya Yazid sopan.
“Kami berdua bermaksud membuatnya sepanjang 160 depa, Tuanku, dengan lebar agak lebih ramping dari yang seharusnya. Kita menginginkan agar kapal ini bergerak dengan cepat meski ukurannya besar, dan untuk itulah pengurangan lebar itu dimaksudkan,” jelas Opu Daeng Majo. “Namun bila kita tekukkan ukuran sepanjang itu saja, rasanya agak kurang bila Tuanku menginginkan banyak muatan berupa orang dan barang, ditambah senjata. Oleh karena itu kami membuatnya menjadi 180 depa. Sedang untuk lapisan kami cukupkan hingga enam lapis sehingga kapal akan tetap kokoh, tidak seperti bila kita pakai tujuh- delapan lapis yang membuat kapal makin berat dan kecepatannya berkurang.”
Tuanku Samir mengangguk membenarkan perkataan kawan kerjanya itu.
“Bila begitu, maka tentu untuk pembinaan dinding kapal saja akan membutuhkan waktu cukup lama,” tutur Yazid.
“Memang, Tuanku,” kali ini Tuanku Samir lah yang menjawab. “Untuk sekedar pembinaan lapisan dinding mungkin akan memakan waktu tiga pekan paling lambat. Terlebih pula sebab kapalnya yang sangat besar dan kami perlu memperhatikan hingga tiap bagian- bagian kecilnya, agar tidak ada yang bagian yang berselisih dan rangkanya nanti dapat dilanjutkan dengan mudah. Setelah sampai pada rangka, maka tak butuh waktu yang banyak lagi, Tuanku, hingga kapal benar- benar selesai.”
Yazid mengangguk dalam hening. Namun tiba- tiba ia teringat akan sesuatu. “Ada yang ingin saya tanyakan kepada Tuanku berdua. Adakah Tuan- Tuan melihat adikku, Badruddin datang kemari hari- hari sebelumnya?”
Kedua ahli bina kapal itu saling berpandangan, lalu menggeleng. “Tidak ada, Tuanku. Tapi kami hanya berada di sini saja selama ini, tanpa pernah ke bagian luar dekat penjagaan. Mungkin saja ada Tuanku Badruddin kemari, tapi hingga tempat penjagaan.”
“Bagaimana dengan hari ini?”
“Tidak sama sekali, Tuanku. Kamipun tidak tampak dengan sosok Tuanku Badruddin hari ini,” sahut Opu Daeng.
“Baiklah,” kata Yazid. Ia pun menjabat tangan kedua orang pandai itu. “Mudah- mudahan semua rencana kita pada pembinaan kapal ini dapat berjalan sebagai yang kita harapkan.”