"Diana, bisa minta tolong buatkan dua gelas kopi untuk saya dan Lucas?" Galilleo bertanya lewat interkom pada sekretarisnya itu.
Setelah mendengar Diana menyetujui permintaannya, Galilleo memutuskan sambungan.
"Lo bersikap terlalu ramah sama perempuan yang jelas-jelas doyan flirting sama lo," tegur Lucas.
Galilleo menaikan sebelas alisnya setelah mendengar ucapan itu dari sahabatnya.
"Gue cuma berusaha jadi atasan yang baik, you know?"
Lucas mendengus, "Tapi kenapa sama tunangan lo sendiri lo engga seramah itu?"
Kali ini raut Galilleo terlihat malas saat Lucas kembali membahas perihal hubungan terpaksa nya dengan Venus. Galilleo juga tidak mengerti kenapa Lucas selalu saja mengatakan hal yang sama selama bertahun-tahun, memintanya untuk bersikap baik pada Venus.
"Akan beda ceritanya kalau Venus yang berharap terlalu banyak sama gue. Sedangkan gue bahkan engga bisa mikirin kelanjutan dari hubungan gue sama dia, gue berharap ada keajaiban yang bikin gue bisa lepas dari pertunangan bodoh itu," balas Galilleo.
Lucas tersenyum kecil. Dia melangkah ke arah pintu saat sebuah ketukan terdengar.
Diana berdiri dengan senyum cantik dan membawa nampan berisi dua gelas kopi untuk Galilleo dan Lucas.
"Terimakasih, Diana," ujar Lucas.
Ia sengaja berdiri di tengah pintu untuk menghalangi sekretaris Galilleo itu mengintip ke dalam dimana Galilleo sedang duduk di singgasana nya.
Diana menyadari niat Lucas itu, maka setelah menyerahkan nampan yang ia bawa kepada Lucas, wanita itu kemudian menatap sinis pada Lucas sebelum berbalik pergi.
"Perempuan sangat mengerikan," ucap Lucas sambil berjalan mendekat ke arah Galilleo dan meletakan minum di atas meja.
Galilleo tertawa, tangannya mengambil gelas berisi kopi hitam tanpa gula miliknya dan menyesapnya sedikit demi sedikit.
"Itu lah yang baru aja gue pikirin. Mereka terlalu mengerikan karena bisa lakuin apapun buat dapatin apa yang mereka kamu, Right?"
Kali ini Lucas mengangguk tanpa ragu. Dia juga berpikir hal yang sama setelah melihat bagaimana Diana berusaha mengintimidasinya tadi hanya karena Lucas tidak memberi celah wanita itu untuk mencuri pandang ke arah Galilleo.
"Gal, semisal lo sama Venus beneran putus? Apa lo yakin bisa ketemu cewek yang lebih baik dari dia?" tanya Lucas tiba-tiba.
Jelas saja pertanyaannya itu membuat Galilleo mengerut bingung bercampur heran.
"Apa lo pikir gue berharap pertunangan gue sama dia batal demi bisa dapatin cewek lain? Apa menurut lo gue punya waktu buta jatuh cinta di tengah badai yang sekarang terjadi? Bahkan gue engga sempet mikirin diri gue sendiri karena setiap harinya pusing mikirin dua suami kakak gue itu," keluh Galilleo. Ia benar-benar merinding membayangkan betapa gigihnya Bertrand dan juga Noel membujuknya untuk kepentingan mereka masing-masing.
Kali ini Lucas tertawa begitu keras seakan-akan yang baru saja Galilleo katakan adalah lelucon paling lucu yang pernah ia dengar.
"Gue bahkan heran lo masih hidup dan waras sampai sekarang setelah berhadapan sama mereka selama ini," timpalnya dengan tawa geli.
Galilleo berdecak keras, mengabaikan Lucas yang masih sibuk menertawakan nasibnya. Ia lebih memilih segera menyelesaikan pekerjaannya yang tersisa karena di rumahnya akan diadakan makan malam keluarga dengan keluarga Gideon, seperti janjinya kemarin pada Venus.
"Tapi gimana kalau tiba-tiba dia...datang lagi?"
Tangan Galilleo yang tadi dengan lincah bergerak di atas keyboard langsung terhenti saat mendengar pertanyaan yang kembali datang dari Lucas.
Dia mengangkat wajah, menatap Lucas dengan tatapan peringatan. Memberitahu sahabatnya itu bahwa tidak seharusnya pertanyaan itu muncul di tengah obrolan mereka.
"Yaahh.. Gue cuma penasaran. Sorry kalau lo engga suka sama pertanyaan gue," ralat Lucas.
Galilleo tidak menjawab, dia berusaha kembali fokus pada pekerjaannya meskipun itu berkahir sia-sia.
Lompatan-lompatan memori yang terpecah dengan seseorang itu muncul memenuhi pikirannya hanya berselang beberapa detik sejak Lucas bertanya.
Ini yang tidak Galilleo suka, bukan rasa kehilangan yang ia rasakan saat mengingat sosok itu melainkan rasa bersalah yang luar biasa yang membuatnya kesulitan untuk mengendalikan sesak di dadanya sendiri.
__
"Iya, Mbak. Engga lama kok, bentar lagi aku pulang. Ada yang mau dititipi engga?" Lova mengapit ponselnya di antara telinga dan bahu saat ia harus membayar sejumlah uang untuk buku yang sudah dibelinya.
"Terimakasih," ucapnya pelan pada kasir yang menyerahkan buku miliknya.
Lalu ia berjalan keluar dari toko buku itu dan hanya berjalan begitu saja memutari mall.
"Kayaknya engga sampai sejauh itu deh, tapi kalau sempat nanti aku beliin ya. Udah dulu ya, aku mau masuk ke toko lagi nih," katanya kemudian setelah mendapatkan persetujuan dari kakaknya, Lova langsung menyudahi pembicaraan mereka.
Sepulang kerja ia sengaja mengunjungi salah satu mall besar yang tidak terlalu jauh dari tempatnya mengajar.
Bukan karena ada sesuatu yang mendesak yang harus dibelinya namun di melakukan itu hanya karena dia tahu hari ini Sadam akan berkunjung ke rumah untuk bertemu dengan kakaknya. Mereka berdua jarang bertemu sehingga Lova tidak ingin mengganggu kencan mereka saat ini.
Itulah kenapa dia akhirnya hanya memutari mall tanpa melakukan apapun dan hanya membeli beberapa buku bacaan saja.
Rencananya ia akan pulang saat waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam karena biasanya di jam seperti itu kakaknya dan Sadam akan memutuskan keluar untuk jalan berdua. Jadi Lova bisa beristirahat dengan tenang di kamarnya.
Lova meringis saat merasakan perutnya mulai keroncongan, tadi siang dia tidak sempat makan karena rapat dadakan yang diadakan bersama Digta dan Irene. Wajar jika saat ini di waktu yang sudah menginjak hampir jam tujuh ini dia sudah merasa sangat lapar.
Kakinya berbalik, mencari ekskalator terdekat untuk menuju lantai tiga dimana jejeran food court berada.
Keningnya berkerut bersamaan dengan kebingungan yang melandanya saat berhadapan dengan banyaknya pilihan makanan di sana.
Kemudian setelah menimbang-nimbang akhirnya Lova berjalan ke salah satu stand makanan yang menjual soto betawi kesukaannya. Ia berdiri di belakang beberapa orang yang tampaknya mengantri untuk memesan juga sama sepertinya sampai tiba-tiba saja ada seseorang yang memanggilnya dengan lantang hingga bukan hanya dirinya yang menoleh tapi orang lain juga.
"Bu Lova!"
Lova meringis saat namanya diteriakkan dengan keras, ia mendapati ABG tampan yang berjalan dengan senyum lebar mendekatinya.
"Kamu belum pulang?" tanya Lova saat melihat Anzelo masih mengenakan seragam sekolahnya, hanya saja kali ini seragamnya itu dilapisi sweater berwarna kuning kunyit yang mencolok namun cocok di tubuh Anzelo.
"Iya, soalnya saya engga akan pulang ke rumah tapi ke rumah nenek. Sekarang lagi beliin pesanan nenek dulu sebelum kesana," jelas Anzelo tanpa diminta.
Lova mengangguk paham, pandangannya ia alihkan sejenak ke arah depan untuk mengetahui berapa lama lagi dia harus menunggu untuk memesan makanan untuknya.
"Ibu sendirian?" tanya Anzelo.
Tanpa ragu Lova langsung mengangguk, "Lebih enak kemana-mana sendirian," katanya.
Dia agak terkejut saat Anzelo mencibir ucapannya.
"Bilang aja karena Ibu jomblo dan engga ada yang nemenin jalan jadinya sendirian," ledek ABG itu.
Lova rasanya kesal juga di bilang seperti itu, namun karena Anzelo teramat tampan sehingga dirinya akan membiarkan anak muda itu kali ini saja. Itu adalah hak istimewa yang hanya bisa didapatkan oleh orang tampan.
"Kamu juga sendirian aja, padahal kalau kamu tawarin pasti banyak tuh yang mau nemenin kamu jalan muter-muter mall walau engga dijajanin," balas Lova.
Anzelo tertawa dengan begitu renyahnya hingga beberapa orang kembali menoleh penasaran ke arah mereka. Dalam keadaan seperti ini, Lova ngeri juga kalau sampai disangka punya hubungan lain dengan brondong tampan ini.
"Makasih loh pujiannya, tapi saya disini karena janjian sama om saya, Bu. Jadi bisa dibilang kalau saya engga sendirian disini," balasnya percaya diri.
Lova berdecak dengan keras, dia mengabaikan Anzelo begitu saja dan maju berdiri di depan meja counter untuk memesan.
"Ibu juga kayaknya belum pulang ya? Baju Ibu masih sama kayak yang tadi pagi," ujar Anzelo lagi.
Lova melirik sebentar, tidak menduga jika anak muridnya itu sudah berdiri di sampingnya saja.
"Iya engga sempet, tadi habis main ke temen terus nyari buku kesini," bohong Lova. Karena yang sebenarnya adalah dia sudah berada di mall ini berjam-jam lamanya.
"Kamu mau pesen juga engga?" tawar Lova pada Anzelo.
Anak muridnya itu menyengir dengan tangan menggaruk belakang rambutnya.
"Kalau ditraktir sama Ibu sih, saya engga akan nolak," jawabnya.
Kembali Lova berdecak, tapi walaupun begitu ia tetap menanyakan apa yang hendak Anzelo pesan meskipun pada akhirnya anak itu hanya meminta Lova untuk memesankan makanan yang sama.
"Bawain ya," titah Lova pada Anzelo.
Dia melenggang begitu saja ke salah satu meja yang tidak jauh dari tempatnya memesan tadi, meninggalkan Anzelo yang bertugas membawakan makanan mereka.
"Om kamu masih lama?" tanya Lova basa-basi saat mereka sudah duduk berhadapan.
Anzelo mengangkat bahu sambil menyeruput kuah soto miliknya.
"Dari setengah jam yang lalu bilang udah di jalan, tapi sampai sekarang belum sampe-sampe juga," jawabnya.
Lova berdecih pelan, "Khas orang Indonesia banget ya," katanya.
Anzelo tertawa geli melihat tampak judes gurunya itu.
"Engga kok, Om saya itu orangnya sibuk banget, Bu. Mungkin dia tadi masih di kantor pas saya telepon tapi bilangnya udah di jalan," sangkal Anzelo.
Kali ini Lova malah berdecak keras.
"Makin parah malah kalau bohong gitu," ujarnya tidak mau kalah.
Akhirnya Anzelo menyerah untuk membalas ucapan gurunya itu. Bagaimanapun dirinya tidak akan bisa menang melawan Lova dengan segala kecerdasan dan kejudesan gurunya itu
"Bu, boleh bayarin thaitea juga engga?" tanya Anzelo pelan.
Lova mendelik ke arah anak muridnya itu.
"Ngelunjak kamu, udah dibayarin makan sama minum sekarang malah minta Thai tea. Engga boleh, Ibu belum gajian," tolak Lova.
Anzelo cemberut mendengar jawaban dari gurunya itu.
"Pelit," gumamnya pelan.
Namun dia sial karena ternyata Lova masih bisa mendengar ucapannya sehingga ia mendapatkan satu jitakan cukup keras dari gurunya itu.
"Ibu saya laporin ke Komnas perlindungan anak!" kesalnya.
Tapi Lova malah menyeringai setelah mendengar ucapan anak muridnya itu.
"Anak modelan kamu mau udah engga patut dilindungi," jawab Lova yang membuat Anzelo semakin merasa kesal.
__