Chapter 1

2053 Words
“Apa?” tanya Delwyn dengan kening yang mengerut, tak percaya dengan apa yang ia dengar. “Aku bilang aku ingin putus,” ulang Clarissa dengan tegas. “Tapi kenapa? Kenapa kamu ingin putus?” tanya Delwyn. “Aku ingin melanjutkan pendidikanku ke Harvard,” jawab Clarissa seraya mengalihkan tatapannya dari Delwyn. “Lalu kenapa kita harus putus? Tidak apa-apa kamu pergi ke Harvard untuk melanjutkan pendidikanmu, aku tidak akan melarangmu untuk pergi,” ucap Delwyn. “Tapi, aku tidak bisa. Aku tidak bisa menjalin hubungan jarak jauh,” ujar Clarissa. “Kalau begitu aku akan ikut denganmu ke sana,” ucap Delwyn yang membuat Clarissa terdiam sesaat. “Aku tidak bisa, El,” ujar Clarissa pada akhirnya. “Kenapa?” tanya Delwyn. “Setelah semua yang kulalui, akhirnya aku berhasil mendapat tawaran beasiswa untuk ke Harvard. Aku tidak ingin menyia-nyiakannya dan aku sudah memutuskan untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Aku ingin menggapai cita-citaku untuk menjadi seorang pengacara terbaik,” jelas Clarissa. “Kalau kita ... kalau kita tetap menjalin hubungan seperti ini, aku tidak yakin kalau aku bisa fokus pada pendidikanku,” lanjutnya. “Tapi, Cla. Aku tidak ingin putus. Aku tidak ingin putus denganmu. Aku sangat mencintaimu,” tolak Delwyn seraya menggenggam tangan Clarissa erat membuat wanita itu menggigit bibir bawahnya. “Aku mohon. Jangan seperti ini,” mohonnya lirih. “Aku janji tidak akan mengganggu waktu belajarmu. Kita hanya akan bertemu kalau kamu senggang. Aku bahkan tidak akan menghubungimu sampai kamu yang lebih dulu menghubungiku,” tambah Delwyn membuat Clarissa kembali terdiam selama beberapa saat. “Ya?” tanya Delwyn menatap penuh harap pada Clarissa yang terdiam. “Maafkan aku, El. Aku tidak bisa. Aku mohon padamu untuk mengerti keadaanku,” putus Clarissa seraya melepas genggaman tangan Delwyn dari tangannya. “Apa?” tanya Delwyn. “Beberapa hari lagi aku akan berangkat ke Amerika,” ucap Clarissa. “Cla,” lirih Delwyn yang kini merasakan tubuhnya melemah. “Lupakan aku dan carilah wanita yang lebih baik dari aku. Maaf karena selama ini aku selalu bersikap manja dan kekanakan padamu. Selamat tinggal, El,” ujar Clarissa kemudian berbalik pergi dari sana dengan senyum terakhir yang menghiasi wajahnya. Meninggalkan Delwyn yang terdiam mematung di tempatnya. Perlahan, air mata Delwyn menetes dari pelupuk matanya seraya memandangi kepergian Clarissa yang kini mulai menjauh darinya. Kakinya terasa sangat berat bahkan hanya sekadar melangkah dan mengejar Clarissa lalu memohon pada wanita itu untuk tidak memutuskan hubungan yang telah mereka jalin selama setahun. Namun, sampai bayangan Clarissa menghilang di balik pintu pun, Delwyn masih tetap berdiri di tempatnya seperti orang bodoh. Ketika ia kesadarannya telah kembali, keduanya tangannya mengepal kuat, rahangnya mengetat, matanya menatap tajam lurus ke arah pintu yang baru saja dilalui oleh Clarissa. “ARGH!” teriak Delwyn seraya mencengkeram rambutnya keras. “ARGH!” teriaknya lagi kemudian menghancurkan barang-barang yang ada di sekitarnya. Suara barang berjatuhan, kaca pecah, dan teriakan Delwyn pun terdengar saling bersahutan seiring dengan air matanya yang mengalir di dalam apartemen yang khusus ia beli sebagai tempat untuknya dan Clarissa berduaan jika mereka sedang malas untuk pergi ke mana-mana. Setelah puas membuat apartemen tersebut menjadi hancur, Delwyn mendudukkan dirinya di belakang sofa seraya memegang kepala menggunakan tangan kanannya. Air matanya pun tak berhenti mengalir di pipinya. Tangisan sesak terdengar dari bibirnya. Beberapa kali ia menggumamkan nama Clarissa dan sebanyak itu juga hatinya berdenyut sakit. Karena, seberapa banyak pun ia memanggil Clarissa, wanita itu tidak akan pernah kembali. Wanitanya tidak akan pernah kembali padanya lagi. ------- Napas Delwyn terengah-engah kala kejadian enam tahun yang lalu hadir kembali dalam mimpinya. Satu-satunya hal yang tak ingin ia ingat kembali. Namun sialnya, kejadian itu justru selalu hadir dalam mimpi buruknya. Seperti malam ini. Delwyn Carbert, seorang pria berusia 26 tahun yang merupakan putra bungsu dari pasangan Will Carbert dan Macy Allison, salah satu pengusaha terkaya di Indonesia. Dan saat ini, Delwyn memegang salah satu cabang perusahaan sang Ayah yang berada di London. Meski begitu, Delwyn tak pernah menetap di London dan selalu pulang ke Indonesia seminggu sekali. Walau itu adalah tindakan yang hanya membuang waktu, tapi Delwyn cukup menyukainya. Menghabiskan waktu untuk hal yang tak penting adalah hobinya. Delwyn sendiri memiliki empat saudara kembar lainnya. Yang pertama adalah Aldrich Carbert, kedua Byll Carbert, ketiga Conradinez Carbert, dan keempat adalah Evelyn Carbert. Di antara mereka, Delwyn lahir di urutan keempat. Maka dari itu, ia menjadi putra bungsu. Sementara Evelyn yang lahir paling terakhir menjadi putri semata wayang. Delwyn lantas mengusap wajahnya yang dipenuhi oleh keringat dingin akibat mimpi buruknya kemudian menghela napas panjang. Ia lalu menoleh pada jam yang berada di atas meja nakas yang masih menunjukkan pukul 04.00 dini hari. Masih terlalu pagi untuk memulai hari. Namun, Delwyn yang terlalu takut untuk tidur kembali karena takut memimpikan mimpi yang sama seperti sebelumnya, memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur setelah menyingkap selimutnya. Di tengah keremangan penthouse-nya yang hanya diterangi oleh sinar bulan dan bintang yang masuk melalui jendela kaca besar, kaki Delwyn terus melangkah menuju dapur yang berada tak jauh dari kamarnya. Membuka kulkas lalu mengambil sebuah botol air minum kemudian meneguknya hingga menyisakan setengah dari isi botol tersebut. Setelah mengisi perutnya dengan air, Delwyn kembali melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Seusai membasuh wajah, Delwyn beranjak ke walk in closet dan mengganti pakaiannya. Tak lama kemudian, Delwyn keluar setelah menggunakan celana training pendek, jaket parasut, serta sepatu. Ya, Delwyn berniat untuk berlari mengelilingi kota London saat ini. Ia tahu kalau ini masih terlalu pagi untuk berolahraga, tapi ia juga tak ingin menghabiskan waktunya di penthouse untuk memikirkan mimpi buruknya. Ting! Delwyn segera masuk ke dalam lift yang hanya bisa diakses oleh pria itu. Pasalnya, lift tersebut adalah lift yang langsung terhubung dengan penthouse Delwyn hingga pria itu tak perlu repot-repot membuka pintu untuk menekan tombol lift. Ting! Kini, pintu lift kembali terbuka ketika Delwyn telah tiba di lantai dasar. Lantai yang menjadi tujuannya. Kaki Delwyn lalu melangkah keluar dan membelah lobi penthouse-nya. Menyapa balik beberapa petugas gedung yang menyapanya sebelum ia benar-benar keluar dari gedung tersebut. Sebelum memulai aksi larinya, Delwyn terlebih dahulu melakukan peregangan di tengah cuaca dingin kota London yang masih diterangi oleh lampu jalan. Seusai melakukan peregangan, Delwyn mulai berlari pelan ke sisi kanan gedung hingga menjadikannya satu-satunya penghuni jalanan kota London di jam begini. Suara langkah kaki Delwyn yang berlari di trotoar yang sepi, serta suara napas Delwyn yang keluar dari bibirnya dengan teratur dapat terdengar jelas di telinga. Setelah puas mengelilingi kota London selama hampir dua jam tanpa henti, Delwyn memutuskan untuk kembali ke penthouse-nya. Bagi Delwyn, berlari selama dua jam bukan apa-apa baginya dari pada memimpikan kejadian enam tahun lalu. Kejadian yang sangat berdampak pada hidupnya. Setibanya di penthouse, Delwyn langsung mandi untuk membersihkan tubuhnya yang penuh keringat setelah berlari. Setelah mandi, hanya mengenakan handuk putih yang menutupi pinggulnya, Delwyn keluar kamar lalu membuat kopi menggunakan mesin penyeduh kopi otomatis. Tak lama setelahnya, aroma kopi langsung menguar di seisi penthouse Delwyn. Selama beberapa saat, Delwyn menikmati aroma kopi tersebut sebelum meminumnya. Seteguk, dua teguk, tiga teguk, lalu Delwyn meletakkan kembali gelas kopinya di atas meja kemudian kembali beranjak ke kamarnya untuk bersiap-siap ke kantor. Saat Delwyn tengah sibuk memakai dasinya, tiba-tiba saja ponsel Delwyn berbunyi yang menandakan ada sebuah pesan yang masuk. Tangan Delwyn seketika bergerak cepat menyelesaikan dasinya kemudian mengecek pesan yang masuk di ponselnya. Senyum kecil sontak tersungging di bibirnya kala melihat isi pesan tersebut. Pasalnya, isinya adalah sebuah foto dari ketiga keponakannya yang masih kecil. Tak lama setelahnya, sebuah pesan kembali masuk ke ponselnya. Lebih tepatnya sebuah pesan suara. Tanpa menunggu lama, Delwyn langsung meng-klik pesan tersebut dan mendengarkan isinya. “Kapan Uncle pulang? Kami melindukan Uncle.” “Uncle, jangan lupa belikan Dasha lolipop lagi.” “Izy juga mau lolipop, Uncle.” Senyum Delwyn semakin mengembang mendengar suara-suara menggemaskan itu. Dasha, Ciara, dan Izy. Ketiga keponakan kembarnya yang sangat mungil. Dan ketiganya merupakan putri dari saudara kembarnya, Aldrich Carbert. Tak ingin membuat para keponakannya menunggu lama, Delwyn langsung mengetik balasan dari pesan keponakan-keponakan tersayangnya. Tenang saja, ada Aldrich yang akan membacakan pesan tersebut untuk mereka bertiga. Setelah mengirim pesan tersebut, Delwyn kembali meletakkan ponselnya di atas meja nakas dan kembali melanjutkan aktivitasnya yang hanya menyisakan jas yang harus ia pakai. Sekali lagi, Delwyn melihat jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 07.40 pagi. Tak ingin membuang waktu terlalu lama, Delwyn memutuskan untuk segera berangkat ke kantor. ------- Kaki Delwyn melangkah tegas ketika keluar dari ruang rapat begitu rapat yang berlangsung hampir satu jam itu selesai. Di belakang Delwyn terdapat seorang sekretaris yang mengikutinya. “Apa jadwalku setelah ini?” tanya Delwyn. “Tidak ada, Sir,” jawab Lucy Laurentie, sang sekretaris. “Besok, aku akan kembali ke Indonesia. Kau sudah mengosongkan jadwalku untuk satu minggu ke depan?” tanya Delwyn. “Sudah, Sir. Saya juga sudah menyiapkan semua keperluan Anda untuk besok,” ujar Lucy. “Bagus,” ucap Delwyn. “Sir,” panggil Agnes Siena yang juga merupakan sekretaris Delwyn. “Ada apa?” tanya Delwyn. “Maaf mengganggu, Anda. Ini adalah dokumen penting yang harus segera Anda tanda tangani, Sir,” lapor Agnes seraya menyerahkan sebuah map pada Delwyn. Delwyn pun segera melihat map tersebut dan melihat isinya. Meneliti setiap kalimat yang tertera di sana. Hingga tak lama kemudian, ia menutup kembali map tersebut dan menyerahkannya kembali pada Agnes. “Siapa yang membuat proposal sampah ini?” tanya Delwyn tajam. “Chelsea Gloria dari tim pengembangan, Sir,” jawab Agnes. “Katakan padanya untuk merevisi proposal sampah ini dan serahkan padaku pukul 3 nanti,” pinta Delwyn kemudian beranjak dari sana menuju ruangannya. Setelah menggantung jasnya di tiang gantung, Delwyn langsung melemparkan tubuhnya di kursi kebesarannya yang empuk. Memutar-mutar kursinya ke kiri dan ke kanan beberapa kali sembari memejamkan mata. Tak lama setelahnya, helaan napas lelah mengalir dari bibir tipisnya yang sangat menggoda kaum hawa. Baru saja Delwyn membuka matanya, dering ponselnya tiba-tiba terdengar. Sontak, ia merogoh ponselnya yang berada di atas meja. Seulas senyum kini terukir di wajah tampannya ketika menerima panggilan video dari saudari kembarnya. Evelyn Carbert. Tanpa menunggu lama, Delwyn langsung menjawab panggilan video tersebut. Namun, sesaat setelah ia menjawab panggilan video itu, Delwyn langsung menyesali tindakannya dan menahan u*****n yang sangat ingin keluar dari bibir seksinya. Bagaimana tidak? Bukannya melihat wajah Evelyn, ia justru dihadiahi pemandangan tak senonoh oleh adiknya itu. Di mana Austin –suami Evelyn- begitu menikmati mengecup pipi adiknya itu berkali-kali hingga membuat Evelyn terkikik geli. “Berhenti pamer kemesraan kalian di hadapanku,” kesal Delwyn yang mengalihkan perhatian kedua orang tersebut. Tapi, bukannya meminta maaf, Evelyn malah terkekeh sementara Austin hanya memasang senyumnya. “Makanya, cepatlah menikah dan rasakan kenikmatan dunia ini,” goda Evelyn kemudian mengecup bibir Austin secara terang-terangan yang membuat Delwyn mendecak kesal. “Akan kututup panggilanmu kalau tidak ada yang penting,” ketus Delwyn. “Baiklah, baiklah. Aku akan berhenti,” ujar Evelyn kemudian menjauhkan tubuhnya dari Austin. Namun, Austin yang tak ingin pisah dari Evelyn justru semakin memeluk erat sang istri seraya menyerukkan wajahnya di leher Evelyn. Delwyn yang menyaksikan adegan m***m itu sontak memutar bola matanya. “Cepat katakan apa yang ingin kau katakan,” pinta Delwyn tak tahan ingin memutuskan sambungan panggilan videonya. “Aku hanya ingin bertanya, kapan kau kembali ke Indonesia?” tanya Evelyn sembari menahan geli akibat ulah Austin yang terus mengendus di lehernya. “Besok,” jawab Delwyn singkat. “Baiklah,” ujar Evelyn. “Hanya itu?” “Ya.” “Seriously, Ev?” “Mmm ... sebenarnya aku hanya ingin pamer kemesraan di hadapanmu. Bye.” Setelahnya, panggilan video mereka pun terputus begitu saja. Delwyn lantas menghela napas frustrasi karena tingkah usil Evelyn. Sebenarnya, Evelyn sudah sering menjahilinya seperti ini. Hanya saja, Delwyn yang terlalu polos selalu tertipu oleh adiknya itu. Evelyn bahkan pernah meneleponnya di tengah malam hanya untuk membuatnya mendengar suara ciuman mesranya bersama sang suami. Entah mengapa, adiknya itu menjadi sangat m***m seperti itu setelah menikah. Meski begitu, Delwyn tak pernah benar-benar marah dengan keusilan Evelyn. Justru, ia menganggapnya sebagai hiburan di tengah pekerjaan yang membuatnya suntuk. Tak ada yang lebih menghibur dari Evelyn dan keusilannya yang terkadang melewati batas aman. Delwyn lalu meletakkan kembali ponselnya di atas meja kemudian melanjutkan pekerjaannya. Meninjau setiap laporan yang menumpuk di atas mejanya. Bagaimanapun, ia harus menyelesaikan semuanya hari ini agar ia bisa kembali ke Indonesia dengan tenang. ------- Love you guys~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD