3. BUKAN SEKRETARIS IDEAL

1217 Words
Seminggu sudah menjadi sekretaris Naka, membuat Andrea mulai terbiasa. Segala kejutan yang terjadi di setiap harinya, membuatnya kebal. Ada saja tindakannya salah di mata Naka. Padahal Andrea merasa benar dan semuanya lakukan dengan hati-hati, sesuai prosedur. Tetapi di mata Naka, ia selalu dianggap melakukan kesalahan. Rutinitas pagi hari yang dilakukan Andrea yaitu menyiapkan segala keperluan atasannya agar tidak kekurangan apa pun. Makanan dan minuman sudah tersusun rapi di dalam lemari pendingin yang tersedia di ruangan itu. Tidak lupa beberapa jenis buah kesukaan Naka juga disiapkan. Sesuai dengan pesan dari Dirja dan Suta, kondisi lingkungan kerja Naka harus nyaman. Agar betah dan fokus dalam bekerja. Beres dengan pekerjaan di ruangan bosnya, Andrea siap untuk keluar dari sana. Tidak lupa ia memperhatikan pakaian kerjanya agar tetap terlihat rapi dan sopan. Posisinya saat ini membuat Andrea tidak lagi mengenakan seragam seperti karyawan lainnya. Ia harus terlihat modis dan elegan sebagai sekretaris dari seorang Bayanaka. “Sepertinya sebentar lagi Pak Naka datang. Aku harus segera keluar,” gumamnya. Andrea buru-buru melangkah agar Naka tidak melihatnya berada di ruangan tersebut. Laki-laki itu akan menatapnya sinis jika mendapati ada orang yang masuk ke ruangannya ketika datang. Hal tersebut tidak masalah bagi Andrea karena setiap orang punya kebiasaan atau aturan tersendiri dalam bekerja. Saat Andrea sudah berdiri di depan pintu, wanita itu sangat terkejut mendengar suara pintu terbuka. Sepertinya pagi ini ia terlambat dan bosnya sudah lebih dulu datang sebelum ia keluar dari ruangan. Dan benar saja, begitu pintu terbuka, sosok Naka muncul dengan penampilan yang rapi dengan aroma parfum yang tercium sangat wangi. “Selamat pagi Pak Naka,” sapa Andrea setenang mungkin. “Kamu tahu kalau saya tidak suka ada orang di dalam ruangan saya ketika saya datang.” Kata-kata Naka terdengar sinis. Laki-laki itu melangkah melewati Andrea yang masih mematung, lalu berjalan menuju kursi kerjanya. “Apa kamu belum paham dengan aturan saya? Harus saya ingatkan setiap hari biar kamu tidak lupa?” “Maaf Pak Naka. Saya sadar sudah melakukan kesalahan. Harusnya saya cepat pergi dari ruangan ini sebelum Pak Naka datang. Tapi saya terlambat melakukannya. Sekali lagi saya minta maaf,” ucap Andrea setengah membungkuk. “Saya tidak mau dengar penjelasan kamu. Jangan mentang-mentang kamu mata-matanya papa, makanya bersikap semau kamu,” katanya dengan lantang. “Sekarang keluar dari ruangan saya. Cepat!” Andrea menatap Naka dengan tatapan ragu. Padahal ia ingin menyampaikan jadwal hari ini. Tetapi ia putuskan untuk menuruti perintah atasannya itu, demi kebaikannya sendiri. “Baik Pak Naka. Sekali lagi saya minta maaf.” Naka tidak memedulikan keberadaan Andrea. Laki-laki itu duduk dengan mulut tertutup rapat, sambil tangannya sibuk memainkan ponsel. Tiada hari yang dilewati oleh Naka dengan senyum. Laki-laki itu seakan tidak punya alasan untuk memunculkan secuil keramahan di wajahnya. “Sepertinya hari ini aku sudah merusak suasana hati Pak Naka. Tapi semoga saja aku masih bisa selamat dari amukannya,” gumam Andrea ketika duduk di balik meja kerjanya. Berselang 30 menit setelah tragedi diusirnya Andrea oleh bosnya, kini waktunya wanita kembali ke ruangan Naka untuk membawa beberapa dokumen serta menyampaikan beberapa jadwal kepada laki-laki itu. Entah emosinya sudah mereda atau belum, Andrea hanya bisa pasrah demi melakukan tugasnya. “Maaf Pak Naka, ada yang harus saya sampaikan.” “Masuk!” Andrea melihat Naka sedang fokus menatap layar datang yang ada di atas meja. Hati-hati sekali wanita itu meletakkan sebuah map dengan isi cukup tebal. “Ada laporan yang harus Pak Naka periksa dan ditandatangani. Untuk jadwal hari ini sudah saya email. Dan saya mau ingatkan lagi kalau setelah jam makan siang, ada meeting dengan bagian Seles & Marketing,” jelas Andrea. “Ada lagi?” “Itu saja Pak.” “Tolong buatkan saya kopi.” Andrea mengangguk paham. “Baik Pak. Segera saya buatkan.” Saat Andrea keluar dari ruangan Naka, tiba-tiba muncul laki-laki dengan wajahnya yang ramah. Laki-laki itu adalah Suta – kakak dari Naka. “Selamat pagi Pak.” “Pagi Andrea. Bos kamu ada di dalam?” tanya Suta. “Iya Pak. Pak Naka ada di ruangannya.” Suta mengangguk. “Baiklah, saya mau menemui dia.” “Pak Suta mau minum apa? Kopi, teh atau yang lain?” “Kopi, boleh juga.” “Baik Pak. Sebentar saya bawakan ke dalam,” ucap Andrea. Lagi-lagi Suta mengulas senyum. “Terima kasih.” Sungguh sifat dan sikap yang sangat berbeda dengan Naka. Suta selalu hangat namun tetap berwibawa. Laki-laki yang sudah memiliki istri serta anak itu juga, penerus yang sangat ideal bagi Autumn. Tidak dengan Naka, yang selalu emosi tanpa sebab. Begitu dua kopi buatannya selesai, Andrea segera membawa ke ruangan Naka. Terdengar dua bersaudara sedang bicara serius dan tentu saja yang dibahas mengenai pekerjaan. Hati-hati sekali Andrea meletakkan cangkir kopi di atas meja. “Silakan Pak Naka dan Pak Suta.” “Terima kasih Andrea. Sudah lama saya tidak mencicipi kopi buatan kamu,” ucap Suta ramah. Naka sendiri tidak mengatakan apa-apa. Tangannya meraih kuping cangkir lalu menyesap kopi secara perlahan. Namun seketika keningnya mengernyit dengan raut wajah tidak mengenakkan. “Kenapa kopinya manis sekali?” tanya Naka dengan nada tinggi dan menatap Andrea. Tajam. Andrea terkejut. “Maaf Pak Naka. Sepertinya tertukar dengan kopi Pak Suta.” Suta menyicipi kopinya sebelum memberi tanggapan atas keluhan adiknya. Setelah itu, laki-laki itu tersenyum. “Memang tertukar. Tapi tidak masalah.” “Sekali lagi saya minta maaf. Biar kopinya saya ganti.” “Andrea! Ini bukan kali pertama kamu buat kopi tapi kenapa kamu bisa seceroboh ini? Hal sepele saja kamu tidak becus. Bagaimana nanti kamu melakukan pekerjaan penting lalu seceroboh ini. Bisa-bisa tindakan kamu menimbulkan masalah besar bagi Autumn!” “Maaf Pak Naka …” “Ini bukan soal minta maaf tapi kamu ceroboh dan bodoh!” bentak Naka sekali lagi. “Naka, sudah cukup. Kenapa kamu berlebihan sekali perkara kopi yang tertukar?” “Mas, mungkin ini hanya masalah kopi. Tapi hal sederhana saja bisa salah, apalagi pekerjaan penting. Apa pantas orang seperti dia jadi sekretarisku? Apa ini sekretaris yang hasil kerjanya selalu dibanggakan oleh papa?” “Aku tahu maksud kamu tapi jangan membentak Andrea seperti ini. Dia sudah mengakui kesalahannya, jadi sudah cukup kamu marahi,” ucap Suta. Kini pandangan laki-laki itu beralih ke Andrea yang tengah berdiri sambil tertunduk. “Andrea, kamu bisa pergi. Silakan lanjutkan tugas kamu.” Andrea mengangkat wajahnya dengan perasaan campur aduk. Menatap sekilas Naka yang masih marah dan Suta yang nampak begitu tenang. “Baik Pak. Sekali lagi saya minta maaf atas kecerobohan saya.” Setelah Andrea keluar dari ruangan tersebut, terdengar Suta menghela napas pelan. “Jangan melampiaskan rasa amarah dan kecewa kamu kepada Andrea. Dia seorang sekretaris tapi jangan pandang pekerjaan utamanya membuat kopi. Mungkin hari ini dia salah, tapi kamu bisa lihat bagaimana hasil dari kewajiban utamanya membantu kamu.” “Kenapa Mas membela dia? Sedekat apa dia dengan Mas dan papa?” “Bukan masalah dekat atau tidak. Tapi karena dia wanita tangguh dan pekerja keras. Mungkin kamu merasa biasa saja, tapi percayalah, cukup sulit menemukan sekretaris seperti Andrea,” jelas Suta. Sementara itu, Andrea terduduk lemas di kursi kerjanya. Ia menghela napas panjang, menyesali kesalahan yang sudah dilakukan. Merasa pantas mendapat teguran bahkan amarah dari Naka. Namun hatinya sedikit tercubit mengingat kata-kata pedas dari laki-laki itu. “Apa mungkin aku memang bukan sekretaris yang ideal, dalam membantu pekerjaan Pak Naka?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD