"Bukannya aku udah bilang kalau aku belum siap?"
Galilleo tahu sedari tadi Venus menatap ke arahnya, meminta dirinya memberi atensi padanya secara khusus.
Namun yang dilakukan Galilleo malah hanya menatap ke arah depan, dimana hamparan bunga cantik kesukaan Ibunya bermekaran dalam beberapa warna yang indah, berusaha menenangkan rasa tidak nyaman di hatinya.
"Kenapa? Seperti yang Mama bilang, apa yang bikin kamu engga siap? Pernikahan kita bisa datangkan keuntungan buat perusahaan kita, kamu juga punya kedudukan khusus karena aku adalah anak satu-satunya. Kalaupun kamu engga bisa jadi pewaris di perusahan Abraham, kamu sudah pasti jadi pewaris di perusahaan Gideon," Venus menggapai tangan Galilleo, menggenggamnya dengan lembut meskipun itu masih tidak cukup untuk membuat Gali menoleh ke arahnya.
"Menikah bukan perkara yang semudah itu, kamu tau? Aku engga bisa nikah sama kamu di saat aku belum punya perasaan apapun, seenggaknya aku perlu waktu sampai perasaan itu tumbuh walaupun cuma sedikit," dengan perlahan Galilleo menarik tangannya dari genggaman Venus.
Gadis itu menatap sedih tunangannya, walaupun bukan pertama kali baginya mendapatkan penolakan dari Galilleo tapi rasanya masih saja sakit.
"Waktu? Lebih dari sepuluh tahun aku ada di samping kamu sebagai tunangan kamu, dan waktu selama itu pun engga cukup buat bikin kamu suka sama aku. Terus aku harus nunggu berapa lama lagi? Sebanyak dua puluh tahun lagi? Apa begitu, Gali?"
Satu-satunya yang disyukuri Venus saat ini adalah karena mereka hanya berdua di taman belakang. Sehingga Venus tidak harus terlihat menyedihkan di depan keluarga Galilleo yang selama ini memperlakukannya dengan baik.
Pria itu mendesah berat. Itu benar, sudah terlalu banyak waktu yang dihabiskan oleh Venus hanya untuk terus berada di dekatnya. Namun tidak ada yang bisa Galilleo lakukan bahkan dalam waktu selama ini, Venus tetap lah hanya terlihat sebagai teman masa kecilnya. Tidak bisa lebih dari itu.
"Kalau begitu...menyerah saja. Aku bahkan ragu apa akan ada yang berubah sekalipun kamu menunggu sebanyak itu. Aku pernah mencoba, Venus. Bukan hanya sekali, tapi berulang kali untuk buka hatiku buat kamu. Tapi hasilnya tetap sama, perasaan itu engga pernah tumbuh," ujar Galilleo lirih.
Dia sendiri merasa tidak yakin dengan apa yang diucapkannya barusan, karena jika pertunangan mereka yang terjalin lebih dari sepuluh tahun itu putus, Galilleo bisa pastikan jika nama Abraham tidak akan lagi menjadi nama belakangnya.
"Kamu hanya perlu mencoba lebih keras lagi, Gal. Asalkan kamu mau nyoba lebih serius buat balas perasaan ku, aku akan tunggu seperti biasa. Tapi keinginanku belum berubah, pernikahan adalah jalan akhir hubungan kita. Apa kamu engga berpikir kalau setelah kita menikah kamu bisa lebih mudah belajar mencintai aku? Aku akan melepas karir model ku dan sepenuhnya menjadi istri kamu, dengan begitu kita akan menghabiskan lebih banyak waktu dan kamu akan lebih mudah menumbuhkan perasaan kamu untukku," dalam suara dan kalimatnya, Venus berharap Galilleo tergerak untuk setuju dengan usulnya.
Sedangkan pria itu, hanya terdiam termenung memikirkan akankah semuanya jadi lebih mudah dengan menikah seperti apa yang dikatakan Venus tadi? Tapi bagaimana jika pada akhirnya tetap sama? Galilleo sama sekali tidak berpikir akan bercerai setelah menikah, itulah sebabnya dia tidak ingin menikahi Venus di saat perasaannya belum tumbuh pada gadis itu.
"Aku...akan pikirkan. Tapi jangan melakukan apapun dulu sebelum itu, jangan lepasin karir kamu juga untuk sekarang. Karena aku engga bisa janjiin apapun seperti biasa, aku engga mau kasih harapan apapun sama kamu di saat aku sendiri engga yakin bisa penuhin itu semua," putus Galilleo.
Untuk pertama kalinya selama mereka terlibat obrolan dan duduk berdua, dia menoleh. Menatap lurus pada mata Venus yang tampak sedih.
"Baiklah, aku harap kali ini engga akan menyakitkan," balas Venus pelan.
Galilleo tersenyum kecil, tangannya hinggap di atas kepala Venus dan mengusapnya pelan.
"Ayo masuk, disini dingin," ajaknya.
Venus mengangguk, menggamit lengan Galilleo dan berjalan di sampingnya menuju ruang tamu dimana para orang tua masih berbincang. Kali ini pun sama, dia harus maju lagi untuk mengatakan bahwa mereka akan memikirkan ulang tentang pernikahan.
_
"Apa lo engga berpikir kalau adik lo itu bodoh?"
Noel yang sedang menghisap rokoknya itu menaikan sebelah alisnya saat mendengar ucapan Betrand. Dia bahkan tidak menyadari kapan kakak iparnya itu muncul sebelum Betrand tiba-tiba saja berbicara padanya.
"Siapa?" tanya Noel.
Betrand berdecak, "Gali," jawabnya.
"Oh."
Mendengar respon adiknya yang seperti itu, Betrand hanya bisa berdecak lebih keras. Dari awal dia tahu tidak ada yang normal dalam rumah Abraham. Meskipun begitu dia harus tetap berada disini demi mendapatkan tahta yang sudah seharusnya menjadi miliknya itu.
"Kalau lo jadi dia, apa lo akan nolak kesempatan besar untuk jadi pewaris Gideon?" tanya Betrand. Ia mengambil duduk di kursi yang bersebelahan dengan Noel di teras rumah mertuanya.
Noel mengangkat bahu dengan acuh, tangannya menjentik rokok hingga abu itu terjatuh ke lantai.
"Mungkin? Soalnya gue lebih suka jadi pewaris Abraham," balasnya santai.
Betrand yang mendengar jawaban dari Noel hanya menatap remeh pada suami dari adik istrinya itu. Dia seorang pria dan dia tahu, walaupun Noel terkenal suka main perempuan dan memiliki affair dengan sekretarisnya, namun Noel lebih mencintai Gween dalam hal apapun.
"Jangan terlalu lemah, lo akan kehilangan jati diri lo sendiri kalau lo selalu ngikutin perasaan," ujar Betrand.
Noel menyeringai, mematikan rokok di tangannya dan merapikan sedikit kemeja nya yang terkena abu rokok.
"Terlalu engga pakai perasaan juga engga bagus. Contohnya kayak lo yang rela lepasin perempuan yang lo cintai demi Gea yang lo pikir akan mewarisi tahta Abraham. Bukankah lo dapat balasan yang mengerikan karena anak lo yang lain bahkan muak setiap ngeliat muka lo?" sindirnya terang-terangan.
Betrand menatap tajam Noel yang baru saja membuatnya marah dengan kata-katanya itu. Tangannya terkepal begitu saja dan emosinya memuncak hingga rasanya ia ingin menghabisi pria di depannya ini sekarang juga.
"Lo engga tahu apa-apa," desisnya mengerikan.
Tapi Noel tidak tampak takut sama sekali. Pria itu justru bangun dari duduknya dengan tawa kecil.
Noel bahkan bergerak mendekat hingga ia berdiri di samping Betrand dengan begitu rapat.
"Sayangnya gue tahu bahkan lebih banyak daripada yang istri lo tahu. Dan seenggaknya bukankah gue lebih manusiawi karena gue mencintai dengan tulus istri gue, Gween. Beda sama lo yang bahkan masih diam-diam ketemu sama mantan istri lo di belakang Gea," bisiknya.
Betrand terkesiap. Dia sudah akan menarik Noel dan hendak menanyakan darimana pria itu tahu, namun sayangnya Noel bergerak cepat masuk ke dalam rumah dan bergabung dengan keluarga Abraham yang masih berbincang di ruang keluarga.
"Sial!" umpatnya.
_
"Kamu engga menginginkan pernikahan ini?"
Galilleo menunduk saat Ayahnya bertanya dengan nada lebih datar dari biasanya.
Keluarga Venus sudah pamit pulang setelah mendapatkan jawaban jika Galilleo dan Venus akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengenal sebelum memutuskan menikah. Walaupun sebenarnya alasan itu terasa konyol karena Venus dan Galilleo bahkan sudah berteman hampir dua puluh tahun, namun untungnya keluarga Gideon mau mengerti.
Dan sekarang Galilleo harus menghadapi Ayahnya yang tampak bisa membaca dengan baik apa yang sebenarnya dipikirkan oleh dirinya.
"Ayah membantu kamu tadi karena Ayah pikir kamu masih perlu waktu untuk memantaskan diri menjadi bagian dari Gideon. Tapi kalau sampai yang kamu pikirkan adalah membatalkan pertunangan, kamu tahu Ayah engga akan senang, benar kan?"
Merasa tidak punya pilihan lain, yang bisa Galilleo lakukan hanyalah mengangguk.
"Gali hanya belum siap untuk menikah sekarang, Yah. Gali sedang mempelajari sistem perusahaan kita, dan akan menggangu jika Gali membagi fokus Gali untuk sekarang," alibinya.
Rein mengangguk paham, "Baiklah. Gunakan waktumu sebaik mungkin. Ayah juga akan menanti hasil dari terlibatnya kamu di proyek besar perusahaan kita," katanya.
Dengan paruh Galilleo mengangguk. Untuk sekarang semuanya cukup, Ayahnya tidak memaksa dirinya untuk langsung setuju menikahi Venus
Walaupun begitu sedari awal Galilleo sudah tidak nyaman saat dua kakak iparnya menatap tidak suka padanya secara terang-terangan. Dan kini bahkan mereka sudah mulai melempar bujukan untuk Rein.
"Ayah, Ayah pasti sudah dengar peningkatan di perusahan cabang bulan ini kan? Apa setelah ini saya bisa pindah ke kantor pusat?" tanya Bertrand.
Ia meminta istrinya untuk bantu bicara pada Rein juga.
Melihat kakak pertamanya itu merengek pada Rein, membuat Galilleo merasa mual. Sungguh, ini bukan sekedar kata hiperbola namun dirinya benar-benar merasa mual.
"Hmm.. Itu bisa dipertimbangkan, tapi kalau kamu engga keberatan, bisakah kamu bertahan satu bulan lagi? Jika di bulan yang akan datang pencapaian mu sama dengan bulan ini atau bahkan lebih baik, Ayah akan langsung memindahkan kamu ke pusat," jawab Rein.
Binar bahagia terlihat jelas di kedua mata sepasang suami-istri itu. Betrand dan juga Gea mengucapkan terimakasih berulang kali pada Rein dan berjanji akan bekerja lebih baik lagi.
Sedangkan Galilleo justru dapat melihat tatapan tidak suka dari pasangan yang lain.
Betapa melelahkan nya hidup di tengah mereka yang hanya mementingkan keinginannya sendiri. Dia berpikir, andai saja semua kakaknya seperti Gema yang selalu percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki nya sebagai arsitek handal tanpa mengharapkan apa yang dimiliki oleh orang tua mereka, mungkin Galilleo juga akan mendapatkan keberanian untuk menentang keinginan ayahnya.
Dan pembicaraan selanjutnya dilanjutkan dengan segala bujuk rayu yang dilakukan pihak Gea dan Gween, sedangkan Galilleo dan Gema hanya berusaha untuk tidak mendengar apapun sampai akhirnya Rein berkata lelah dan mengajak Diva masuk ke dalam kamar mereka.
"Lebih baik kamu engga berulah terlalu banyak, Gal. Apa susahnya setuju menikah dengan Venus? Toh dia cantik," ujar Gea tiba-tiba.
Galilleo mendengus samar, "Itu biar jadi urusanku. Kakak fokus aja pertahanin profit perusahaan sampai bulan depan, jangan sampai kali ini juga gagal dipindah ke kantor pusat," balasnya berani.
Ia bisa mendengar Gema tertawa setelah mendengar ucapannya. Setelahnya, kakak bungsunya itu bangkit dan menarik tangannya.
"Ayo masuk, Gal. Kamu bisa sesak nafas kalau terus ada disini," ajaknya.
Galilleo tersenyum dan mengikuti langkah Gema. Di iringi dengan kata-kata pedas yang berasal dari kakak-kakaknya yang lain.
___