Chapter 1 : Ksatria Misterius
Angin sepoi-sepoi berhembus, membelai rambut hitam yang mengkilat dibawah sinar matahari. Pipinya yang putih bersih kini bersemu merah karena terik matahari. Manik hitamnya mengamati sekitar. Sesekali ia berkedip, memamerkan bulu mata yang lentik. Tangan mungilnya merambah dedaunan yang lebat, memindai tanaman yang ada di depannya.
"Bunga disini jadi agak kering. Kenapa ya?" Ia bergumam seorang diri.
Sesekali ia mengelap keningnya yang dibasahi keringat. Hari itu sangat panas, walau ia hanya mengenaan yukata polos yang hanya menutupi sebatas lututnya, ia masih merasakan panas yang membakar tubuhnya. Gadis itu mengamati tanaman dan bunga-bunga yang ada di depannya dengan senyum kecut. Sebagian besar layu, entah mengapa. Atau mungkin karena cuaca yang sangat tidak menentu akhir-akhir ini?
"Sepertinya aku harus pulang dengan tangan hampa. Maafkan aku ibu," bisiknya, sendu.
Melangkah, Gadis itu berjalan menyusuri jalan setapak yang begitu curam. Berkali-kali ia melewatinya, berkali-kali juga ia terpeleset dan terjatuh. Jalan itu memang tak layak disebut jalan, dengan bebatuan dan lumpur yang menggenang. adis itu harus merelakan kakinya berlumur lumpur. Bahkan sesekali ia tertusuk oleh batu tajam saat ia terjatuh. Menyebalkan, namun itu satu-satunya jalan yang bisa dilalui ke kebun bunga milik ibunya.
Setelah perjuangan beratnya berakhir, ia pun sampai di desa. Mengernyit heran, ia merasakan desanya terlalu sepi. Biasanya, banyak orang berlalu lalang untuk sekadar berjalan-jalan dan saling menyapa.
"Ada apa ini?" keningnya mengerut, heran.
Namun maniknya langsung membelalak saat ia melihat tiga kuda hitam dengan aksesori Wilayah Barat yang ada di depan rumahnya. Tanpa berpikir panjang, mendobrak masuk ke dalam rumah. Khawatir jiks sesuatu terjadi pada ibunya. Ia tahu benar orang-orang wilayah barat adalah orang yang tak kenal ampun.
"Ibu!!" Gadis itu mendobrak pintu dan memanggil ibunya tercinta.
Namun, pikiran buruknya hilang saat ia mendapati ibunya sedang meminum teh dengan tiga orang pemuda yang berpakaian khas Wilayah Barat. Tubuhnya langsung membeku di depan pintu.
Ibunya pun tersenyum. "Kau sudah pulang, Mika? Eh? Apa kau baik-baik saja? Kau terlihat pucat"
Mendengar kata-kata ibunya Mika langsung menghambur dan memeluk ibunya. Menangis di dekapan sang ibunda, tak peduli dengan tubuhnya yang masih kotor dan lengket karena keringat. Ibunya hanya tersenyum, dan membelai lembut rambut hitam putri kesayangannya.
"Mika, sebaiknya kau membersihkan diri dulu, di sini ada tamu penting." Ibunya berbisik seraya membelai pipi Mika yang basah oleh air mata. Mika ingin menolak, namun tatapan sang ibunda berhasil meyakinkannya.
"Mereka bukan orang jahat, jangan khawatir."
Menipiskan bibir, Mika hanya bisa mengangguk pelan. Ia berdiri, dan memberi salam pada tamu ibunya. Sekilas, mengamati orang yang duduk di seberang ibunya. Pria dengan rambut dan mata sekelam malam, dengan pakaian bangsawan Barat yang juga berwarna hitam. Dia tampan, tapi entah mengapa Mika merasa sedikit canggung saat menatap pria itu. Dua pemuda lainnya berdiri di samping kanan dan kiri sang pria. Setelah mengamati sejenak, Mika pun berjalan meninggalkan mereka.
Gadis itu tak menyadari bahwa sedari tadi pria itu juga tak mengalihkan pandangan dari dirinya. Tatapan tajam itu masih terarah pada punggung rapuh Mika. Hingga sosok mungil itu menghilang di balik pintu, tatapannya pun beralih.
"Mohon mafkan kelancangan putri saya, Tuan."
"Tidak masalah."
Pria yang dari tadi mengamati Mika, memotong pembicaraan. Manik tajamnya beralih pada Ibunda Mika. Jujur, Ibu Mika merinding saat tatapan mengintimidasi itu mendarat padanya. Jelas, pria itu bukan rakyat biasa. Dari penampilan luar saja sudah jelas bahwa pria itu adalah bangsawan. Memikirkan hal itu saja membuat Ibu Mika memucat.
"Aku Aegis Phartenos. Aku datang kesini untuk membicarakan tentang suatu hal."
Pandangan mata yang mengintimidasi itu tak pernah goyah dari mata Ibu Mika. Itulah mengapa ia harus menelan ludah berkali-kali hanya untuk mengucap sebuah kata untuk menimpali kata-kata Aegis.
Tapi tunggu, Aegis Phartenos?
Tiba-tiba raut muka ibu Mika berubah menjadi seputih kertas. Ah, tentu ... siapa yang tidak senam jantung saat ia baru menyadari orang yang sedari tadi berbincang dengannya adalah seorang penguasa Wilayah Barat?
"A-Anda ... Lord Aegis??"
Walaupun jawabannya sudah jelas, namun entah mengapa hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya. Di sisi lain, pria itu hanya diam dan mengamati lalu mengangguk samar. Seketika itu pula ibu Mika langsung bersujud di depan sang pria.
"Ma-maafkan kelancangan hamba, Tuan! Hamba siap-"
"Ibu! Kenapa Ibu bersujud?! Ayo bangun, Bu! Kita bersujud pada Dewa Mikhail! Bukan manusia!"
Mika yang baru saja keluar dari kamar langsung membantu ibunya untuk berdiri, namun ibunya menolak.
"Mika, bersujud dan beri hormat!" Tolak ibunya, seraya membujuk Mika untuk memberi hormat. Tentu, itu membuat Mika semakin marah.
"Kenapa Ibu?! Dia hanya manusia!! Kenapa-"
"Nona, siapa namamu?" Suara Lord Aegis memotong protes Mika.
Mendengar pertanyaan dari Lord Aegis, Mika langsung mengalihkan pandangan pada pemuda tampan yang duduk dibseberangnya. Menatap sang penguasa dengan penuh amarah. Ia tidak tahu, pandangan Lord Aegis tak teralih darinya, mengagumi pesonanya. Dengan yukata polos berwarna biru dengan rambut yang diikat seadanya, bahkan tanpa riasan wajah pun gadis itu tetap memesona.
"Bukankah seharusnya pria yang memperkenalkan diri terlebih dahulu?" Mika tersenyum mengejek. Mendengar jawaban putrinya, Ibu Mika langsung mengucap beribu maaf agar nyawa anaknya diampuni.
"Tuan! Tolong maafkan putri hamba! Jika Tuan ingin menghukum, hukum hamba! Asal jangan putri hamba!" Ibu Mika menangis tersedu-sedu sambil tetap bersujud. Mika hanya menatap keduanya heran. Siapa pemuda ini? Kenapa ibunya sangat menghormatinya?
"Tenanglah, aku tidak akan menghukum siapapun. Berdirilah, Nyonya."
Mendengar kemurahan hati Lord Aegis, Ibu Mika pun mengucap terima kasih sebelum kembali duduk di kursinya. Di sisi lain, Lord Aegis berdeham dan mengalihkan pandangan pada Mika. Sementara sang gadis hanya bisa mengernyit bingung.
"Aku tidak tahu bahasa isyarat, Tuan." Mika mendengus kesal sebelum melipat kedua lengan di depan dadanya.
"Kau juga duduk, Nona," ucap Lord Aegis, begitu lembut.
Sepertinya kali ini Mika luluh dan memilih duduk di sebelah ibunya. Memilih untuk diam seraya mendengarkan Lord Aegis mengawali pembicaraan.
"Aku Aegis Phartenos, Great Knight kedua Kerajaan Phartenos."
Mendengar nama itu, Mika langsung memucat. Ia tak menyangka orang di depannya itu adalah kesatria legendaris di wilayah barat. Betapa bodohnya dia! Dia bahkan tidak yakin kepalanya akan selamat setelah ini. Melihat perubahan ekspresi Mika, Lord Aegis langsung bisa menebak apa yang ada di kepala Mika.
"Jangan khawatir, Nona. Aku tidak suka memenggal kepala gadis."
Walaupun Lord Aegis mengucapkan dengan raut datar, namun entah mengapa pipi Mika tetap terasa panas. Gadis itu hanya bisa menjatuhkan pandangan ke pangkuan dengan rasa malu yang teramat sangat.
"Kami datang untuk membicarakan tentang desa kalian, akan sangat di sayangkan jika desa kecil yang indah ini ditaklukkan dengan peperangan. Maka dari itu kami kemari untuk berunding, kami tidak akan menyerang desa kalian asal kau dan juga orang-orang di sini menyerahkan desa kalian ke Phartenos."
Baik Mika maupun ibunya melebarkan mata. Menyerahkan desa bukanlah hal yang bisa disetujui begitu saja. Tapi jika Ibu Mika menolak, pasti akan jatuh banyak korban. Jika ia menyerahjkan desa pada Phartenos, apakah negeri itu bisa dipercaya? Menipiskan bibir, Ibu Mika tak menyangka semua akan menjadi serumit ini.
"Kami berjanji tidak akan mengusik desa ini jika kalian menerima tawaran kami. Desa kalian akan tetap ada, hanya saja desa kalian termasuk wilayah Phartenos. Phartenos juga siap mengirim bantuan jika memang diperlukan. " Lord Aegis meneruskan kata-katanya.
Ibu Mika menatap lekat pada Lord Aegis. Bisakah ia mempercayai pria itu?
"Apa kalian bersumpah tidak akan menyakiti siapa pun di desa ini?"
Lord Aegis membungkuk, tangan kanannya yang ia letakkan di depan d**a. Itu isyarat tubuh untuk kata "iya" di wilayah barat. "Aku berjanji atas nama Phartenos."
Tidak ada gestur mencurigakan dari Lord Aegis. Ibu Mika bahkan tak melihat keraguan atau kebusukan dari tatapan Lord Aegis. Menghela napas, wanita paruh baya itu pun mengangguk.
"Baiklah, kami akan menerima tawaran Anda."
Mendengar persetujuan ibunya, Mika langsung tersentak. Ia tak menyangka bahwa Ibunya akan menuruti kata-kata Lord Aegis.
"Ibu!! Bagaimana bisa Ibu menyerahkan desa kita untuk orang Barat!! Kita orang Timur!!"
Helaan napas kembali terdengar. Ibu Mika pun membelai kepala putrinya dengan penuh kasih sayang.
"Mika, kalau pun kita menolak dan memilih untuk berperang, kita hanya akan berakhir di tangan mereka dengan banyak korban. Kau mau para penduduk desa dibunuh? Ibu hanya melakukan yang menurut Ibu adalah cara terbaik."
Mika hanya bisa menggigit bibir, menahan kekesalan yang membuncah di d**a. Bersyukur, gadis itu kembali terdiam walau Ibu Mika pun tahu kalau putrinya memendam amarah. Beberapa detik berikutnya hanya keheningan, sampai saat Ibu Mika menanyakan hal penting yang terlupakan.
"Tapi tunggu dulu. Saya ingin menanyakan satu hal lagi. Apa Phartenos bersekutu dengan Ikaros?"
"Kami tidak akan sudi berpihak pada kerajaan terkutuk itu"
Sangat jelas, terlihat kebencian di mata mereka berdua ketika menyinggung negara Ikaros. Ibu Mika pun mengembuskan napas lega. Senyum tulus pun merekah di bibir sang wanita paruh baya.
"Terima kasih atas tawaran Anda, Tuan. " Ibu Mika membungkuk hormat. Yang ia dapatkan hanya anggukan pelan dari Lord Aegis.
Sebelum salah satu dari mereka kembali mengawali perbincangan, Mika menyela dengan pertanyaan yang tak terduga. "Kenapa dua orang di sebelah Anda tidak berbicara?"
"Mereka boneka, kalau mereka tidak aku perintah bicara, mereka akan tetap diam." Entah mengapa Lord Aegis kagum saat ia mendengar pertanyaan Mika. Gadis itu tajam juga.
Mendengar penjelasan Lord Aegis, Mika langsung mendekati salah satu boneka dan di amatinya lekat-lekat. Raut polos itu tak henti menatap dengan raut penuh kekaguman, yang menurut Lord Aegis terlihat sangat imut.
"Hebat! Bagaimana cara membuat boneka ini?"
Entah mengapa Ibu Mika merasa sangat senang mereka berdua lebih dekat. Layaknya amarah dan kekesalan Mika telah teralihkan oleh sepasang boneka manusia. Entah apa yang dipikirkan Lord Aegis juga, mengapa dia menanggapi ocehan Mika yang tak ada habisnya. Bahkan saat matahari terbenam mereka belum selesai mengobrol. Ibu Mika sudah memperingatkan, namun Mika tetap saja mengoceh tanpa henti. Ah, putrinya memang sangat keras kepala.
"Ternyata kau tidak terlalu buruk, paman!"
Mendengar kata-kata Mika, Ibunya menyemburkan teh dan terbatuk-batuk. Ia langsung mengomeli Mika.
"Mika! Jangan lancang pada Lord Aegis!! Panggil Anda bukan kau! Tuan bukan paman!"
Mika hanya mendengus kesal pada ibunya. Memang secara fisik Mika terlihat sudah dewasa, namun entah mengapa kelakuan gadis itu masih saja kekanakan.
"Mika...." Suara berat Lord Aegis memanggilnya.
Seketika itu Mika menoleh dan mendapati Lord Aegis yang tersenyum tipis. Mungkin jika penghuni Phartenos melihatnya, mereka pasti akan sangat terkejut karena Lord Aegis tidak pernah tersenyum.
"Berapa umurmu?"
Mika mengedipkan mata beberapa kali. "Tu-tujuh belas tahun ... Ka- maksudku, Anda?"
"Dua puluh delapan tahun."
Mendengar jawaban Lord Aegis, Mikapun tertawa. Sedangkan Lord Aegis hanya diam dan menaikkan kedua alisnya. Apakah ia salah menyampaikan?
"Berarti anda memang paman!" Ucap Mika, santai.
Ibunya kini hanya bisa menepuk jidat dan menggeleng. Sungguh, sebuah mukjizat karena ia dan Mika lolos dari hukuman. Tak beberapa lama kemudian Lord Aegis berdiri dan berjalan ke arah pintu. Mika yang dari tadi tertawa kini menghentikan tawa. Ia mulai cemas, apa Lord Aegis marah??
"Apa anda marah?" Tanya Mika, gelisah. Namun Lord Aegis hanya berhenti dan diam di depan pintu tanpa menoleh ke arahnya.
Mika akhirnya melangkah, ke depan tepat di belakang Lord Aegis. Menatap punggung yang tegap dan kokoh berbalut jubah yang menari dengan embusan angin.
"Maafkan aku, aku hanya-"
Belum sempat Mika meneruskan kata-katanya Lord Aegis sudah berbalik,membungkuk dan mengecup pucuk kepalanya. Menghirup aroma bunga mawar yang melekat di rambut sang gadis cantik. Mika diam tak bergerak, matanya hanya melebar dan menatap d**a Lord Aegis yang ada di depannya, terlihat sangat kokoh. Ia bahkan mulai menikmati aroma mint dari Lord Aegis. Entah mengapa ia merasa damai ketika pria itu menyentuhnya.
Ibu Mika hanya ternganga, terpaku dari kejauhan ketika Lord Aegis mencium pucuk kepala putrinya. Setelah beberapa lama kemudian, Lord Aegis melepaskan Mika yang masih tertegun. Ia berdiri di depan Mika dengan tatapan penuh misteri. Mika mendongak, karena tingginya hanya sebatas d**a Lord Aegis.
"Aku akan kembali lagi. Sampai jumpa." Dengan kata-kata terakhirnya, Lord Aegis membungkuk memberi salam pada Mika sebelum ia berlalu. Lord Aegis menoleh ke arah Mika sekali lagi sebelum ia memacu kudanya dan menghilang di telan kegelapan malam.
"Apa dia sedang bercanda?"
Mika menyentuh ujung kepalanya yang tadi dicium oleh Lord Aegis sembari masuk ke dalam rumah. Ibunya hanya berdeham. Ia juga bingung kenapa hal itu bisa terjadi. Seorang Knight legendaris seharusnya tidak bertemu dan bergaul dengan sembarang orang. Entah apa yang Lord Aegis pikirkan.
***
Benteng perbatasan Phartenos.
"Aegis, kemana saja kau??" Seorang pria dengan jubah biru, menghampiri Aegis yang sedang mengikat kudanya di istal. Tatapan tak berubah ketika menoleh ke arah sang pemuda..
"Kratos, aku menyelesaikan urusan di desa itu. Mereka setuju dengan usulan kita." Aegis menjelaskan sembari melangkah ke dalam benteng.
"Kau serius?? Tanpa perang??"
Pria itu menggoyang-goyangkan tubuh Aegis dan tersenyum lebar. Aegis yang merasa terganggu hanya bisa menggangguk dan menyingkirkan tangan Kratos yang bertengger di bahunya. Ia lalu melangkah ke bangunan kokoh berwarna putih yang memang terbuat dari marmer khas Phartenos. Bangunan itu malah terlihat lebih seperti kastil dari pada benteng. Sangat indah dengan ukiran-ukiran di sepanjang dinding lorong.
Tak lupa, patung-patung knight menghiasi di kanan kiri lorong. Menghentikan langkah, Lord Aegis berdiri di depan pintu besar. Ia pun mendorong pintu itu lalu memasuki ruangan. Ruangan dengan meja yang sangat besar dengan enam kursi berhadapan dan satu kursi besar di ujung meja. Ya, itu untuk tujuh Great Knight Phartenos. Negara yang dipimpin oleh tujuh kesatria legendaris. Bahkan tanggung jawab bagian negara di bagi menjadi tujuh, yang semuanya nantinya berpusat di perintah Great Knight pertama Phartenos.
"Great Knight kedua Phartenos, Aegis Phartenos, menghadap." Aegis membungkukkan badan, menghormati semua Great Knight yang sudah hadir.
"Kau terlambat, Kak Aegis." Seorang bocah berkomentar atas kedatangan Aegis yang memang tak seperti biasanya. Aegis tidak pernah terlambat mengikuti pertemuan sebelumnya.
"Maafkan aku."
"Baiklah, kau boleh duduk. Mari kita mulai rapatnya."
Pria dengan rambut pirang panjang mengisyaratkan Aegis untuk duduk di sampingnya. Dia tak lain adalah Great Knight pertama Phartenos, Mikhalios Phartenos, guru sekaligus ayah dari Aegis.
***
Suara burung bersahutan untuk memberi salam di pagi hari. Sinar matahari perlahan menyusup dari jendela, memamerkan kehangatannya. Mika sudah terbangun sedari tadi, mulai memasak dan menyiapkan sarapan untuknya dan ibunya. Ibunya selalu pergi ke kota untuk menjual bunga di pagi hari jadi ia harus bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan apa yang ibunya perlukan. Mulai dari makan siang sampai gerobak kuda yang akan ibunya gunakan untuk mengangkut bunga.
Seperti biasa, Mika memakaiyukata sederhana yang panjangnya hanya sebatas lutut, yang memang sengaja ia potong karena itu memudahkannya untuk bergerak, terutama ketika melewati jalan setapak ke kebun bunga ibunya.
Pagi harinya diawali dengan mengangkut pot berisi bunga-bunga yang akan dijual oleh ibunya. Tangan mungilnya berusaha mengangkat pot terakhir yang berukuran cukup besar. Beberapa kali ia berusaha mengangkat pot itu, namun ia tidak sanggup karena terlalu berat. Saat ia kembali mencoba mengangkat pot itu, tiba-tiba seseorang terlebih dahulu mengangkat pot itu dan menaruhnya di gerobak. Mika yang terkejut langsung mendongak. Ia pun mendapti sosok familiar yang menatap lembut padanya. Yang tak lain adalah Lord Aegis.
"Seorang gadis tidak boleh mengangkat benda yang berat."
Suara itu bagai nyanyian di telinga Mika. Gadis itu tersentak dari lamunan lalu membungkuk hormat pada Lord Aegis. Sungguh, kedatangan Lord Aegis begitu membuatnya kaget.
"Anda benar-benar datang?" Mika bertanya, heran. Bukankah seharusnya orang-orang seperti Lord Aegis itu sangat sibuk? Kenapa malah berkeliaran di desa kecil dan tanpa pengawalan?
Pria itu juga tidak memakai pakaian formal seperti kemarin, hanya mengenakan celana hitam dan kemeja hitam dengan dua kancing teratas dibiarkan terbuka, sedikit memamerkan dadanya yang bidang. Rambut hitam panjangnya pun agak berantakan, membiarkan beberapa anak rambut jatuh di depan wajahnya. Tidak seperti kemarin, rambutnya tersisir rapi ke belakang. Mika menoleh ke kanan dan kiri, ia bahkan tak melihat adanya kuda di dekat rumahnya, jangan-jangan Lord Aegis berjalan sampai desa? Mika terus berpikir, tak menyadari bahwa pemuda tampan dibdepannya sedang mengamati dirinya.
"Mika...." Lord Aegis memecah lamunannya.
"Ada apa, Tuan?" Kali ini Mika lebih bersikap sopan, setelah semalaman penuh ibunya mengomel karena sikapnya yang kurang sopan pada Lord Aegis. Walau Lord Aegis sendiri tidak keberatan, tapi Ibu Mika tetap harus mengajari Mika sopan santun.
Lord Aegis membungkuk, melihat kaki Mika yang penuh dengan luka goresan. Mika yang mengetahui Lord Aegis membungkuk menjadi gugup dan ikut membungkuk. Sang penguasa barat mengernyit ketika wajahnya sejajar dengan wajah Mika yang ikut membungkuk.
"Kenapa kau juga membungkuk?" tanya Lord Aegis, heran.
"Karena ... Anda membungkuk?" Mika tau posisinya jauh di bawah Lord Aegis, jadi dia tidak ingin menjadi orang yang lancang.
"Lupakan."
Lord Aegis berkata singkat seraya kembali berdiri. Namun tiba-tiba, ia menggendong Mika lalu membawa gadis itu masuk ke dalam rumah. Sukses membuat jantung Mika hampir melompat dari rongga d**a.
"Tu-Tuan, apa yang Anda-"
"Diamlah."
Gadis itu tidak tahu harus berbuat apa, bahkan kini badannya serasa mati rasa karena saking tegangnya. Mulutnya bahkan terasa sangat kelu tak bisa mengucap kata. Ia menutup mata dan meremas kemeja Lord Aegis. Bukti ia merasa begitu ketakutan. Oh, Dewa! Apa yang akan Lord Aegis lakukan padanya? Apakah ia akan mendapat hukuman kali ini?
Lord Aegis tahu gadis itu sedang ketakutan, namun ia memilih untuk mengabaikannya. Setelah keduanya masuk ke rumah, Lord Aegis mendudukkan Mika di kursi ruang tamu. Pria itu menghela napas ketika melihat wajah Mika yang memucat. Bahkan gadis itu masih menutup mata, saking takutnya.
"Buka matamu. Aku tidak akan melakukan hal di luar batas." Pinta Lord Aegis seraya membelai lembut rambut hitam Mika.
Perlahan, Mika membuka mata. Menatap Lord Aegis dengan sedikit keraguan. Tanpa di duga, Lord Aegis malah melemparkan senyum menawan. Membuat jantung Mika kembali ingin meloncat, pipinya pun mulai memerah.
"Di mana tenpat obat-obatan?" Lord Aegis bertanya singkat.
"Di belakang, di dekat lemari dapur." Jawab Mika tanpa menanyakan untuk apa Lord Aegis mencari obat.
Segera, Lord Aegis melangkah ke dapu. Beberapa saat kemudian pria itu datang sembari menenteng tempat obat dan juga sepotong kain. Ia melangkah ke arah Mika dan memberikan kain. Mika melihat ke arah kain lalu berganti ke arah Lord Aegis, tak tahu apa yang Lord Aegis maksud dengan memberinya sepotong kain.
"Aku lihat ada luka goresan di kakimu, akan aku obati." Lord Aegis menjelaskan, Mika hanya mengangguk pelan lalu menerima kain itu.
"Ini ... untuk membalut kakiku?" Mika mengernyit bingung. Lord Aegis mengamatinya sebentar, hingga akhirnya pria itu membuka mulutnya.
"Bukan, itu untuk...." Lord Aegis ragu untuk melanjutkan kata-katanya. Ia pun menunjuk ke arah pangkuan Mika namun ia tak menatap ke arah sana. "Kau membiarkaku membungkuk dan kau tetap duduk santai dengan pakaian minim milikmu?"
Pipi Mika memerah ketika mendengar teguran halus dari Lord Aegis. Dia segera menutupi paha yang setengah terekspos karena yukata-nya memang pendek. Setelah itu, Lord Aegis segera mengobati luka goresan di kaki Mika.
"Ibumu kemana?" Lord Aegis bertanya singkat sambil tetap mengobati luka gores di kaki Mika. Memang agak canggung, tapi Lord Aegis sendiri yang mempunyai ide untuk mengobati kaki Mika. Dan gadis itu pun tidak berani menolak.
"Ibu mengambil ramuan untuk bunga-bunga itu, agar lebih bertahan lama."
Lord Aegis tak bergeming mendengar jawaban Mika. Lagipula, dari awal itu memang pertanyaan untuk basa-basi. Setelah membalut kaki Mika dengan perban, Lord Aegis berdiri dan duduk di sebelah Mika. Mika lumayan terkejut dengan gerakannya yang tiba-tiba. Ia berpikir mengapa orang yang berkuasa di negeri besar seperti Lord Aegis sangat memperhatikannya dan juga desanya? Bahkan dia suka rela mengobati luka di kakinya. Bukankah itu aneh?
Mika terus berpikir, dan sepertinya Lord Aegis tau apa yang dipikirkan oleh Mika.
"Aku hanya merasa sayang jika kaki indahmu itu tergores." Pernyataan singkat namun berhasil membuat Mika memerah.
"Terimakasih, dan ... ngomong-ngomong, apa yang membuat anda datang lagi kesini?" Mika mencoba mengalihkan pembicaraan.
Lord Aegis menyipikan matanya. "Aku sudah berjanji. Apa aku tidak boleh datang ke sini untuk sekadar melihatmu?"
Lelucon yang lucu, pikir Mika. Ia hanya tertawa ketika mendengar jawaban Lord Aegis. Dia bahkan tak menganggap janjinya semalam dengan serius. Melihat Mika menertawakannya, Lord Aegis menggerakkan tangan untuk menelangkup pipi Mika. Tawa Mika berhenti dengan sekejap, tatapannya kini berubah menjadi tatapan bingung. Tapi tak hanya sampai disitu, Lord Aegis sekarang membuat jantungnya ingin meloncat. Bagaimana tidak? Kini wajah mereka hanya terpisah beberapa inchi.
"Tu-Tuan Aegis?" Suaranya Mika bergetar, Ia bahkan bisa merasakan embusan Lord Aegis. Mika berharap kepada dewa agar dia diberi perlindungan. Sekarang dia hanya bisa menutup mata. Berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi.
Namun, ketakutannya itu hilang dengan sekejap karena ia merasakan kepala Lord Aegis yang bersandar di bahunya. Lehernya merasakan napas hangat yang kian teratur. Tangan Lord Aegis perlahan jatuh ke pankuan Mika. Gadis itu diam sejenak, namun setelah itu ia tertawa geli.
Manik indahnya melirik ke arah Lord Aegis yang bersandar di bahunya. Lord Aegis benar-benar tertidur. Tangan mungilnya memeluk kepala Lord Aegis dan membenamkannya di d**a. Perlahan, ia pun membelai lembut rambut yang tergerai bebas milik sang penguasa barat.
"Ya ampun. Kalau Anda mengantuk seharusnya bilang dari tadi, Tuan." Mika tersenyum lalu mengubah posisi Lord Aegis agar lebih nyaman. Kini kepala Lord Aegis ada di pangkuannya. Sebenarnya ia ingin memindahkan Lord Aegis ke kamar, tapi tak mungkin ia memindahkan Lord Aegis sendirian. Setidaknya butuh 3 orang perempuan utuk memindahkan Lord Aegis.
Tangan mungilnya masih saja membelai rambut hitam Lord Aegis. Mungkin, Lord Aegis lelah karena tugasnya, jadi Mikamembiarkan Lord Aegis tertidur di pangkuannya. Entah bagaimana ekspresi wajah ibunya nanti ketika pulang. Mendapati anak gadisnya membelai-belai pria yang jelas-jelas tidak memiliki ikatan apapun dengannya. Terlebih lagi pria itu adalah salah satu orang yang berkuasa di negara besar.
Tapi tidak apa-apa, Mika siap menerima omelan ronde kedua dari ibunya.
***
Kastil Dielos, Kerajaan Ikaros.
"Setelah sepuluh tahun ia menghilang, kalian belum juga menemukannya?! Kalian mau kepala kalian aku pajang di alun-alun?! Cari!! Jangan kembali sebelum kalian menemukannya!!"
Pria berambut putih keabu-abuan dan mata perak, membentak beberapa orang yang kini menghadap. Mereka hanya menunduk dengan raut memucat. Segara, mereka memberi hormat dan pergi dari hadapan pria itu. Entah mengapa, pria itu terlihat sangat muram. Berbalik, ia pun kembali ke singgasananya.
"Irina, kemana kau pergi, Sayang?" Pria itu berguman sedih.
"Tenanglah, Yang Mulia. Kita pasti akan menemukan Putri Irina." Pria bermanik biru yang ada di sampingnya pun berusaha menenangkan. Namun semua itu tidak berhasil. Dan malah membuat sang penguasa Ikaros semakin geram.
"Kau bilang tenang?! Irina masih tujuh tahun saat ia menghilang! Kehidupan di luar sana sangat keras, Kagari! Aku bahkan tidak tau dia masih hidup atau tidak! Dia baik-baik saja atau tidak! Apa kau pikir aku bisa tenang?!" Pria itukembali muram, sementara pemuda di sampingnya hanya diam. Tak tahu harus bagaimana.
"Irina, aku merindukanmu...."
***