“Bagaimana? Kamu sudah terbiasa kerja di sini?”
Dara yang sedang membersihkan meja makan setelah digunakan untuk sarapan sebenarnya dibuat kaget dengan suara seseorang yang tiba mengajaknya bicara. Gadis itu langsung membalikan tubuhnya dan mendapati nyonya rumah itu menatapnya menunggu jawaban.
“Ah, ya, Nyonya. Sudah mulai terbiasa. Semua yang ada di sini juga sangat baik dan sangat mengarahkan saya dengan sabar pada setiap detail pekerjaan.”
Tidak seperti biasanya yang berwajah datar atau berekspresi tegas. Kali itu, Nyonya Lee menunjukan segaris senyumnya pada Dara yang baru pertama kali juga melihatnya.
“Syukurlah kalau begitu. Sudah berapa lama kamu bekerja? Saya lupa kamu waktu itu datang ditanggal berapa.”
“Sudah masuk minggu ketiga, Nyonya.”
“Minggu ketiga.” Gumam Nyonya Lee mengangguk-angguk, kemudian tidak disangka menunjukan senyumnya lagi. “Baiklah, kalau begitu selamat bekerja. Pastikan pekerjaanmu lebih baik setiap harinya.” Nyonya Lee mengatakan hal itu kemudian berlalu, meninggalkan Dara yang membungkuk yang mengantar kepergiannya.
Sebenarnya, bisa dibilang Dara tidak terlalu sering bertemu dengan kedua tuan rumah tempatnya bekerja. Sarapan bersama pemilik rumah itu memang rutin setiap hari, tapi sisanya mereka akan lebih banyak di luar bahkan kadang juga tidak pulang entah karena urusan bisnis atau urusan pribadi macam apa, maka dari itu interaksi semacam tadi bisa dibilang sangat langka dan jarang Dara temui selama tiga minggu terakhir. Yah, Dara tidak tahu jika dengan pegawai lain yang memang sudah bertahun-tahun atau bahkan belasan tahun bekerja di rumah itu. Mereka jelas memiliki pengalaman yang jauh berbeda.
Lamunan Dara pecah ketika getar pager di saku roknya terasa. Dara yang saat itu belum menyelesaikan pekerjaannya tidak berani meski hanya sekadar mengintip siapa yang kira-kira mengirimkan pesan padanya, maka dari itu Dara cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya membereskan meja—tentu dengan SOP yang tetap sama tanpa mengurangi kualitas pekerjaannya sebelum izin pada Bibi Nayeon untuk mendengarkan pesan yang dia dapat dengan telepon yang tersedia di dalam rumah itu.
“Tentu boleh, Dara. Satu telepon di sini memang disediakan untuk kita, untuk memudahkan kita berkomunikasi dengan orang-orang yang memang penting dan dalam keadaan darurat." Ucap Bibi Nayeon ketika mendengar Dara meminta izin, yang tentu saja langsung Dara sambut dengan berkali-kali ucapan terima kasih sebelum menggunakan telepon yang dia maksud.
Satu pesan masuk dari teman satu kamar asramanya.
“Dara, ada surat untukmu datang ke asrama. Kapan kira-kira kamu akan mengambilnya?”
Dara menutup teleponnya setelah mendengarkan pesan yang dia terima.
“Kenapa? Ada ada sesuatu yang terjadi?”
Lamunan Dara lagi-lagi buyar, menggeleng dengan sebuah senyum pada Bibi Nayeon yang menatapnya khawatir.
Dara tidak bisa mengatakan bagaimana suasana hatinya saat itu, yang bertanya-tanya sekaligus bimbang surat macam apa yang dirinya terima kali ini. Sebab surat yang rutin datang pada Dara selama berada di Korea hanya berasal dari Ibu pantinya di Indonesia, dan itu surat yang datangnya satu tahun dua kali atau setiap enam bulan sekali. Kalau penerimaan surat terjadi sebelum waktu itu, jelas ada sesuatu yang penting yang biasanya Ibu panti hendak kabarkan pada Dara. Dan ini belum waktunya Dara menerima surat, namun surat itu kini sudah berada di kamar asramanya.
***
“Di mana suratnya, Sarang-ah?”
Gadis yang Dara panggil menoleh, membuat earpiece yang digunakannya ketika seseorang menepuk punggungnya yang sedang sibuk dengan sesuatu di meja kerja.
“Oh, kamu kembali.”
“Suratnya, di mana?”
Sarang yang ditanya kedua kali langsung memutar tubuhnya dari kursi yang dia duduki, menatap dan menunjuk ke arah meja belajar Dara yang berada berlawanan arah dengan meja yang sedang dirinya tempati.
“Di sana, aku meletakkannya di sana.”
Dara langsung berterima kasih, lantas menghampiri meja kerjanya dan mengambil surat yang di maksud.
“Aku dengar kamu akan keluar bulan depan dari kamar ini, tapi kenapa sudah tiga minggu kamu malah jarang sekali tidur di sini? Tidur di mana sebenarnya kamu, Dara? Apa kamu sudah menemukan tempat tinggal lain?” Tanya Sarang, meski mereka tidak begitu dekat, tapi sebagai teman sekamar Sarang jelas penasaran dengan bagaimana nasib teman asramanya itu.
“Hm, aku sudah menemukan tempat tinggal baru. Sekaligus dengan pekerjaannya juga.” Jawab Dara sekenanya, dengan tangan yang sibuk membuka amplop surat untuk membacanya langsung.
Iya, Dara memutuskan untuk membacanya langsung. Tidak bisa lagi bersabar atau menunggu ketika dirinya sendiri. Dara benar-benar sudah dihantui oleh rasa ingin tahu.
“Oh, sungguh? Syukurlah! Apakah pekerjaannya baik? Kamu tidak melakukan pekerjaan yang berbahaya atau—”
“Tidak Sarang. Syukurnya aku tidak.”
Sarang menarik napas lega mendengarnya, kemudian menatap heran Dara yang sudah serius membaca isi surat itu.
Merasa bahwa Dara tidak terlihat berkenan untuk diganggu, Sarang memutuskan untuk tiba berkata-kata lagi, sebab lawan bicaranya juga tidak terlihat akan menanggapinya lagi jika Sarang terus bicara. Maka dari itu Sarang memutuskan kembali memutar tubuhnya dan fokus pada buku pelajaran yang sedang dirinya tekuni tadi, memasang kembali earpiece yang sempat dirinya singkirkan dari telinga.
Hai Dara, apa kabar?
Kamu pasti terkejut mendapatkan surat dari Ibu di waktu yang tidak biasanya, kan? Maaf karena sudah membuatmu terkejut. Tapi Ibu rasa kamu perlu tahu.
Panti kita akan segera di gusur dalam waktu 3 bulan. Ibu sudah mengusahakan berbagai macam cara untuk mencegah hal itu terjadi tapi sepertinya tidak membuahkan hasil. Panti tidak punya cukup uang untuk mempertahankannya, maka dari itu sepertinya kali ini kita memang benar-benar harus merelakannya.
Maafkan Ibu karena tidak bisa menepati janji Ibu untuk menjaga panti dengan baik, ya. Maafkan Ibu yang harus merelakan saudara-saudaramu berpencar dan terpisah ke beberapa panti yang bersedia menampung mereka. Maafkan Ibu.
Ibu harap kalau kamu pulang nanti, kita bisa mengunjungi adik-adikmu bersama-sama di tempat-tempat itu. Jangan lupa kabari Ibu ketika kamu pulang, ya. Oh, dan semangat untuk kuliahnya. Semoga Tuhan selalu melancarkan semuanya dan kamu bisa lulus dengan nilai terbaik tahun ini. Ibu dan adik-adik selalu mendoakanmu.
Tertanda.
Ibu.
Kurang-lebih, seperti itulah surat yang Dara terima. Surat yang isinya membuat Dara menahan napas berkali-kali berusaha untuk mengontrol emosinya. Dara ingin menangis, namun hal itu bukan sesuatu yang Dara biasa lakukan karena sejak kecil dirinya sudah terbiasa untuk menahan semuanya. Menahan semua perasaan agar Dara tidak di cap atau dilabeli sebagai sosok yang cengeng. Menangis bukan sesuatu yang wajar untuk Dara, karena dirinya selalu dituntut mandiri dan juga kuat sejak dulu, maka dari itu Dara bahkan tidak tahu bagaimana cara agar dirinya bisa menangis dan meluapkan perasaannya sebagaimana orang-orang pada umumnya.
Dara tidak tahu cara untuk melakukan hal itu, dan gadis itu juga tidak tahu bagaimana cara untuk menyelamatkan panti tempatnya tinggal selama 18 tahun yang juga kini ditinggalinya oleh adik-adiknya. Dara sungguh tidak tahu caranya, meski gadis itu sangat ingin menyelamatkan tempat mereka tinggal itu sekalipun.