BAB 1 [PART 1]

1165 Words
Setiap pagi, suasana rumah tampak ramai. Tukang masak sibuk di dapur untuk memasak sarapan. Sedangkan pelayan sibuk menyiapkan berbagai macam keperluan—entah itu untuk Raja, Ratna, Reon, maupun seorang laki-laki yang saat ini sedang duduk santai di meja makan, siapa lagi kalau bukan Arthur. Mirna sibuk mengolesi roti Arthur dengan selai kacang dan satu pelayan perempuan yang masih muda datang membawakan segelas s**u. Mereka semua sedikit bingung dan kalang kabut karena si tuan muda sudah duduk di meja makan sepagi ini. Biasanya, semua anggota keluarga akan memulai sarapan pukul enam pagi. Sedangkan pagi ini, Arthur sudah duduk di meja makan pukul enam kurang dua puluh lima menit. Dua puluh lima menit lebih awal dari jadwal sarapan. Bahkan, Reon baru saja pulang sekitar pukul empat tadi dan langsung masuk ke kamar, dibantu salah satu satpam rumah karena mabuk berat. Mirna meletakkan roti selai kacang di piring Arthur. Lalu laki-laki itu mulai memakan rotinya dengan lahap. Ada ulangan pagi ini dan Arthur tidak mau menyia-nyiakan waktunya untuk berlama-lama di rumah. Jika sudah melewati sarapan bersama keluarganya dan Raja sudah membuka suara untuk sibuk menceramahinya—mood Arthur bisa rusak dan akan berpengaruh pada daya konsentrasinya. Mungkin yang tahu kebiasaan itu hanya Mirna, karena sudah merawat Arthur sejak masih bayi. Kadangkala, Arthur memberi tahu Mirna untuk membawakannya bekal jika tidak sempat makan di rumah. Mungkin, dibandingkan dengan orang tuanya, Arthur lebih sering berpamitan dan bercerita tentang kehidupannya pada Mirna—yang sudah dianggapnya sebagai orang tua. Walaupun Mirna tidak mau Arthur menganggapnya seperti itu. Katanya tidak pantas jika Tuan mudanya menganggap dirinya seorang ibu. "Mau Bibi bawain s**u hangat tidak, Tuan muda?" Tanya Mirna setelah Arthur menyelesaikan sarapannya. "Boleh," jawab Arthur singkat lalu menatap jam tangannya. Setelah mendapatkan bekal makanan dan minumannya, Arthur buru-buru beranjak dari kursinya. Baru hendak melangkah, Arthur bertemu tatap dengan Ratna yang baru saja turun dari tangga. "Kenapa buru-buru? Ini masih jam enam kurang," ucap Ratna dingin sambil menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Arthur menatap ibunya sekilas lalu kembali berjalan. Mengabaikan Ratna bukan menjadi hal baru untuknya atau untuk semua orang yang tinggal di rumah ini. Hubungan ibu dan anak itu sama sekali tidak baik. Bahkan lebih buruk dari hubungan Arthur dengan Raja. Jika diceramahi Raja, Arthur masih sempat menjawab, tetapi jika ditanya oleh Ratna, maka Arthur lebih memilih untuk tidak menjawabnya. Entah sejak kapan semua itu terjadi dan dibiarkan begitu saja. Ratna lebih dekat dengan Reon yang menjadi kebanggaannya karena bisa melanjutkan mimpinya terjun pada dunia glamor—menjadi seseorang yang dipuja oleh banyak orang dari penampilannya. Ratna menjadikan Reon orang yang begitu dicintai karena talentanya. Berbeda dengan Arthur yang ingin hidup layaknya remaja seusianya—tidak ada tekanan, tidak ada paksaan, dan tidak ada perintah. "Mau kemana dia?" Tanya Ratna pada Mirna yang baru membereskan piring dan gelas bekas Arthur sarapan tadi. "Tuan muda ada ulangan, Nyonya besar." Ucap Mirna menunduk. "Sepagi ini?" Kaget Ratna yang memilih duduk di kursinya. "Iya, Nyonya besar. Seperti biasanya, jika ada ulangan, pasti Tuan muda akan berangkat lebih awal." Ucap Mirna menjelaskan. Ratna terdiam, bahkan kebiasaan anaknya saja dia tidak tahu. Ratna memang tidak dekat dengan Arthur, bahkan kadang tidak terlalu peduli dengan anak keduanya itu. Arthur adalah anak yang mandiri dan gila belajar, jadi Ratna tidak terlalu mengkhawatirkannya. Disisi lain, Arthur telah sampai di sekolahnya. Sekolah itu masih sepi karena kelas dimulai pukul tujuh lebih tiga puluh menit—berbeda sedikit dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Hanya ada tukang kebun yang sedang menyapu dan satpam yang berada di depan gerbang. Arthur mendekat pada pak tukang kebun yang terlihat masih segar di umurnya yang tidak bisa dikatakan muda lagi. Seperti biasanya, Arthur memberi kotak makanannya kepada bapak itu dan ditanggapi dengan senyuman tulus—senyuman yang selalu ingin Arthur lihat dari orang-orang yang dekat dengannya. Setelah itu, Arthur memilih untuk pergi ke perpustakaan sekolah, menambah bahan bacaan. Sebenarnya Arthur sudah belajar tadi malam, tetapi masih terasa kurang. Walaupun ini bukan jurusan yang dia inginkan, tapi Arthur tidak pernah main-main dengan pendidikannya. Jika sudah masuk, maka dia harus totalitas. Entah bagaimana caranya dan sekeras apapun usahanya untuk berada di posisi teratas, akan Arthur lakukan. Setidaknya, dengan belajar Arthur akan mendapatkan banyak ilmu dan tidak akan pernah berpikir sempit. Belajar juga membuatnya berpikir lebih waras dan melupakan semua masalah yang mengelilinginya. Perpustakaan sepi, tidak ada yang datang sepagi ini untuk membaca. Mungkin hanya dirinya yang lebih memilih perpustakaan ketimbang makan di kantin sekolah. Beberapa anak akan sibuk ngopi atau sarapan pagi bersama dengan teman-teman. Tetapi Arthur tidak, dia tidak suka keramaian dan tidak suka menjadi pusat perhatian. Terlalu banyak perempuan yang mencuri pandang padanya lalu tersenyum genit. Dia benci dengan mata-mata itu dan senyuman yang selalu ditebar hanya untuk menggodanya. Arthur memfokuskan dirinya pada buku bacaannya walaupun terdengar suara isakan seseorang dari tempat lain. Arthur yakin itu bukan hantu atau semacamnya, lagipula sekolah ini terlalu ramai untuk ditinggali setan dan sejenisnya. Karena cukup terganggu dengan suara itu, Arthur beranjak untuk mengecek siapa orang yang sudah menangis sepagi ini. Seorang perempuan duduk di pojok ruangan sendirian, menangis sambil menutup matanya dengan telapak tangan. "Ada masalah apa, sih?" Tanya Arthur dengan tatapan dingin. Arthur tahu perempuan itu adalah Seina—pacar kakaknya atau entahlah apa hubungan mereka, Arthur tidak peduli. Seina mendongak, menatap Arthur yang berada di depannya. Baru kali ini Arthur bertanya tentang masalah orang lain, membuat Seina senang dan merasa jika dirinya semakin dekat dengan Arthur. Ah, Seina sangat percaya diri. "Kamu baru pertama kali tanya sama seseorang tentang apa masalahnya. Jadi sebenarnya gu—" "Bukan!" Tandas Arthur menatap tajam Seina yang sudah tampak senang. "Ada masalah apa sampai nangis enggak jelas di perpustakaan? Kamu kira ini tempat buat nangis enggak jelas dan mengganggu orang lain?" Sambungnya. Seina terdiam, tidak berani untuk menjawab ucapan Arthur. Matanya memerah namun bibirnya tetap bungkam. "Asal kamu tahu ya, aku terganggu sama kamu! Kalau mau nangis pergi ke tempat sepi, jangan susah-susah cari perhatian orang di sini." Ketus Arthur dengan nada kasarnya. Dia tidak peduli sedang bicara dengan siapa—entah laki-laki atau perempuan, Arthur tidak peduli. Arthur melangkah pergi, namun Seina buru-buru menahannya dengan memegang lengan Arthur. Laki-laki itu menghempaskan tangan Seina dengan kasar. "Gue hamil, Arthur. Tapi Reon enggak mau tanggung jawab," lirih Seina pada Arthur. Arthur menatap sinis, "terus?" "Tolong bantu gue! Reon waktu itu memperkosa gue." Mohon Seina kepada Arthur yang sama sekali tidak memperlihatkan rasa simpati atau marah pada Reon. Arthur menatap Seina yang tidak berani untuk mengangkat wajahnya kali ini. Melihat tatapan dingin yang selalu Arthur perlihatkan, membuat nyali Seina mengkerut. "Sebrengsek-brengseknya Reon, dia hanya akan tidur dengan orang yang mau tidur dengan dia. Reon enggak mungkin memaksa, memperkosa, apalagi sampai melakukan tindakan licik untuk tidur dengan perempuan. Menurutku, tidak bisa tidur dengan kamu sekalipun, Reon bisa mencari gadis lain untuk diajak bermalam. Itu artinya kamu mau diajak melakukan hubungan terlarang dengannya. Dan kalau kamu hamil, itu resikonya, bukan?" Ucap Arthur santai. "Kamu pernah dengar kata pepatah ini, 'kan, jangan bermain api jika tidak ingin terbakar." ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD