Gerak Lambat

1191 Words
Tuanku Putri Syahidah tampak hendak bersiap- siap di biliknya. Ia patut dirinya di depan kaca, lalu dengan tergesa- gesa ia ambil kertas- kertas kulit kayu tempat ia biasa menulis. Demikian tergesa- gesanya kertas yang baru ia ambil itu jatuh dan bertebaranlah di lantai. Sedang kotak tinta yang baru saja ia ambil pun ikut terlepas dari tangan. Mata Syahidah membelalak, dan dalam sekejap ia membungkuk hendak meraihnya. Untunglah, sebentuk tangan halus telah lebih dulu menangkap kotak tinta dan mengembalikan ke atas meja. “Tiada apa- apakah, Engku? Tiada tinta yang terpercik ke pakaian Engku?” tanya Nilam –orang yang berhasil mendapatkan kotak itu sebelum jatuh dan isinya terserak ke lantai. “Tiada mengapa, Nilam. Terima kasih sudah membantuku,” tutur gadis raja itu tersenyum. “Biay saya tolong Engku mengumpulkan ini pula,” kata gadis dayangnya seraya berlutut di dekat Syahidah. Syahidah pula ikut berlutut, dan bersama- sama mereka menyusun helai- helai tulisan Syahidah yang bertebaran itu. Beberapa saat mereka berdiam diri, sibuk dengan kerja di depan. Usai semua helaian terkumpul, Nilam kemudian mengikatkan serat rotan yang baru padanya, sehingga tumpukan tulisan itu pun rapi kembali. “Saya lihat, Engku Putri bersemangat benar untuk berangkat sekarang,” goda Dayang Nilam. Ia memperhatikan Syahidah yang kembali meneruskan bersiap- siapnya. Sepulas senyum mengembang di bibir Syahidah. Memang benar, tak hanya bersemangat, tapi hatinya juga teramat senang dengan kepergiannya yang kali pertama ini. Apa sebab? Sebabnya tiada lain karena inilah masa pertama Syahidah akan memberikan pengajaran kepada para puan di negeri Sepinang. Sebagaimana yang diumumkan oleh Baginda Raja Syamsir sebelumnya, bahwa beliau bersama Syaikh El- Beheira telah mengatur tentang pengajian bagi warga negeri Sepinang sekali saban minggu. Ini datangnya dari usulan Syahidah sendiri, yang masih kerap mendapati perbuatan yang acap dilakukan semasa Sepinang belum masuk Islam dahulu, seperti memuja nenek moyang mereka dan menuhankannya. Selain itu pula, sebab karena Islam masih baru lagi di Sepinang, masih sangat terasa kurangnya ilmu Ketuhanan dan pengetahuan tentang cara –cara beribadah yang baik di antara orang awam. Oleh karena itulah, Syahidah memberi usul agar diadakan semacam pengajian, yang disambut oleh Baginda dan Syaikh dengan tangan terbuka. Terkhusus untuk lelaki, diadakan satu hari libur dari segala pekerjaan mereka untuk mengadakan pengajian itu, yaitu hari Juma’at. Untuk para puan,waktu pengajian ini diatur oleh Syahidah dengan dibantu oleh putri Syaikh El- Beheira sendiri. Dan setelah dirundingkan, maka diputuskanlah bahwa untuk perempuan di negeri Sepinang akan dikumpulkan dalam kelompok- kelompok kecil tiap langgar. Tiap suku atau keluarga besar yang hidup berdekatan biasa menempati bagian kampung tertentu di Sepinang, dan mempunyai satu langgar atau surau mereka sendiri. Agak sulit mengumpulkan perempuan di sana agar bisa datang di satu waktu, sebab mereka sibuk dengan rumah tangga dan anak- anak mereka. Sehingga Syahidah pun menyepakati satu waktu untuk satu langgar saja, saban harinya. Ada empat langgar di empat kampung Sepinang, sehingga Syahidah akan mengajar empat hari dalam satu minggu. Syahidah berniat akan mengajari para puan tentang semua yang telah ia dapat dari Syeikh El- Beheira. Tentu saja, Syahidah tiada sendiri saja memberi kaji dalam empat hari tiap minggu itu. Sebagaimana telah disebut sebelumnya, putri dari Syaikh –Imaan Mariam EL- Beheira, atau biasa dipanggil Engku Mariam –akan ikut memberi penuturan ilmunya pula. “Tentu saja diriku bersemangat, Nilam,” sahut Syahidah. “Inilah pertama masaku untuk memberi pengajaran pada orang- orang. Amboi! Tak terkira degup jantungku tiada sabar untuk segera berangkat!” Dayang Nilam tertawa. “Sudahkah Engku siapkan segala yang hendak engku bawa? Apa Engku akan membawa pena bulu dan tinta sekalian?” “Kurasa tidak, Nilam. Aku hanya akan membawa pelajaran dari Syaikh El- Beheira saja. Nah, mari kita lekas berangkat! Jangan sampai Engku Mariam menunggu kita pula terlalu lama!” Kedua gadis muda itupun berjalan menuju keluar istana. Di luar, kereta yang sudah disiapkan bersama kusirnya sekali tampak sudah bersedia. *** Riuh rendah pasar terasa benar. Orang- orang tampak berputar, berhenti dan berbelanja di dekat Tuanku yang berpangkat itu. Tuanku Aminuddin, memang tengah berdiri di tengah pasar. Ia tiada membeli satu apapun, namun hanya melihat- lihat para pedagang yang sibuk menawarkan dagangannya. Sesekali ia berhenti di dekat para pedagang asing yang menjual minyak wangi, kapur, dan kain sutra- sutra halus di tempat yang agak tinggi letaknya, kemudian pergi lagi tanpa membeli, tanpa berbicara sepatah kata. Tak lama setelah itu, Tuanku Aminuddin pergi menuju dermaga. Di sana, petugas yang memeriksa kapal- kapal pencalang masuk tampak sibuk pula dengan kerjanya. Sesudut senyum menyeringai terukir di wajahnya yang kasar dan bercambang tatkala melihat saudagar berwajah Melayu yang membayarkan dua keping emas pada petugas dermaga. Tuanku Aminuddin kemudian menghembus napas panjangnya, lalu berpindah perhatian pada ombak bergulung di laut lepas. Telah larut beliau dalam lamunan, ketika dua orang yang ia tunggu- tunggu sejak tadi akhirnya datang menghampiri. Keduanya datang dari arah yang berbeda; yang satu dari arah dermaga, sedang yang lain dari arah Pasar Induk. Keduanya memberi salam hormat dan serta- merta membungkuk. “Apa yang telah kalian dapatkan?” tanya Tuanku Aminuddin tanpa basa- basi. Lelaki pertama menjawab. “Peraturan yang baru itu masih berlaku, Tuanku. Orang- orang berdagang dari Sepinang tetap membayar biaya masuk barang lebih murah daripada pedagang dari negeri lain.” “Aku sudah menduganya. Tentu kepala dermaga sudah mengabaikan perkataanku, jika begitu. Menurutnya titah pengurangan biaya lebih berharga daripada nyawanya,” gumam Tuanku Aminuddin dengan suara rendah. Ia mengingat pemandangan yang baru saja ia lihat tadi –ketika pedagang Melayu hanya membayar dua keping emas –dengan kegeraman. “Artinya mereka dapat meraup keuntungan lebih banyak apabila tetap menggunakan harga jual yang biasa. Apakah kawan seperdagangan mereka yang bukan dari Sepinang tahu bahwa biaya yang mereka bayar lebih kecil?” “Saya tak yakin, Tuanku. Tapi mungkin sudah ada yang tahu, satu- dua.” “Begitu. Lalu apa yang dapat engkau kabarkan padaku dari Pasar Induk?” tanya menteri itu seraya mengalihkan pandangannya pada lelaki kedua. Lelaki kedua itu menunduk sedikit. “Maaf, Tuanku, akan tetapi pertanyaan yang Tuanku tanyakan pada teman saya mungkin dapat saya jawab pula, sebab saya sudah berkeliling di pasar untuk menanyai para pedagang satu persatu.” Wajah Tuanku Aminuddin menunjukkan kepuasan yang sangat. “Bagus sekali. Teruskan.” “Mengenai harga, Tuanku, masih sama dengan yang dulu- dulu. Tiada perubahan yang besar, yang artinya para pedagang Sepinang masih menggunakan harga yang lama. Saya mendekati para pedagang di sini, mengajak mereka bercakap beberapa waktu, baik itu pedagang asli negeri kita, pedagang Sepinang, ataupun saudagar asing lainnya.  Dari yang saya dapat, tampaknya pedagang Sepinang ini menjaga benar perihal keistimewaan pengurangan biaya yang mereka dapat, Tuanku. Sebab tak sedikit pun gonjang- ganjing atau kata- kata kebencian yang beredar di pasar. Mereka tampak tiada bermusuhan. Tatkala saya dekati saudagar asing pula, mereka juga kiranya belum tahu perihal ini. Saat saya tanyakan apakah ada masalah dalam perdagangan mereka akhir- akhir ini, mereka yang bercakap pasal masalah lain, bukan tentang perbedaan biaya yang didapat ini.” “Baiklah,” kata Tuanku Aminuddin. Ia melemparkan dua kantung dengan logam bergemerincing di dalamnya pada orang- orang itu. “Nah, sekarang pergilah.” Keduanya pun pergi dengan hati senang, tapi tak ada yang lebih senang dibandingkan Tuanku Aminuddin. Misainya bergerak- gerak, sebab sudut bibirnya memang bermaksud menghembus- hembus bara agar api segera menyala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD