"Gue mohon, buka mata lo." Kata Faga diluar ruangan tepatnya didepan kaca tebal antara pembatas dirinya dengan Indi, yang melihat Indi didalam dengan alat-alat yang menempeli ditubuh perempuan yang membuat dirinya dua minggu belakang ini nampak sedikit lesu.
Sudah dua minggu gadis itu tak kunjung membuka-buka matanya, difikirannya Apakah gadis itu tak ingin melihat indahnya dunia lagi? Itulah didalam benaknya sekarang. Bingung akan segala masalah yang dihadapinya saat ini.
Tadi ketiga sahabatnya datang ke Rumah Sakit untuk menjenguk satu sahabatnya yang tergeletak lemah tak berdaya diatas ranjang Rumah Sakit. Faga kesepian dirumah, tak ada lagi suara ribut dirumah, tak ada lagi pertengkaran kecil ataupun besar dirumah. Tak ada juga perebutan makanan dirumah.
Faga merindukan gadis yang kini memakai selang oksigen dihidungnya, Faga tak ingin melihat gadis itu memakai alat yang tak berguna-- walaupun bagi Indi itu berguna untuk keselamatan hidupnya.
Faga juga masih bertanya-tanya soal penyakit apa yang bisa membikin gadis itu berbaring disana? Kedua orang tua-nya atau juga kedua orang tua Indi tak kunjung buka suara agar dia dapat mengetahui penyakit Indi.
Apakah dirinya bukan bagian terpenting dihidup Indi? Siapa dirinya sebenarnya? Suaminya atau bukan? Bukannya dia yang harus tau segala apa tentang Istrinya? Apakah tidak boleh dirinya tahu?
Sungguh, aneh.
-
Pagi ini Faga telah bersiap untuk pergi kesekolah, awalnya lelaki itu menolak untuk pergi kesekolah tapi dengan segala rayuan mama nya dia akhirnya memutuskan untu bersekolah pagi hari ini.
Banyak juga berkas-berkas yang harus dia urusi di Osis, karena beberapa bulan lagi bukan dirinnya yang akan menjadi Ketua Osis di sekolahnya. Karena, dia akan melepaskan jabatan itu karena dirinya yang sudah kelas 12 dan juga sudah memasuki semester 2 harus fokus juga untuk belajar.
Lelaki itu menyambar kunci mobil yang tergeletak diatas meja dekat sofa lalu menutup pintu tak lupa juga mengunci nya dan memasuki mobilnya. Sudah lama dipanasi, mobil hitam sedan itu meninggalkan perkarang rumah berwarna cat abu-abu.
Sekitar membutuhkan waktu dua puluh menit dirinya sampai disekolah, sebab karena tadi untung saja tidai macet pasti membutuhkan waktu yang banyak. Memang, Jakarta adalah kota metropolitan yang sangat ramai dihuni semua orang.
Setelah sudah mengunci mobilnya, seperti biasa aura dinginnya kembali dia pancarkan kepada setiap orang. Seperti biasa juga lelaki itu banyak diam.
Masih pukul enam lewat empatpuluh lima itu tandannya belum memasuki bel sekolah dia memutuskan untuk pergi kekantin mencari kawan-kawannya berniat untuk berkumpul untuk menghilangkan rasa bosannya. Walaupun dia banyak diam sih.
Dan benar saja, ketiga lelaki sok tampan menurutnya sedang berada dikantin memenuhi suara dikantin yang hanya dihampiri beberapa orang saja.
Dia duduk disebelah Gara yang asik menyantap nasi goreng ala bu Ika-- penjual langganan Gara.
"Lau kenapa, elah mukanya kayak gak pernah makan setahun." Celetuk Gara lalu menyeruput teh panasnya sedikit-sedikit.
Faga tak juga mengeluarkan suara, dia hanya diam. Sandi yang mengetahui itu hanya diam memaklumi apa yang menimpa sahabat dekatnya.
Tiba-tiba saja Derik bertanya,
"Oh iya, kata Filda temennya yang namanya Indi belum siuman juga. Bener gak Ga?"
Faga yang awal wajahnya biasa-biasa saja kini menatap tajam Derik, langsung saja Derik menenangkan sahabat dinginnya.
"Slow, slow, bro. Gue cuman penasaran aja, lo kok pulang sekolah kerumah sakit mulu. Emang lo siapanya Indi sih?" Derik yang masih dengan ke-kepoan nya.
Gara menjawab, "Kepo amat lo, udah gak usah urusin urusan orang lah."
Derik mendelik sebal.
"Lo kenapa? Gue tanya Faga lo yang jawab, nyet."
"Gak terima gitu!?" Sewot Gara
Derik mengalihkan pandangannya tak berniat menjawab sewotan dari Gara, Faga tiba-tiba saja meninggalkan ketiga sahabat nya yang menatap dirinya cengo.
"Lo sih berdua, ribut mulu." Sandi juga sama halnya dengan Faga; meninggalkan kantin entah pergi kemana.
Dan terjadilah dua cekcok dari kedua pria tampan yang asik beradu bacot dikantin. Tak salah juga ada yang menertawai mereka kareka lucu, ataupun selainnya.
Ganteng tapi b**o.
Dilain tempat, tepatnya di ruangan Osis yang dihuni dua orang sejak beberapa menit tadi, kini dua orang itu belum ada juga yang membuka suara.
"Gimana keadaan," jeda Sandi sebentar "nya Indi? "
Faga memegang kepalanya dengan kedua tangannya yang bertopang di meja lalu menggeleng lemah.
"Belum ada perubahan." Jawabnya lesu.
Sandi menepuk pundak Faga sebanyak dua kali dan memberikan semangat.
"Semangat, bro. Gue tau dia pasti siuman kok." Sandi sedikit cemas juga dengan keadaan Indi, hanya Sandi saja lah yang tahu adanya pernikahan Faga dan Indi.
"Thanks."
Sandi mengangguk. "Bentar lagi masuk. Lo nggak?"
Faga mengangkat kepalanya dan beranjak dari kursinya berjalan mendahului Sandi yang geleng kepala saja akan tingkah laku Faga.
Sandi tak ikut dengan Faga yang pergi ke kelasnya, tapi ke kantin untuk mengajak dua pria sinting agar masuk ke kelas jika dirinya tak menarik dua pria itu mungkin mereka tak akan masuk dikelas dan berakhir juga mereka berdua dihukum dengan Faga, walaupun kedua itu adalah sahabat nya sendiri Faga hanya menjalankan tugasnya bukan?
Dikoridor Faga hendak berbelok, langkahnya terheti ketika seseorang memanggil namanya.
"Kak Faga?" Panggil seseorang yang kini sudah berada dihadapannya.
Faga hanya menaikkan sebelah alis nya.
"G-imana keadaan kak Indi?" Tanya Tasya-- adik kelas sepuluh Faga yang dua minggu yang lalu mengecek keadaan Indi.
"Baik." Jawab Faga. Singkat, padat, dan jelas.
Perempuan itu mengangguk mengerti, tanpa berucap kata banyak lagi Faga langsung melengos pergi dari hadapan Tasya yang hanya alibi saja untuk mendekati kakak kelas tampan nya.
Tasya tersenyum miring berucap kepada dirinya sendiri, "Liat aja Tasya, ini udah kemajuan yang pesat. Walaupun 'doi' ngomong nya singkat yang penting itu tandanya lo harus maju lebih jauh lagi untuk ngedapetin dia."
Faga telah duduk dikelas nya, kelas yang awalnya hening kini menjadi riuh karena ketiga sahabatnya itu-- tapi hanya Gara dan Derik saja yang ribut bukan Sandi. Sandi hanya ikut tertawa saja jika ada yang lucu.
Ketiga pria itu mendekati Faga yang menatap mereka datar alias tanpa ekspresi. Gara yang duduk didepan dengan Sandi dan Faga yang duduk dengan Derik.
Ke-empat cogan itu tak ada yang berbicara, sedangkan Derik berbicara dengan Yusran-- teman sekelas lelaki mereka.
Kelas menjadi hening karena kedatangan bu Tia-- guru IPS sekaligus guru baru yang baru saja pertama kalinya mengajar dikelas itu.
Para lelaki berdecak kagum dengan kecantikan guru muda nya, ada juga yang berseru senang sehingga tak tahu malu walaupun itu adalah guru mereka yang mengasihkan mereka ilmu.
"Selamat pagi anak-anak." Sapa guru itu.
"Pagiii buuu." Jawab lainnya serempak.
Bu Tia mulai meneliti setiap wajah anak-anak yang didepannya dan terhenti dengan wajah sedikit putih sedang menatap dirinya tajam.
"Kenapa kamu liatin saya seperti itu?" Tanya bu Tia memicingkan matanya kearah Faga.
Spontan seluruh anak dikelas menoleh ke Faga, Faga hanya mengerut kan dahinya sedikit tanda tak mengerti.
"Dia emang kayak gitu kalau ngeliatin orang bu." Celetuk Derik.
Tapi, guru baru itu malah sewot. "Kamu gak suka saya ngajar disini!?"
"Ngaca dulu deh bu, liat diri ibu." Jawab Faga enteng.
"Heh! Kamu maju sini!" Guru itu melotot.
Faga dengan malas maju kedepan dengan tangan yang bersedekap didepan dadanya. Tanpa ba-bi-bu lagi guru itu menyemprot Faga dengan kata-kata nya.
"Tidak sopan kamu ya sama saya!"
Faga mendengus kesal, "Saya yang tidak sopan atau anda yang tidak sopan?"
Guru baru itu tambah naik pitam.
"Memangnya kenapa saya!? Kenapa kamu mengatakan saya tidak sopan?!"
Astaga, guru itu tidak mengerti dengan perkataan Faga.
"Saya selaku Ketua Osis ingin memberitahu kepada anda, bahwa sekolah kami adalah tempat untuk menuntut ilmu bukan clubbing yang suka anda datangi." Faga dengan senyum miringnya, dikirannya Faga tak melihat dirinya di kelab malam yang sering guru itu kunjungi?
Awalnya bu Tia sedikit terkejut karena murid nya mengetahui jika dirinya sering ke tempat haram itu.
Sebenarnya Faga sudah pernah ke tempat itu karena apa? Diajak oleh ketiga teman somplaknga dan akhirnya dia mengalah dan ikut ke tempat haram yang banyak diisi dengan; kalian tahu sendiri seperti apa bukan?
"Kurang terkejut?," Faga masih saja melancarkan aksinya karena sedaritadi dia hanya ingin marah-marah saja entah mengapa, "saya pernah ke hotel Branasta dan melewati kamar empat ratus enam, bukan begitu bu?"
Guru baru itu gelagapan, "S-a-ya izin ke to-ilet sebentar."
Dengan langkah cepat guru itu keluar dari kelas dengan rasa malu yang melanda dirinya. Dia sangat menyesal telah hadir dikelas itu, pasalnya dia baru saja hadir disekolah ini.
Teman-teman nya hanya melihat Faga dengan tatapan melongo, selang beberapa detik semuanya berseru senang karena tak ada kegiatan pembelajaran di jam pertama.
Mereka awalnya sedikit terkejut akan hal fakta -- bahwa Faga juga sering ke club untuk hiburan semata, walaupun mereka tidak tahu ketiga temannya lah yang membawa Faga ke tempat itu.
-
Dengan rasa cemas melanda kedua orang tua itu yang sedang berbicara serius tentang putri ketiga nya yang sangat mereka sayanagi.
Raga dan Ragi tahu akan hal penyakit apa yang diderita sang adik, itu yang membuat mereka terkejut mendengar tuturan Rani-- mama nya.
Ternyata penyakit yang diderita perempuan berumur sebentar lagi delapanbelas tahun itu adalah penyakit yang bisa membuat dirinya di ambang kematian.
Penyakit; gagal ginjal.
Awalnya, gejala penyakit ginjal tidak begitu terlihat, gejala akan terlihat jelas saat penyakit ginjal sudah kronis. Fungsi ginjal sebagai organ ekskresi akan terganggu bila penyakit ini tidak segera dioperasi. Karena itu Dokter Wahyu-- yang mengoperasi Indi langsung menindak lanjuti.
"Mama berterima kasih dengan Faga karena ngambil keputusan yang besar seperti itu sulit. Tapi, mudahan aja Indi cepet siuman." Ujar Rani dengan senyum tipis nya.
Papa nya mengangguk, Raga dan Ragi sudah tak bisa membayangkan jika adik nya tak selamat.