bc

Merajut Asa (Indonesia)

book_age16+
1.5K
FOLLOW
18.9K
READ
age gap
comedy
sweet
like
intro-logo
Blurb

Temuilah Asa, pria tampan rupawan yang usianya sudah menginjak kepala tiga. Tapi entah kenapa jodoh tak juga menghampirinya.

Temui pula Yuri, gadis polos cantik yang masih duduk di bangku kelas tiga SMA, yang bisa-bisanya jatuh cinta pada pandangan pertama kepada om dari sahabatnya sendiri.

Bagaimana jadinya jika mereka terlibat dalam satu kisah yang sama? Mungkinkan bagi mereka untuk merajut sebuah asa bersama?

chap-preview
Free preview
1. Asa: Galau
Ada yang tau bagaimana rasanya patah hati? Aku tidak tau. Tadinya. Ya, sampai aku mengenal yang namanya jatuh cinta, walau mungkin di usiaku yang sudah terbilang sedikit terlambat. Kapan pertama kali kau merasakan jatuh cinta? Saat kuliah? Atau saat SMA? Atau SMP? Aku tidak. Aku terlalu sibuk belajar, menjadi siswa teladan dan melupakan segala hal tentang ketertarikan terhadap spesies perempuan. Tapi bukan berarti aku gay. Aku normal. Aku berasal dari keluarga baik-baik. Aku hanya terlalu lalai urusan hati. Kalau kau masih butuh bukti, aku punya satu bukti kuat hari ini. Hari dilangsungkannya pernikahan wanita itu. Wanita yang telah berhasil merebut hatiku. Reana. Aku hanya bisa berdiri dari jauh, memandangi sosok itu yang sedang duduk manis di pelaminan. Entahlah apa yang membawaku kemari. Seharusnya aku tak datang. Daripada aku harus mengorbankan perasaanku sendiri saat ini. Mungkin orang-orang akan berpikir aku ini melankolis. Tapi ini bukan soal usia. Ini soal pengalaman. Menghadapi sesuatu dengan pengalaman nol tentu akan membuat seseorang mengambil sikap sepertiku. Mungkin seharusnya aku tidak datang. Walaupun dia telah mengundangku. Tapi entah itu sekedar rasa penasaan, atau pembuktian atau apalah, aku hadir di sini. Merasakan remuknya hati saat melihat wanita yang memiliki hatiku, bersanding dengan pria lain. Ya, terus berada di sini artinya mengumpankan hatiku pada piranha yang kelaparan. Akan habis tak bersisa. Tapi aku tak bisa menyalahkan siapapun. Tidak wanita itu. tidak pula sang waktu, ataupun takdir. Ini kesalahanku. Yang tak gigih memperjuangkan cinta. Terlambat mengenal cinta membuatku lambat jua dalam mengambil sikap. Yang kusesali saat ini. Namanya Reana Cantika Gunadi. Kami bertemu pertama kali beberapa tahun yang lalu di Kota New York, saat aku melanjutkan studi, mengambil beasiswa di sana. Dia kuliah di kampus yang sama denganku. Bahkan, kami tinggal di gedung apartemen yang sama. Kurasa tak ada salahnya, mengingat kembali pertemuanku dengan wanita bernama Reana. (Flashback) Aku ingat sudah beberapa kali melihat wajah wanita yang kini sedang berjalan menuju apartemen yang sama denganku. Menurut penilaianku, wanita ini mungkin orang Indonesia. Kami akhirnya memasuki lift yang sama, meskipun berhenti di lantai yang berbeda. Keesokan harinya aku kembali bertemu dengan wanita cantik itu. Kali ini kuberanikan diri untuk tersenyum padanya saat kami berpapasan di lobi. Dia membalas senyumanku. Perasaan senang mengaliri hatiku saat aku berjalan melewatinya. Tapi di luar dugaanku, dia kembali dan menyapaku. "Hai... Are you... Indonesian?" tanyanya padaku dengan sedikit ragu. Ya, aku yakin wajah tampanku yang sangat Mongolian menunjukkan bahwa aku ini orang Indonesia asli. "I am. Are you?" aku menjawab dan balas bertanya padanya. Wanita itu terkekeh dan membuatku terpesona dengan tawanya yang tampak anggun. "Senang rasanya bertemu rekan sebangsa di negeri orang..." ucapnya kemudian seraya mengulurkan tangannya padaku. Aku tersenyum dan menjabat erat tangan kecil yang halus itu. "Reana..." ucapnya lagi. "Rehasa. Asa..." balasku. Bahkan, nama kami harus terdengar senada? "Nama yang bagus," ucapnya dengan senyuman tersungging di bibirnya. "Senang berkenalan denganmu. Aku tinggal di lantai dua puluh," ucapku. "Aku di lantai dua puluh dua. Sesekali mampirlah..." balasnya padaku. "Tentu..." jawabku, sekali lagi menyimpulkan sebuah senyuman untuknya. Dia melihat arloji di tangannya dan tampak terkejut. "Ah! Aku ada janji. Sampai bertemu lain kali..." ucapnya sebelum kemudian dia berjalan mundur, menjauh dariku. "Oke. Hati-hati di jalan, ya!" pekikku karena ia sudah semakin menjauh. Dengan senyuman merekah di bibirku, aku melanjutkan perjalanan menuju apartemen yang kuhuni bersama teman-teman satu kampus, yang berasal dari negara yang berbeda-beda. Kuabaikan pertanyaan mereka yang merasa aneh melihatku pulang dengan senyuman lebar di wajahku. Aku memilih langsung berbaring di kamar dan mengenang ingatan menyenangkan yang baru saja kualami. Reana. Nama yang cantik, seperti orangnya. Reana. Rehasa. Nama kami senada. Ada kemungkinan tidak, ya, kalau kami akan berjodoh? Pemikiran bodoh itu terus berputar-putar di dalam kepalaku. * Setelah hari itu, kami semakin sering berjumpa, bahkan menghabiskan waktu bersama. Tanpa terasa, cintapun telah tumbuh di dalam hatiku. Waktu dua tahun terasa begitu cepat saat aku menikmati kebersamaanku dengannya. Dan tibalah pula waktu bagi kami untuk kembali ke kampung halaman. Aku ke Jakarta, dan Rea ke Tangerang. Sedikit menyesal, karena selama ini aku tak menyatakan rasa yang kupunya terhadapnya. Tapi kupikir tak apalah, toh Tangerang tak juga jauh dari Jakarta. Aku akan memiliki pekerjaan terlebih dahulu, sebelum kemudian mengungkapkan cintaku padanya. Kurasa sudah cukup masa belajar yang kujalani selama puluhan tahun ini. Sudah cukup aku selalu mengejar ilmu pengetahuan. Mungkin sudah saatnya aku mulai megejar cinta. Ya, hasrat dan kesibukanku akan menuntut ilmu dan mengenyam pendidikan membuatku mengabaikan fakta bahwa kini aku sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang sudah memasuki usia matang. Usiaku kini sudah 26 tahun. Sudah seharusnya aku bekerja demi masa depanku bersama siapapun yang akan menjadi pendampingku kelak. Dan kuharap, semoga saja itu Reana. Setelah pulang dan menemukan pekerjaan, yang tentu saja tak sulit dengan pendidikanku yang sudah meraih gelar magister, aku bergegas ke Tangerang untuk bertemu Reana. Bukan untuk melamar, tak secepat itu. Kurasa aku tak siap menikah secepat itu. Tapi aku ingin mengungkapkan perasaanku padanya, dan berharap dia akan setuju untuk menikah denganku beberapa tahun lagi. Fakta bahwa dia adalah putri pengusaha sukses di Tangerang membuatku mundur selangkah dari rencana yang sudah separuh kujalani. Aku bukan apa-apa saat ini. Bagaimana mungkin aku berharap dia akan melihatku? Dulu, di New York, hanya aku teman sebangsanya. Tentu saja dia akan melihatku. Tapi sekarang, sebagai siapa dia akan melihatku? Aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan mengurungkan lagi niat awalku itu. Dan nasehat dua orang sahabat terbaikku yang terus menyemangatiku untuk tetap maju akhirnya mendongkrak keberanianku untuk kembali mengejarnya ke Tangerang. "Kamu apa?" tanya Rea setelah aku mengutarakan perasaanku dengan kegugupan luar biasa saat kami duduk di teras rumahnya. "Aku... menyukaimu..." ulangku. "Maukah kamu jadi pacarku?" tanyaku lagi. Rea tersenyum lemah, kemudian hal yang kutakutkanpun terjadi. Dia menggeleng perlahan. Retak sudah hatiku menerima jawaban itu. Jawaban tanpa suara yang cukup menghancurkan semua harapan yang ada. Keberanian yang telah kukumpulan dengan susah payahpun terbang menjauh begitu saja. "Kamu orang yang sangat menyenangkan, Asa. Aku senang menghabiskan waktu bersamamu. Tapi, maaf, aku tidak bisa..." ucapnya dengan nada menyesal. Kalimatnya membuat hatiku yang tadinya memang sudah retak, menjadi hancur berkeping-keping. Dan kepingannya pun beterbangan tertiup angin. Seharusnya, aku menanyakan kepadanya tentang alasan dia tidak bisa menjadi pacarku. Tapi, kurasa aku terlalu cerdas untuk tidak mengerti maksudnya bahwa dia tak menyukaiku seperti aku menyukainya, kan? Terlebih, aku bisa menangkap, bahwa mungkin dia sudah menyukai orang lain. "Tapi kita masih bisa berteman, kan...?" tanyanya ragu. "Ya.. Tentu.." jawabku lirih. Membunuh semua rasa malu dan patah hati yang telah menghinggapiku. Dan setengah mati memaksakan sebuah senyuman di hadapannya. Aku tidak boleh lemah di hadapannya, kan? Aku hanya akan menghancurkan harga diriku sebagai seorang laki-laki dewasa. Aku adalah seorang pria berpendidikan tinggi. Jadi, aku harus tegar. Atau setidaknya, berpura-pura tegar. Aku menyentuh pundaknya perlahan, mencoba menajadi manusia paling berbesar hati yang pernah ada. "Kalau main ke Jakarta, hubungi aku, ya... Aku akan menemanimu jalan-jalan..." ucapku padanya, dengan susah payah menahan denyutan hatiku yang terasa menyakitkan. Setelah itu, aku pamit meninggalkan Reana. Terhuyung, aku berjalan menjauh darinya. Meninggalkan kota Tangerang, dan mungkin tak akan kembali. Meninggalkan kepingan hatiku yang berserakan, yang mungkin kelak akan kupungut kembali satu demi satu. * * * Saat itu aku mengaku kalah dan menyerah. Bahkan aku berhenti menghubungi Rea, dan mulai menyibukkan diri dengan pekerjaanku yang memang mulai menyita waktu. Sampai akhirnya aku mendapatkan undangan pernikahan Rea yang dikirimnya via surel minggu lalu. Hatiku kembali sakit dan penyesalan mulai terasa menyerang akal sehatku. Seandainya dulu aku tak berhenti begitu saja, apa aku masih punya kesempatan untuk menggapainya? Mungkin akal sehatku yang membawa kakiku melangkah ke kota Tangerang untuk menghadiri pernikahan Rea. Karena Rea tak punya banyak teman, dan aku adalah satu dari hanya segelintir orang yang diundangnya. Namun hatiku, yang lemah karena patah hati, melarangku menghampirinya di pelaminan. Bahkan ketika pelaminan itu hanya tinggal berjarak beberapa langkah dariku. Kurasa, lebih baik aku menenangkan diriku terlebih dahulu. Akhirnya kuputuskan untuk pergi meninggalkan gedung resepsi tanpa menyapa Rea. Hanya mencoba memungut kembali serpihan hatiku yang sempat tertinggal di kota Tangerang. Kurasa kembali kemari merupakan suatu kesalahan. Dan setelah aku pergi kali ini, aku benar-benar tak akan menginjakkan kakiku di kota ini lagi. Aku harus pulang. Meninggalkan semua ini. Menyembuhkan hatiku. Mungkin saat ini aku tidak baik-baik saja. Tapi kelak, aku akan baik-baik saja. Aku harus baik-baik saja. Aku tidak ingin memikirkan wanita yang sudah menjadi istri orang lain. Karena itu tidak benar. Jadi, selamat tinggal, Rea. * Aku jengah mendapatkan tatapan prihatin dari kedua sahabatku yang kini hadir di hadapanku. Mereka yang tak biasanya menghampiriku di kantor, bisa-bisanya berbarengan memunculkan batang hidung mereka di ruang kerjaku hari ini. Terlebih, mereka membawa sekantong permen, sekotak coklat, dan begitu banyak es krim. Berulang kali aku mendengus sebal pada kedua makhluk itu, sambil memberi kode tersirat agar mereka pergi dari sini. Tapi seolah mereka sama sekali tak peka. Mereka teap duduk di sini, menikmati semua makanan manis yang mereka bawa. "Sudahlah, berhenti mendengus dan makanlah es krim ini! Ini sangat enak, Sa!" ucap Dehyan nyaring. "Coklat ini juga terasa lezat. Dan ampuh mengobati patah hati, kau tahu?" suara Ando benar-benar membuatku mendelik kesal padanya. Bagaimana aku bisa mempunya sahabat yang menyebalkan seperti mereka? Aku menyesal telah mengabari mereka tentang pernikahan Rea yang hampir kudatangi kemarin, yang akhirnya kuputuskan membatalkan niat awalku untuk menghadirinya. Dengan bodohnya, aku menelepon mereka ketika di perjalanan pulang dan membiarkan mereka mendengarkan suara hatiku yang pasti terdengar galau. Bodoh sekali. Aku memalukan, bukan? Sebagai yang paling senior di antara kami bertiga, tentu saja aku merasa memalukan. "Aku tak apa. Angkat saja kaki kalian dari sini, karena aku mau bekerja!" ketusku pada mereka. "Sudahlah, Sa... Jangan berpura-pura. Kami di sini untukmu..." ucap Ando mencoba membujukku. "Masa kau tega mengusir kami?" sahut Dehyan, menanyakan pertanyaan yang sebenarnya mereka sudah tau jawabannya. "Kami akan ada untukmu saat kau butuh, Sa..." lanjut Ando pelan. Dan entah kenapa, sebuah kalimat dari Ando itu sukses melegakan hatiku, dan kini akupun telah terduduk di atas sofa panjang yang juga mereka duduki. Kuhela napas panjang, dan kuraih es krim yang sedari tadi ditawarkan Dehyan. Kurasa sesuatu yang dingin akan membantu mendinginkan hati dan kepalaku yang terbakar oleh patah hati. Pada akhirnya, aku tidak jadi bekerja. Hanya menghabiskan waktu bersama kedua sahabat yang sama gilanya denganku ini, menghabiskan semua makanan manis yang mereka bawa kemari. Dan besok, bisa dipastikan kami semua akan sakit gigi! "Memangnya kalian nggak kerja? Buang-buang waktu di sini..." ucapku dengan mulut penuh es krim. "Bosku adalah ayahku sendiri, jadi nggak masalah," jawab Ando sambil mengangkat bahu, dan mengulum permennya lagi. "Aku lagi nggak banyak pekerjaan..." jawab Dehyan dengan mulut penuh coklat. "Hey, coklatmu berhamburan!" pekik Ando memprotes. "Jorok!" sahutku seraya melemparkan tisu pada Dehyan yang hanya tertawa dengan suka cita. Ya, kami ini memang seperti anak kecil, yang menghabiskan waktu dan uang untuk makanan manis. Mungkin lebih masuk akal jika kami menghabiskan waktu di bar saat ada masalah begini. Seharusnya kami pergi minum minuman keras dan pusing serta muntah-muntah keesokan harinya. Bukannya malah mengulum semua makanan manis ini dan menderita sakit gigi besok pagi. Kami memang pemuda-pemuda antik. Ajaran agama membuat kami menjauhi rokok dan juga minuman keras, apalagi n*****a. Ya, bisa dibilang, kesamaan itu juga yang semakin mendekatkan kami, selain hobi dan minat kami yang sama, serta kecocokan kami dalam hal apa saja. Dan aku bersyukur telah mempunyai sahabat seperti mereka. Tanpa sadar, senyum terukir di bibirku. Yang tentu saja membuat kedua sahabatku yang kini tengah menatapku, ikut tersenyum cerah. Tentu mereka merasa bangga karena sudah berhasil menghiburku.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

PASSIONATE LOVE [INDONESIA] [END]

read
2.9M
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Guru BK Itu Suamiku (Bahasa Indonesia)

read
2.5M
bc

MANTAN TERINDAH

read
7.0K
bc

DESTINY [ INDONESIA ]

read
1.3M
bc

My One And Only

read
2.2M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook