bc

Love You, Bu Guru

book_age18+
1.0K
FOLLOW
11.4K
READ
possessive
goodgirl
drama
sweet
bxg
office/work place
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Bagi Galilleo, Lovandra adalah tantangan di tengah hidupnya yang sempurna. Namun bagi Lovandra, Galilleo adalah penghalang di tengah rencananya yang sudah ia susun sedemikian rupa.

Namun antara tantangan ataupun penghalang, nyatanya ada kenyataan lain yang harus mereka berdua terima, tentang perasaan yang tidak bisa mereka abaikan begitu saja.

chap-preview
Free preview
1
"Hindari terlalu dekat dengan karyawan, tempatmu bukan di situ." Tangan Galilleo yang sedang memegang sendok terhenti, tatapan datarnya ia rubah menjadi senyum manis sambil mengangguki ucapan Ayahnya. "Baik, Yah," jawabnya patuh. "Ayah sudah sering mendengar bahwa kamu terlalu ramah kepada bawahan, harusnya kamu sadar kalau itu bisa membuat mereka menjadi bersikap seenaknya dan tidak menghargai kamu sebagai atasan mereka," ujar Rein lagi. Kali ini tanpa sadar pegangan tangan Galilleo di sendok menjadi mengerat mendengar ucapan Ayahnya. "Mereka masih tahu batasannya, Yah," bantahnya. "Galilleo Abraham." Helaan nafas keluar saat namanya yang menjadi tanda peringatan yang berbahaya diucapkan dengan pelan oleh Rein. Tanda jika ia memang tidak pernah mempunyai hak untuk membantah apapun yang diucapkan oleh Ayahnya. "Turuti saja ucapan Ayah, Gal. Itu semua demi kebaikan kamu sendiri," sahut Diva, ibunya. Galilleo tidak menjawab, dia hanya tersenyum tipis ke arah wanita cantik yang sudah melahirkannya itu. "Selamat pagi, semua!" "Selamat pagi!" " Selamat pagi!" Atmosfer di ruangan sontak menjadi semakin sesak bagi Galilleo. Maka yang ia lakukan adalah berusaha secepat mungkin untuk menghabiskan makanannya saat ketiga kakaknya sudah mulai memasuki ruangan. "Yah, kapan Betrand dipindah ke kantor pusat?" tanya Gea setelah ia membalik piringnya dan mengisi dengan lauk dan juga nasi. "Kalau suamimu itu sudah pantas," jawab Rein singkat. Galilleo sempat melihat bagaimana kakak pertamanya itu mengerucutkan bibir, sudah tidak terlihat lucu diusianya yang sudah tua dan ibu dari anak berusia hampir tujuh belas tahun. "Makanya, Kak, cari suami tuh jangan asal ganteng. Tapi juga harus kompeten dong, kayak Noel misalnya," sahut Gween membanggakan suaminya. Terdengar dengusan dari arah lain, Gema pelakunya, kakak bungsu Galilleo. "Kompeten tapi kerjanya godain sekretaris tiap hari, buat apa?" sindirnya. Gween tampak tidak terima mendengar ucapan adiknya, dia menatap Gema tajam dan mengeluarkan ucapan peringatan. "Harusnya kamu sadar posisimu, Adik kecil," desis Gween. Tapi Gema tampak tidak takut sedikitpun, ia justru tertawa kecil dan memandang remeh ke arah kakaknya. "Aku sangat sadar posisiku, sebagai adik sudah menjadi tugasku kan mengingatkan anggota keluarga yang salah?" timpalnya santai. "Engga ada yang salah sama aku dan Noel, dia sudah berubah dan engga lagi main perempuan seperti yang kamu bilang!" bantah Gween. Gema tersenyum miring sambil menyuapkan makanan ke mulutnya. "Tapi baru aja kemarin aku lihat dia keluar dari hotel bareng sekretaris nya," ujarnya. Gween membulatkan mata tidak percaya, "Jaga bicaramu, Gema! Jangan sebar berita bohong!" sentaknya keras. Ia menoleh panik ke arah Ayahnya yang tampak tidak terganggu dengan perdebatan mereka di meja makan. "Oh ya, wajar kalau kakak engga percaya karena aku belum kirim buktinya, iya kan? Tapi tenang saja, setelah makan aku akan langsung kirim foto yang sudah ku ambil khusus untuk Kakak," sindir Gema. Gween menahan emosi melihat sikap kurang ajar adiknya itu. Berani-beraninya Gema menyebarkan berita itu tepat di depan Ayah dan Ibunya. "Sudahlah, Gween. Lagipula bukankah sudah engga aneh kalau suamimu main belakang?" ucap Gea. Dia menatap remeh adiknya yang kini sudah menahan amarah terlihat dari wajahnya yang memerah. "Aku udah selesai. Aku berangkat dulu," sela Galilleo. Dia berdiri dari duduknya, merapikan tuxedo yang ia kenakan dan tersenyum ke arah Ibu dan Ayahnya. "Sampai ketemu di kantor, Yah," pamitnya lalu berjalan meninggalkan meja makan. Galilleo merasa baru bisa bernafas saat sudah berada di dalam mobilnya. Saat ia berada di tengah keluarganya yang tampak normal diluar tapi tidak jika terlihat di dalam, ia rasanya sulit bernafas. Ditambah persaingan yang dilakukan oleh ketiga kakaknya demi mendapatkan perhatian dari Rein semakin membuatnya muak. Persetan dengan segala harta keluarga yang akan jatuh pada siapapun yang dianggap Ayahnya pantas, Galilleo tidak pernah perduli perihal itu. __ "Selamat pagi, Pak!" sapa Diana, sekretaris yang sudah menemaninya sejak Galilleo baru masuk ke perusahaan satu tahun yang lalu. "Pagi, Di! Akan sesibuk apa saya hari ini?" tanyanya dengan senyum tipis. Diana di depannya tersipu sebelum akhirnya mulai menyebutkan satu demi satu jadwal yang akan bosnya itu lakukn seharian. "Ah, bisakah kamu hubungi Venus kalau saya tidak bisa menemuinya siang nanti?" tanyanya menginterupsi. Diana mengangguk semangat, "Tentu, Pak. Saya akan lakukan," ujarnya lalu kembali membacakan jadwal yang tersisa. "Terimakasih ya, dan tolong buatkan saya segelas kopi," ujar Galilleo yang langsung dituruti oleh wanita cantik itu. Galilleo memasang senyum yang kemudian pudar saat dirinya hanya sendirian di dalam ruangan. Ia membanting kepala ke sandaran kursi dan membalik kursi kerjanya hingga menghadap kaca besar yang menjadi dinding ruangannya. Jakarta tampak padat seperti biasa, membuat Galilleo merasa semakin sesak saja hari ini. Hidupnya amat membosankan, tidak ada satupun yang membuatnya tertarik. Setiap hari hanya diisi oleh petuah Ayahnya atau juga keributan ketiga kakak wanitanya. "Satu gelas kopi tanpa gula." Galilleo membalik kursinya saat suara berat itu terdengar. Dia tersenyum dan mengucap terimakasih kepada pria yang ia jadikan pengawal pribadinya itu. "Kenapa engga ngabarin kalau udah balik?" tanya Galilleo. Lucas, teman semasa SMA nya yang lebih memilih menjadi pengawal pribadi Galilleo daripada pengawal gubernur itu hanya mengangkat bahu. "Saya rasa itu terlalu aneh kalau saya ngabarin Bapak tentang kembalinya saya kesini," jawabnya. Galilleo tertawa pelan mendengar jawaban kaku dari Lucas. "Kita cuma berdua, Luc. Lo bisa ngomong santai sama gue," ujarnya. "Tapi saya engga bisa, Pak," balasnya sambil melirik ke arah pintu. Galilleo mengangkat alisnya dan mengikuti arah pandang Lucas. Dia tanah sadar menghela nafas pelan saat mendapati kakak iparnya berdiri di ambang pintu dengan wajah menyebalkan. "Ada perlu apa, Kak?" tanya Galilleo langsung. Noel berjalan mendekat dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Galilleo. "Gue butuh dukungan dari lo, Gal." ujarnya percaya diri. Galilleo tersenyum tipis, "Tergantung apa itu," katanya. Di depannya, Noel tertawa. Pria itu menyandarkan tubuh dan menopangkan kaki. "Gue mau ngajuin proposal pembuatan tempat karaoke, tapi ini engga akan mudah kalau engga dapet dukungan dari lo," ucapnya. Galilleo rasanya ingin tertawa. Dia sudah menduga jika apa yang akan dikatakan kakak iparnya itu tidak jauh dari hal-hal berbau sampah. "Dan Kak Noel tahu kalau gue engga bisa setuju tentang itu," tukas Galilleo. Mendengar jawaban tegas adik iparnya, ekspresi wajahnya Noel langsung berubah dingin. "Lo bisa," desisnya pelan. "I'm Not! Buat apa gue setuju Kak Noel bikin tempat selingkuh begitu?" tanya Galilleo tajam. Noel tampak terkejut mendengar ucapan Galilleo. "Apa maksud lo?" Galilleo mengangkat bahunya dengan senyum miring, "Bukannya Lo masih berhubungan sama Sekretaris Lo itu?" "Jangan asal ngomong!" bantah Noel tajam. Tawa Galilleo pecah di ruangan yang hanya terisi tiga orang itu. "Well, mungkin buktinya udah nyampe ke ponselnya Kak Gween. Lo harus pesen pengacara kayaknya, siapa tahu kali ini Kakak gue capek dan akhirnya gugat cerai lo," timpalnya santai. Noel langsung bangkit dan meninggalkan ruangan Galilleo begitu saja. Niatnya untuk membujuk Galilleo sudah tidak ia perdulikan, yang terpenting sekarang adalah membujuk agar istrinya tidak menceraikan dia seperti apa yang dikatakan Galilleo. "Lo tahu kalau dia engga akan diem aja, Gal," sahut Lucas dari arah belakang tubuh Galilleo. Galilleo tersenyum tipis dan mengangguk. "Pasti, Luc. Dan gue juga engga akan biarin dia benar-benar bikin tempat karaoke yang bakal jadi sarang prostitusi itu," jawabnya. __ "Bu, soal buat UTS saya bikinnya lima soal aja ya?" Lova tersenyum ke arah Irene yang merupakan guru Kesenian, sama seperti dirinya. "Iya, Bu. Engga apa-apa, nanti saya sama Pak Digta aja yang bikin sisanya,"ujar Lova maklum. Dia mengerti keadaan Irene yang tengah kesulitan karena anak bungsunya baru saja masuk rumah sakit. "Makasih banget ya, Bu. Nanti malam saya kirim ke email Bu Lova soalnya," ucap Irene. Lova hanya mengangguk menjawab ucapan rekan sejawatnya itu. Ia lalu pamit untuk segera ke kelas karena ia ada jadwal mengajar di kelas dua belas. Namanya Lovandra Maulvi, seorang guru Kesenian yang baru mengajar selama kurang dari satu tahun di SMA elit tempat anak-anak terpilih berkumpul. Banyak dari muridnya yang menjulukinya guru galak, karena Lovandra tidak pernah memberi pemakluman pada jenis pelanggaran apapun yang dilakukan muridnya. Berjarak satu meter sebelum ia sampai, Lova menghela nafas berat saat mendengar kelas begitu riuh. Kelas yang akan dia masuki adalah kelas unggulan yang berisi siswa siswi pintar, tapi juga tempat berkumpulnya anak orang kaya yang manja dan arogan. Apalagi satu anak yang sudah sangat Lova perhatian sejak ia bekerja di sekolah ini. "Selamat pagi!" sapa nya saat memasuki kelas. Para siswa bergegas ke arah kursinya masing-masing sebelum menjawab sapaan dari Lova. "Tugas kemarin sudah? Kumpulkan sekarang ya sambil Ibu absen," katanya. Keadaan sempat kembali ricuh sampai Lova harus menghantamkan penghapus papan tulis ke atas meja untuk membuat para muridnya tenang. Sambil membacakan nama-nama siswa di buku absen, matanya melirik ke arah seorang siswa yang tampak tidak perduli sama sekali dengan keberadaannya. Siswa itu asik memainkan ponsel di bawah meja yang masih bisa terlihat oleh Lova. "Yang masih main ponsel, silahkan keluar kelas!" tegur nya keras. Siswa yang ia maksud langsung buru-buru memasukan ponselnya ke dalam tas dengan berdecak. Lova menarik nafas pelan. Emosinya langsung meluap setiap kali ia melihat siswa itu. "Ini tugasnya udah semua, Bu." Lova terkesiap dan langsung mendongak ke arah seorang siswa tampan yang merupakan ketua kelas. "Terimakasih, Zello. Kami bisa kembali ke bangku kamu," katanya. Anzello, sang ketua kelas tersenyum dan menuruti perintah gurunya. Lova langsung berdiri dari duduknya saat semua siswa sudah terabsen. Dia mencatat sesuatu di papan tulis dan meminta para muridnya membuka buku panduan. "Kemarin kita sudah membahas teknik teater dan juga jenis-jenisnya, kali ini kita akan membahas bagaimana teater itu dibuat dan peran apa saja yang diperlukan baik di balik layar ataupun yang berperan di atas pentas. Untuk itu, Ibu minta kalian membentuk lima kelompok dan menulis nama anggota di satu kertas lalu kumpulkan. Anzello, tolong bantu kumpulkan lagi ya." ujarnya. __

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Sexy Boss ⚠️

read
540.9K
bc

My Soulmate Sweet Duda (18+)

read
1.0M
bc

Istri Kecil Guru Killer

read
156.7K
bc

Suamiku Calon Mertuaku

read
1.4M
bc

Over Protective Doctor

read
475.2K
bc

Rujuk

read
912.4K
bc

Turun Ranjang

read
579.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook