BAB 21: Lawan dari Kerakusan

1124 Words
Hector lalu menoleh pada cairan di dalam kuali besar yang masih Luis aduk. "Kau mengerti apa yang aku pikirkan, bukan? Aku tahu kau sedikit pintar. Jadi aku tidak ingin mengulangnya lagi." Pemuda buta tersebut memelankan gerakan tangannya yang memutar. “Iya, aku tahu. Kita harus membunuh makhluk itu meski dengan cara apa pun. Menyelesaika dua misi sekaligus ... ” Luis melemparkan penyataan yang sejalan dengan pemikiran Hector. “Terdengar sangat mudah, ya?” sindir Luis ringan. Namun, sudut bibir pemuda buta tersebut tertarik ke atas, meski hanya sedikit. Ia setuju dengan bagian harus membunuh Peri Beel. Alasannya sudah jelas, karena makhluk jelek tersebut sudah berani membuat majikan sekaligus murid Luis—Asley—seperti itu. Hector bukannya tersinggung, orang tua bertubuh anak kecil ini malah tergelak lepas. Sampai-sampai Luis heran letak lucu dari kalimatnya tadi apa. Dia tidak pernah bisa mengerti selera kakek-kakek, wajar saja. “Makanya aku sudah bilang ‘kan, dari awal?” Hector berdiri dan melangkah ke samping Luis. “Sudah cukup mengaduknya. Saksikanlah kehebatanku ini!” Luis menghadap pada Hector dan diam selama dua detik sebelum akhirnya ia melangkah mundur untuk mempersilakan sang dukun melakukan aksinya. Benar. Baru sekarang terpikirkan. Apa salah satu alasan Luis acap kali mendebat Hector adalah karena kesombongan dan tingkat kepercayaan diri dukun kecil ini yang terlalu tinggi? Hector tersenyum lebar sambil mengarahkan kedua telapak tangannya yang kosong ke arah kuali besar tadi. “Perhatikan ini.” Luis memerhatikan dengan seksama, dari tadi yang ia aduk hanyalah air biasa tanpa keistimewaan apa-apa. Namun, Hector bilang itu adalah racun untuk Peri Beel. Bukankah terlalu riskan membuat racun di rumah orang yang akan diracuni? Lagi-lagi Luis tidak paham akan pemikiran kakek-kakek. “O natura, da mihi lucem tuam,” ucap Hector kemudian seberkas cahaya yang terang benderang mulai muncul dari kedua telapak tangannya. Meski Luis tidak tahu—dalam artian tidak dapat melihat—cahaya dari tangan Hector, sepertinya Luis bisa mendengar suara cahaya sekarang, entah bagaimana caranya. Mungkin … sejak bertemu dengan Pohon Kehidupan? Bisa jadi. “Apa yang kau lakukan sekarang?” Luis melemparkan pertanyaan. Hector tersenyum lagi sampai menampilkan sederet giginya yang meski rapi, tapi tidaklah putih lagi. “Aku juga membaca ini di buku. Luis, menurutmu apa lawan dari sifat kerakusan? Coba sebutkan.” Meski heran, Luis tetap berusaha untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan konyol yang tiba-tiba dilayangkan kepadanya. “Hemat.” “Lalu?” “Kepuasan.” “Ada lagi?” Kening Luis berkerut dalam. “Seder … hana?” “Baiklah, itu sudah cukup.” Untuk apa itu semua? Luis yang tidak ingin menambah pusing kepala lagi dan lebih memilih untuk fokus kepada apa yang akan Hector lakukan saja. Sesekali, Luis berusaha melacak di mana posisi Peri Beel, tapi aman, tidak ada tanda-tanda bahwa makhluk buruk rupa itu ada di sekitar mereka. Hector mulai merapalkan mantra. “Audi, natura, petitionem meam. Da hanc aquam continentiae, frugalitatis et simplicitatis,” sebutnya lugas. Kemudian ada bulatan cahaya sebanyak tiga yang keluar dari kedua telapak tangan Hector. Tiga cahaya tersebut sebesar kepalan tangan dan perlahan bergerak memasuki kuali besar tadi. “Pu xim,” perintah Hector lagi maka air di dalam kuali besar tersebut langsung mengeluarkan cahaya putih yang terasa hangat, ada kesucian yang murni dari dalam sana. Air tersebut juga berputar bagai diaduk dengan kasat mata. “Luar biasa.” Mulut Luis bergerak memuji kesaktian Hector dengan sendirinya. “Dia nanti akan memasak kita dengan air ini,” terang Hector menghancurkan suasana. Cahaya di tangannya mulai meredup, kemudian lambat laun cahaya tersebut seakan menenggelamkan diri, masuk ke tangan Hector kembali. Begitu pula dengan air dalam kuali besar tadi, cahaya sudah tidak ada dan airnya pun berhenti mengaduk sendiri. “Jadi?” Luis berusaha tidak langsung emosi. Dia juga tidak ingin langsung panik karena Hector tak mungkin membahayakan mereka semua. “Kau tahu, kan? Saat memasak, orang akan terlebih dahulu mencicipi masakannya. Apalagi kita mau dijadikan sup, em … sepertinya.” “Lalu dia akan mencicipi racun ini dan langsung mati?” “Tidak. Racun ini mana bisa membuatnya mati.” “Lantas?” “Kita yang akan membunuhnya sendiri. Racun ini hanya berfungsi untuk membuatnya jadi gila dalam artian … melemahkan peri jelek itu. Maka saat dia kesakitan, kita bisa menyerang.” “Dengan apa?” “Kemarikan tongkatmu itu.” Hector menadahkan tangan dan langsung menyambar ketika Luis memanjangkan tongkatnya lagi. “Mau kau apa kan?” “Buat jadi senjata pembunuh,” sahut Hector santai. Ia mengarahkan telapak tangan pada ujung tajam dari tongkat khusus orang buta milik Luis, mulut kecil yang suka berceloteh itu pun mulai merapalkan mantra sakitnya lagi, “O natura, planta virtutem, quae hoc telo tenebras perdere potest.” Ada sekilat cahaya ungu gelap yang muncul dari telapak tangan kanan Hector dan masuk ke dalam tongkat Luis dalam sekejap mata. Tersenyum puas, Hector lantas meletakkan kembali tongkat tadi ke tangan Luis. “Sudah selesai. Aku hanya punya kekuatan mana dari alam, karena itu, nanti aku sangat berharap besar padamu untuk mengalahkan iblis jahat ini, Luis,” tukas sang dukun sakti. Kening Luis berkerut tipis. Ia memutar tongkatnya sekilas lalu memencet tombol yang membuat tongkat tadi kembali memendek. “Kau tahu? Dari pada dukun … kau lebih seperti penyihir saat ini. Ah, apa kedua hal itu sama saja?” Kepala Hector menoleh ke arah belakang lalu berputar lagi menatap Luis. “Tidak. Aku hanya dukun biasa saja. Ini semua juga hanya percobaanku yang pertama,” jujur tubuh anak kecil itu terlihat menyebalkan. Urat di kepala Luis mulai bermunculan, rahangnya mengeras segaris dengan wajah penuh emosinya yang memuncak sampai ke ubun-ubun. “Kau bercanda? Kita saat ini berhadapan dengan maut!” desis pemuda buta itu sengit. Hector malah menggaruk kepala dan memasang muka tanpa rasa bersalahnya. “Habis, aku baru kali ini diberi berkat yang luar biasa sekali oleh Pohon Kehidupan. Kau lihat sendiri bagaimana efektifnya kekuatan yang aku kerahkan, bukan? Aku juga lebih memilih mati dari pada membiarkan kalian terbunuh, paham?” Kalimat yang cukup untuk menenangkan amarah membara Luis. Luis tidak menemukan satu titik pun kebohongan dari ucapan yang Hector katakan barusan. Dukun yang sedikit tak waras itu sungguh serius ketika bilang lebih baik mati dari pada membiarkan ia dan Asley terbunuh. “Kalau begitu—” DEG! Mata Hector membelalak lebar, sedangkan Luis langsung bergerak cepat menuruni kursi. “Peri Beel kembali! Dia berlari dengan cepat ke arah sini!” peringat Luis mulai merasa panik. “Iya, kau tahu!” Hector tanpa pikir panjang melompat turun, ia sempat terguling bagaikan bola demi menjaga agar tulang-tulangnya tidak patah. Tanpa banyak basa-basi lagi, Hector segera menyusul langkah kaki Luis. Kedua laki-laki itu harus sembunyi dan membiarkan Peri Beel mengamuk karena menemukan dua mangsanya kabur. Dengan begitu, fokus Peri Beel hanya akan terarah pada Asley seorang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD