7

1518 Words
"Selamat pagi, Bu Lovandra!" Langkah heels lima sentinya terhenti saat suara berat menyapanya dari arah belakang. "Oh! Selamat pagi, Pak Digta! Bapak berangkat lebih pagi dari biasanya," balas Lova dengan senyum ramah. Ia memeluk lebih erat buku kerja yang ada di tangannya, dan kemudian kembali mengharapkan tubuhnya ke arah depan sejalan dengan Digta yang sudah memposisikan berjalan di sampingnya. "Saya belum sempat memeriksa kerjaan anak-anak, sedangkan hasilnya sudah harus saya bagikan hari ini. Jadi mau tidak mau saya harus kerjakan sekarang juga sebelum jam belajar dimulai," jawabnya. Lova mengangguk paham, namun dirinya tidak berniat untuk kembali menyambung obrolan hingga langkah mereka sampai di depan ruang guru yang masih sepi dan hanya ada mereka berdua yang baru sampai. "Kalau begitu, selamat mengerjakan, Pak," ujar Lova. Ia tersenyum kecil sebelum akhirnya berjalan ke meja miliknya sendiri. Setelah bokongnya duduk dengan nyaman di atas kursi yang memiliki bantalan tipis itu, Lova mengeluarkan notebook dari dalam tas kerjanya dan membuka latihan soal yang sudah ia buat semalaman. Belum mulai, namun Lova sudah bisa membayangkan akan seperti apa reaksi dari anak-anak jika mendapatkan ulangan mendadak seperti ini. Walaupun begitu Lova tetap harus melakukannya karena nilai yang diperoleh oleh kelasnya belum cukup untuk melampaui nilai rata-rata. "Bu, gimana soal kerjasama dengan Mahasiswa seni tari kemarin?" Lova agak terkejut saat tiba-tiba saja Digta sudah berdiri di depannya. Keningnya mengerut samar, berpikir bukankah Digta tadi mengatakan bahwa dirinya buru-buru untuk memeriksa hasil ulangan anak-anak? Tapi kenapa sekarang sudah berdiri santai di depannya. "Bapak engga jadi meriksa soal?" Bukannya menjawab pertanyaan Digta, Lova justru melemparkan pertanyaan lainnya. Tampak Digta tersenyum salah tingkah dengan menggaruk alisnya. "Ya, saya sudah menyelesaikan setengahnya. Saya bisa lanjutkan itu sebentar lagi," jawabnya. Lova mengangguk dan kembali menatap ke arah layar notebooknya. "Jadi bagaimana, Bu? Apa Ibu mau menyetujui permohonan itu dan membuatnya sebagai tugas seperti teater?" tanya Digta lagi. Beberapa saat Lova hanya terdiam sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Digta barusan. "Kita harus tanya Bu Irene juga, kemarin perizinan dengan pihak sekolah agak sulit. Jadi kita engga bisa seenaknya ambil keputusan seperti itu kan, Pa? Waktu teater juga banyak keluhan dari siswa, beberapa dari anak yang rumahnya jauh dan engga punya kendaraan. Mereka kesulitan karena acaranya malam, tapi tetap terpaksa datang karena itu bagian dari tugas. Saya merasa agak kurang nyaman dengan itu," jawabnya. Digta menghela nafas pelan, benar juga apa yang Lova katakan. Sebenarnya ini sudah sering terjadi karena beberapa sekolah juga sering bekerjasama dengan suatu lembaga atau juga mahasiswa dalam tugas kesenian. Hanya saja karena beberapa acara diadakan malam hari, kendala yang seperti Lova sebutkan tadi kerap kali muncul. "Ibu benar juga, kalau gitu hari ini nanti kita bicarakan bertiga bareng Bu Irene ya, Bu. Kabarin saya kalau kalian sudah engga ada jam ngajar lagi," ujar Digta. Lova mengangguk sambil tersenyum, setelah Digta berlalu dari depannya ia kembali melanjutkan pekerjaannya tadi yang tertunda. Beberapa saat fokus, Lova tidak menyadari jika satu persatu guru memasuki ruangan seiring dengan jam yang bergerak mendekati bel pelajaran pertama. Lova memeriksa ulang kumpulan soal miliknya kemudian menutup notebook dan berjalan mendekati meja Irene saat meminta ternyata rekannya itu juga sudah datang. "Pagi, Bu Irene!" sapa Lova. Irene yang sedang mengeluarkan baenag bawaan dari dalam tasnya mendongak dan langsung tersenyum setelah melihat Lova. "Pagi, Bu! Maaf saya engga nyapa, soalnya saya belum sempat lihat soal final yang Ibu kirimkan semalam," katanya. Lova mengangguk paham mendengar ucapan Irene. "Engga apa-apa, Bu. Saya cuma mau kasih tahu, nanti kalau Ibu udah selesai ngajar kita perlu kumpul sama Pak Digta buat bahas permintaan dari Mahasiswa kemarin soal pementasan seni tari," beritahu nya. "Oh! Iya saya hampir lupa juga soal itu, hari ini sehabis istirahat kedua saya udah bebas kok, Bu," jawabnya. Lova berpikir sejenak, "Saya cuma sampai jam pelajaran keempat. Jadi kayaknya pas deh kalau kita bahas pas istirahat kedua," timpalnya. Irene mengangguk semangat, "Kalau gitu nanti kita janjian di kantin guru aja gimana?" sarannya. Bukan ide buruk karena kantin guru hanya dikunjungi guru saja, tidak akan ada murid yang nantinya mendengar obrolan mereka. "Oke," setuju Lova. Bersamaan dengan bel jam pertama yang berbunyi, Lova pamit kepada Irene dan mereka berpisah untuk masuk ke dalam kelas yang akan menerima materi dari mereka hari ini. Khususnya akan ada ulangan dadakan yang berakibat protes massal dari murid-murid mereka. __ "Aku ada meeting hari ini. Kenapa engga ngabarin dulu sih?" Galilleo mencoba menahan intonasi bicaranya agar tidak meledak. Hari ini dua kakak iparnya datang menghadap ayahnya, namun setelah itu keduanya sama-sama menemui dirinya untuk kepentingan mereka masing-masing. Menolak mereka bukanlah sesuatu yang sulit bagi Galilleo, namun meladeni omong kosong mereka adalah hal yang paling tidak ingin Galilleo lakukan seumur hidupnya. Dan sekarang, dengan sesuka hati Venus juga datang ke kantornya dan memaksa untuk makan siang bersamanya nanti. "Ngabarin kamu? Yang ada kamu engga akan angkat telepon dari aku, atau paling parah kamu malah nyuruh sekretaris kamu yang genit itu buat nolak aku datang kesini. Selalu kayak gitu kan, Gal?" Galilleo mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Memang benar seperti itu dirinya setiap kali mendengar Venus akan datang, namun kali ini dirinya benar-benar tidak berbohong. Akan ada yang harus ia temui di jam makan siang nanti. "Oke, aku minta maaf untuk semua itu. Tapi kali ini aku benar-benar harus menemui seseorang yang penting, jadi aku engga bisa makan siang sama kamu. Aku minta maaf, Oke?" Venus menggeleng dan langsung menggamit lengan Galilleo begitu saja. "Aku ikut, lagian client kamu juga pasti ngerti kalau kamu bilang aku ini calon istri kamu. Aku udah nyampe sini dan engga mungkin aku harus pulang lagi kan, Gal? Engga cukup kah kamu ninggalin aku di pinggir jalan kemarin?" Galilleo menarik nafas dengan berat, ia menoleh ke arah Lucas, meminta pertolongan dari asisten pribadinya itu namun sialnya Lucas malah langsung membuang muka begitu bertatapan dengannya. "Venus, aku udah bilang kan kalau itu engga mungkin? Ini masalah pekerjaan, bukan acara pesan atau makan siang biasa dimana aku bisa bawa kamu sekalipun kamu adalah calon istriku," tolak Galilleo tegas. Dia kesal, atau bisa disebut dia mulai merasa marah. Namun begitu, dirinya tidak ingin menyakiti Venus dengan perkataannya. Gadis itu tampak muram menerima penolakan darinya, wajahnya tertunduk namun tangannya tidak melepaskan lengan Galilleo yang dirangkulnya. "Lusa aku udah harus berangkat ke Dubai, Gal. Aku cuma mau habisin banyak waktu bareng kamu," ujarnya sedih. Oh, God. Galilleo merasa menjadi orang jahatnya disini. Apalagi saat ia mendapati tatapan aneh dari Lucas yang berdiri di samping pintu kantornya itu. Ia menghela nafas sekali lagi, menggenggam tangan Venus yang sedang memegang lengannya dan sepenuhnya menghadap wanita itu. "Bukankah besok ada acara makan keluarga? Aku janji besok aku akan temenin kamu setelah acara makan malam itu selesai. Bagaimana?" usulnya. Venus terdiam beberapa saat sebelum akhirnya senyum manis muncul di wajahnya. "Janji kan, Gal?" tanyanya. Galilleo mengangguk, tangannya hinggap di kepala Venus dan mengusapnya pelan. "Iya, sekarang aku berangkat dulu ya. Kalau kamu engga mau pulang lagi, kamu bisa main ke rumah aja. Makan siang bareng sama Ibu dan Kak Gema," sarannya. Dengan patuh, Venus mengangguk. Dan kali ini wanita itu melepaskan dirinya untuk meninggalkan kantor dengan langkah tenang. "Gue baru tahu lo bisa begitu juga sama Venus," ujar Lucas tiba-tiba saat mereka sudah memasuki elevator. Galilleo mendengus kesal, "Mau gimana lagi? Minta tolong sama orang lain tapi dia malah buang muka," balasnya kesal. Lucas tertawa mendengar ucapan dari sahabat sekaligus atasannya itu. "Gue cuma engga mau terlibat sama masalah kalian lagi. Sekarang kita udah bukan ABG, urusan lo sama Venus udah jadi lebih serius sekarang dan bukan lagi ranah gue buat ikut campur," katanya. Galilleo tidak bisa membantah kali ini karena bagaimana pun apa yang dikatakan oleh Lucas adalah benar. Jika Lucas ikut campur maka itu berarti Lucas mencampuri urusan keluarga Abraham dan juga keluarga Gideon sekaligus, dan itu akan sangat membahayakan bagi kelangsungan hidup Lucas. "Tapi sikap lo tadi ke Venus manis gitu, kenapa lo engga bisa begitu selama ini? Toh kelihatannya Venus jadi lebih nurut kalau lo begitu," tanyanya heran. Galilleo tidak langsung menjawab, dia memilih keluar dari elevator dan melewati lobi dengan tenang. "Bukan hal mudah, Luc. Gue engga masih ngasih harapan kosong ke dia, gue udah pernah bilang ini kan?" jawabnya setelah mereka sudah sama-sama masuk ke dalam mobil. Lucas mengangguk, hubungan Galilleo memang rumit dan ribet. Dia bersyukur karena dirinya lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja sehingga tidak perlu menghadapi situasi sulit seperti Galilleo dimana harus berhadapan dengan wanita yang tidak ia cintai tapi merupakan tunangannya. Dan juga harus menghadapi kakak-kakak dan para suaminya yang hanya mendekat untuk mendapatkan sesuatu. Jika dirinya adalah Galilleo, maka Lucas tidak akan bisa sesabar Galilleo selama ini. Galilleo terlalu baik, bahkan di tengah banyak tekanan yang dihadapinya, sahabatnya itu masih berusaha untuk bersikap baik kepada semua orang dan mengabaikan suasana hatinya sendiri. "Gue cuma bisa berharap semoga Venus bisa jatuh cinta sama cowok lain dan batalin pertunangan kalian," gumam Lucas. Tanpa diduga ternyata Galilleo yang duduk di belakangnya itu mendengar ucapannya. Pria itu tertawa dengan sangat kencang hingga membuat Lucas merasa jengah. "Gue engga tahu kalau lo juga mikirin kebahagian gue, Luc. Aamiin, semoga doa orang teraniaya kayak lo bisa langsung terkabul," balasnya menyebalkan. __
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD