"Kenapa baru pulang?"
Lova yang sedang melepas flatshoesnya itu mendongak, bertatapan dengan kakaknya yang berdiri menunggu jawaban.
"Habis mampir jenguk Mama," jawabnya singkat.
Livya langsung terdiam mendengar jawaban dari adiknya itu.
"Udah makan belum? Mau aku masakin sesuatu?" tanya Lova, dia bergerak mendekat dan mencium tangan kakaknya.
"Kebalik, harusnya aku yang nanya gitu ke kamu. Kamu udah makan belum?" tanya Livya.
Lova tertawa kecil, "Udah kok tadi di jalan, soalnya aku tahu kalau nyampe rumah paling cuma bisa makan mie instan," candanya.
Livya ikut tertawa. Candaan Lova itu bukan berarti bahwa mereka tidak bisa membeli makanan lain selain mie instan, namun itu karena kakak cantik Lova itu tidak bisa memasak makanan selain mie instan.
"Belajar masak dong, Mbak. Kan kasian Mas Sadam kalau sampai makan mie instan tiap hari," ujar Lova.
Mas Sadam yang ia sebut itu adalah pacar Livya semenjak SMA. Mereka sudah bertunangan dan berencana akan menikah tahun depan.
"Iya ini juga dikit-dikit aku lagi belajar kok liat dari youtube," aku Livya.
Lova tersenyum menyebalkan, mengisyaratkan bahwa dirinya tidak percaya dengan perkataan kakaknya itu.
"Ih, beneran tahu! Walaupun cuma baru bisa masak perkedel tapi kan itu masuknya udah lumayan," keluh Livya.
Lova tertawa sambil menepuk pundak kakaknya.
"Iya deh iya, pasti Mas Sadam makan cinta sama Mbak," godanya.
Livya mendengkua pelan, namun kemudian dia jadi tersenyum malu jika sudah berkaitan dengan Sadam-nya.
"Kamu sendiri gimana? Bukannya temen guru kamu itu ada yang kelihatannya suka sama kamu ya, Va?"
Tentu saja yang dimaksud oleh Livya adalah Digta. Karena beberapa kali guru tampan itu berkunjung ke rumah mereka untuk mengajak Lova pergi, walaupun pada akhirnya mereka biasanya hanya mengunjungi toko buku atau sekedar makan diluar.
"Dia cuma teman, lagian aku engga kepikiran buat yang begituan kok," bantah Lova.
Livya mendelik mendengar ucapan adiknya itu.
"Omongan macam apa itu? Kamu berniat jadi perawan tua? Mau hidup sendirian sampai mati?" protesnya.
Lova meringis sambil menutupi telinganya. Dia baru sadar sudah mengeluarkan kalimat yang salah hingga membuat kakaknya menjadi murka.
"Ya..yaa.. Engga gitu. Seenggaknya buat sekarang aku engga mau mikirin itu dulu, aku mau fokus sama tujuan ku," katanya.
Livya menghela nafas pelan sambil menghampiri adiknya yang tengah meneguk air dingin dari botol itu.
"Masalah cari uang kan bisa tetap dilakukan setelah menikah, Va. Kamu tinggal cari lelaki yang engga masalah aja kalau kamu tetap kerja setelah menikah," sarannya.
Lova menjadi terdiam. Ternyata kakaknya menganggap 'tujuan' yang Lova ucapkan adalah untuk mencari uang walaupun pada kenyatannya bukan itu tujuan yang Lova maksud.
"Iya, nanti aku pikirin lagi. Lagipula aku engga mau nikah sama orang yang engga aku suka, jadi aku masih harus nunggu sampai orang yang aku suka datang," balasnya santai.
Livya kembali mendengus.
"Nunggu begitu sih sampe aku punya anak kembar tiga pasang juga engga akan ada, siapa juga cowok yang bisa bikin cewek judes dan galak kayak kamu ini jatuh cinta? Hah! Sia-sia deh Mbak berharap bisa punya adik ipar dalam waktu dekat," keluh nya sedih.
Lova mencibir ucapan kakaknya itu. Memang apa yang salah sih dengan sifatnya? Lova hanya tidak ingin dianggap remeh oleh orang-orang disekitarnya makanya dia berusaha memasang benteng tinggi dan tidak mudah bersikap pada orang lain yang tidak begitu ia kenal.
"Yaudah ah, cukup ngomongin soal jodoh ku. Kasihan kan dia di sana pasti keselek atau batuk-batuk, sekarang aku cuma mandi air hangat habis itu tidur. Besok aku masih harus berjuang ngehadepin anak-anak yang umurnya doang yang udah dewasa tapi tingkahnya kayak bocah," ujar Lova akhirnya.
Livya tertawa terbahak mendengar ucapan adiknya itu.
"Bener juga ya, semoga jodohnya Lova engga lagi keselek sekarang," gumamnya.
__
"Uhuk!"
"Pelan-pelan, Gali. Kamu kayak anak kecil banget makan begitu doang sampe keselek," tegur Diva.
Galilleo buru-buru meminum air putih dari gelasnya dan menyisahkan sedikit.
"Engga tau, Bu. Tiba-tiba aja keselek, engga enak," jawabnya.
"Jangan mikirin hal lain kalau lagi makan, kayak yang engga punya pendidikan dasar saja."
Ucapan bernada dingin itu langsung membuat Galilleo mengatupkan mulutnya.
Padahal jika saja Ayahnya tidak angkat bicara, suasananya juga tidak akan langsung menjadi tidak nyaman seperti sekarang. Galilleo bahkan sudah tidak ingin lebih lama ada disini lagi walaupun hanya lima menit.
"Bu, Gali mau--"
"Habiskan dulu, apa kamu engga bisa menghargai masakan Ibu dan Kakak kamu dengan menghabiskannya?"
Galilleo langsung menunduk, "Maaf, Yah," ucapnya pelan.
"Bukan sama Ayah, tapi harusnya kamu minta maaf sama Kakak dan Ibu," tegur Rein.
Galilleo sontak melirik ke arah dua wanita yang kini sedang menatapnya dengan penuh perhatian.
"Maafin Gali, Bu, Kak," ucapnya.
Gema menghela nafas pelan dan menaruh satu lagi irisan daging ke atas piring adiknya itu.
"Habisin ya, ini Kakak yang masak semua loh," katanya.
Galilleo tersenyum, di rumah ini jika berhadapan dengan Diva dan Gema maka Galilleo akan selamanya menjadi anak kecil. Kedua wanita itu selalu saja memperhatikannya dengan manis dan juga selalu memperlakukan seakan-akan Galilleo masihlah anak berusia tujuh tahun.
"Terimakasih, Kak," ucapnya tulus.
Gema mengangguk dan melanjutkan makan malamnya. Sedangkan Diva diam-diam melirik ke arah putra semata wayangnya itu.
"Irsal tadi menghubungi Ayah, apa kamu merasa punya masalah dengan Venus? Mereka meminta untuk diadakan pertemuan keluarga secara tiba-tiba," Rein angkat bicara.
Sebuah topik yang langsung membuat Galilleo kesulitan menelan makanannya.
"Engga ada masalah, Yah," jawabnya pelan.
Ting
Bunyi denting sendok dan garpu yang diletakan di atas piring begitu saja itu membuat atensi semua orang teralih. Tidak ada lagi yang pura-pura tidak mendengar di meja itu, semuanya mengangkat wajah dan menatap ke arah Rein yang baru saja melepas sapu tangan dari pangkuannya.
"Ayah engga akan ikut campur masalah hubungan kamu dengan Venus, hanya saja tolong perhatikan sikap kamu karena Ayah engga mau hubungan puluhan tahun yang Ayah jaga dengan Irsal hancur karena keinginan egois kamu," Rein berujar dengan nada datar.
Galilleo diam-diam mengumpat dalam hati. Dia susah tahu bahwa wanita itu akan semakin membuatnya susah, walaupun begitu dirinya masih saja tidak bisa melakukan apapun.
"Apa kamu engga paham ucapan Ayah?" tanya Rein.
Galilleo buru-buru menggeleng, "Gali paham, Yah," jawabnya.
Rein mengangguk sekali kemudian menoleh ke arah istrinya.
"Sayang, siapkan makan malam yang akan diadakan dua hari lagi bersama dengan keluarga Irsal. Kalau kamu kesulitan, kamu panggil saja dua anak perempuan yang setiap hari selalu memelihara suami mereka itu," pintanya.
Diva tersenyum tipis sambil mengangguk, "Mungkin aku dan Gema saja sudah cukup," balasnya.
Rein membalas senyuman istrinya itu.
"Jangan terlalu lelah," katanya memperingati.
Dalam diam, Galilleo dan Gema sama-sama tersenyum.
Ayahnya adalah orang yang tegas dan tidak mentolerir jenis kesalahan apapun jika bisa membawa akibat fatal, bahkan Rein tidak segan mencabut semua fasilitas yang dia berikan pada anak-anaknya.
Semua itu bukan karena Rein tidak perduli atau tidak sayang pada anaknya, namun karena dulu Rein juga mendapatkan perlakuan tegas yang sama dari ayahnya dan menurutnya itu berhasil hingga membuat dirinya dan saudara-saudaranya berhasil menjadi sukses.
Maka akhirnya Rein melakukan cara yang sama untuk mengajari anaknya. Namun satu yang selalu menjadi kekaguman bagi semua anak Rein adalah, karena ayahnya itu sangat mencintai Ibunya dan tidak pernah meninggikan suara di depan Ibunya.
__
Lova menatap langit-langit kamarnya dengan gamang.
Sejak kematian Ibunya, dirinya dan Livya dipaksa untuk hidup dengan tangan mereka sendiri. Apalagi keluarga dari Ibu dan Ayahnya sama sekali tidak berniat membantu mereka yang saat itu kesusahan.
Untungnya, mereka menerima pertolongan dari orang-orang baik lainnya. Dari salah satu teman baik Ayahnya dan juga dari Sadam yang selalu ada di dekat merek setiap kali mereka membutuhkan bantuan.
Lova bangun dari posisinya, langkahnya mendekat ke arah meja belajar dan membuka satu laci paling atas.
Diambilnya sebuah album foto. Foto saat keluarganya masih lengkap dan bahagia dengan Ayah dan Ibunya yang masih hidup.
Ayahnya meninggal karena penyakit yang diderita Ayahnya sejak muda, sejak itu Ibunya yang seorang perawat menjadi tulang punggung keluarga dibantu oleh Livya yang saat itu baru menjadi pegawai magang di salah satu bank swasta.
Setahun kemudian, Ibunya meninggal dalam kecelakaan. Tepat saat hari wisuda Lova, sehingga itu membuat sebuah penyesalan yang mendalam bagi hidup Lova dengan berpikir kalau saja Ibunya tidak memaksakan datang ke acara wisudanya dengan ter buru-buru, mungkin saja Ibunya masih hidup hingga sekarang.
"Siapa yang akan jadi wali di acara pernikahan Mbak Li nanti, Ma? Saudara-saudara kita engga pernah ada yang mau direpotin," keluh Lova.
Tangannya mengusap foto mereka berempat saat mereka merayakan wisuda Livya.
"Walaupun Mbak Li selalu bilang dia nunda nikah karena mau ngumpulin cukup uang, tapi aku tahu sebenarnya Mbak bingung siapa yang akan jadi walinya saat menikah nanti. Gaji Mbak sebagai pegawai Bank dan gaji Mas Sadam sebagai Polisi engga akan kurang untuk hidup mereka, Mbak Li cuma bingung siapa yang akan bantu dia kalau nikahan nanti," gumam Lova lagi.
Meskipun rasa sakit sudah menghujam nya kian kuat, namun Lova sudah berjanji pada Livya untuk tidak menangisi apapun lagi.
"Kami harus minta tolong siapa, Ma? Sekalipun kami bisa lakuin itu semua sendiri, tapi gimana kalau keluarga Mas Sadam tanya dimana keluarga kami? Mbak Li pasti mikirin itu juga," Lova menunduk.
Ia sangat tahu kekhawatiran itu dari kakaknya. Walaupun keluarga inti Sadam sangat baik pada mereka, namun belum tentu keluarga besar Sadam akan melakukan hal yang sama. Apalagi Lova pernah mendengar bahwa ada seseorang sepupu Sadam yang kurang menyukai Livya.
"Semoga semuanya baik-baik saja," lirih Lova.
__