"Delapan belas tahun?!" Mika dan Ibunya membelalak kaget.
Setelah perdebatan di pasar berakhir, mereka kembali ke rumah Mika. Mengisi waktu luang dengan meminum teh di sore hari. Keadaan begitu sunyi, hingga Elgris memecah keheningan dan mengungkap fakta yang membuat Mika dan ibunya tercengang. Kenyataan bahwa dirinya bukanlah bocah berumur tiga belas tahun, melainkan remaja yang kini menginjak usia dewasa.
"Jangan terlalu kaget begitu. Aku memang masih imut. Berbeda dengan om-om di sebelahku."
Elgris masih tertawa riang walaupun ada benjolan besar di kepalanya. Hasil pelampiasan amarah Lord Aegis. Tidak ada yang menyangka sosok bocah kecil nan imut itu seumuran dengan Mika, malah lebih tua. Wajah Elgris benar-benar sukses menipu Mika dan sang ibunda.
Di sisi lain, Lord Aegis langsung melayangkan tatapan tajam pada sang adik tercinta. Tentu saja, ia menjadi sangat sensitif jika itu berkaitan dengan umur dan juga statusnya. Sayangnya, semua ekspresi ketidaknyamanan Lord Aegis malah membuat Elgris semakin senang. Entah bagaimana kakak-beradik itu menghabiskan waktu bersama. Kenyataannya, mereka terlihat seperti anjing dan kucing yang selalu bertengkar saat bertatap muka.
Sebenarnya Mika cukup terkejut ketika ia tahu bahwa Elgris adalah adik Lord Aegis. Keduanya bertolak belakang dalam segala hal. Dari segi fisik, Elgris lebih seperti bocah Wilayah Barat dengan rambut pirang dan mata biru, sedangkan Lord Aegis malah seperti kaisar timur dengan rambut dan mata sekelam malam. Elgris memiliki postur tubuh mungil dengan warna kulit kemerahan yang memang umum di Wilayah Barat, sedang Lord Aegis memiliki postur tubuh tinggi gagah, dengan warna kulit kuning langsat yang lebih umum di wilayah timur. Dari segi sikap, Elgris cerewet dan juga murah senyum. Berbanding terbalik dengan Lord Aegis yang ekspresinya seperti patung, tidak berubah-ubah dan tetap datar. Bahkan senyum pun langka, apalagi tertawa lepas seperti Elgris.
Sejujurnya, Elgris menyadari bahwa Mika memikirkan perbedaan mereka yang begitu mencolok. Ikatan darah antara dirinya dan sang kakak memang sangat wajar dipertanyakan. Karena dari segi mana pun, keduanya sama sekali tak memiliki persaman.
"Kenapa Mika? Apa kau heran dengan kami?"
Seketika, Mika tersentak. Tak menyangka Elgris bisa menebak apa yang ia pikirkan. Lord Aegis yang sedari tadi bungkam pun meletakkan cangkirnya lalu menatap Mika. Walau sang adik memang memiliki sedikit kewarasan yang tersis, Lord Aegis tak bisa memungkiri bahwa ia pun menyayangi Elgris.
"Kami saudara kandung, singkatnya Elgris mewarisi fisik dan watak ayah kami, sedangkan aku mewarisi watak dan fisik Ibu kami. Kata tabib, ada sesuatu yang salah dengan otaknya, jadi selamanya dia tidak akan tumbuh." Lord Aegis berkata enteng.
"Enak saja! Bukan otakku yang salah tapi hormon pertumbuhanku! Dasar om-om sialan!" Elgris menggembungkan pipinya, kesal.
Namun Lord Aegis tak mengindahkan protes dari sang adik tercinta. Pria itu lebih memilih untuk melanjutkan acara minum teh dengan damai. Sedangkan Mika hanya bisa menahan kekehan walaupun di dalam hati ia sangat ingin tertawa saat ia melihat tingkah Phartenos bersaudara.
"Terserah," ucap Lord Aegis, datar. "Lalu kenapa kau kesini, Elgris? Memata-matai gerak-gerikku?" Lord Aegis melempar tatapan tajam.
"Jangan berpikiran buruk dulu. Ayah mengkhawatirkanmu. Kau tahu? Dia selalu ribut dan menyakan keberadaanmu pada semua orang. Saat ia lelah, ia menyuruhku untuk mencarimu dengan manik berkaca-kaca," jelas Elgris.
Tidak ada yang menyadari semu merah yang terbentuk di pipi Lord Aegis. Baik dirinya atau Elgris memang dimanjakan oleh sang ayah. Tidak heran jika ayahnya panik saat tidak menemukan sang anak tercinta di benteng. Mika dan Ibu Mika pun tidak menyangka kalau Lord Aegis begitu dimanjakan oleh orangtuanya. Rasanya lucu saat membayangkan Lord Aegis menerima perlakuan seperti anak kecil dari ayahnya.
"Tak kusangka ayah Tuan sangat perhatian pada Tuan,” kekeh Mika. Sang ibunda langsung mencubit pelan lengan Mika. Mengisyaratkan sang gadis untuk bersikap sopan.
"Ia terlalu berlebihan. Padahal aku sudah mengatakan bahwa aku akan libur sehari. Ia juga begitu ketika Elgris terlalu jauh bermain." Lord Aegis kembali meminum tehnya.
"Oh, ya? Mungkin karena aku terlalu imut untuk ditinggal sendirian. Banyak yang ingin menculikku karena keimutanku. Aku heran kenapa Ayah mengkhawatirkan om-om yang bisa menjaga dirinya sendiri walaupun dibuang di neraka sekalipun," celoteh Elgris, membanggakan keimutannya.
Manik kelam melirik Elgris dengan jijik. Tingkat kepercayaan tinggi sang adaik adalah salah satu hal yang selalu membuat Lord Aegis kesal. Entah mengapa semakin usia Elgris beranjak, semakin pudar juga kewarasannya.
"Aku tidak pernah memintanya mengkhawatirkanku," ucap Lord Aegis dengan raut masam. Keduanya saling melemparkan pedang dari sebuah tatapan., sepertinya aliran listrik pun mulai merambat di antara kepala mereka berdua. Mika dan ibunya hanya diam melihat pertengkaran keduanya.
"Padahal mereka bersaudara, tapi kenapa bisa seperti itu, ya?” Mika terkekeh canggung.
Menyingkirkan masalah kakak-beradik Phartenos, Mika pun mulai mengalihkan pembicaraan. "Ibu, waktu aku ke toko bunga bersama Tuan ada orang aneh yang mengaku kalau aku adalah adiknya. Aneh, bukan?"
Lord Aegis yang mendengar kata-kata Mika, langsung mengabaikan Elgris. Fokusnya kini beralih pada tema pembicaraan yang baru. Namun, ia masih tak ingin terjun dalam pembicaraan. Bibir tipisnya masih bungkam, menunggu reaksi lebih lanjut dari kedua perempuan yang ada di depannya.
Berbeda dengan Lord Aegis, Ibu Mika menyangka bahwa semua itu hanya ulah orang iseng. Tak mau berpikiran negatif, wanita paruh baya itu pun hanya tersenyum. Tangannya mengambil cangkir teh di meja, bersiap menenggak cairan berwana hijau pekat.
"Oh, ya? Orang aneh macam apa yang mengaku bahwa kau adalah adiknya?"
Mika mengerutkan dahi, mencoba mengingat nama sang pemuda berambut perak.
"Kalau tidak salah namanya Kagari. Ah! Ya! Kagari Fioz ... siapa nama belakangnya, ya?"
"Alezar. Kagari Fioz Alezar," timpal Lord Aegis.
Mendengar nama yang di ucap Lord Aegis, Ibu Mika langsung terbatuk-batuk. Rautnya perlahan memucat. Jelas, Lord Aegis yang mengamatinya sedari tadi langsung menyadarii sebuah kejanggalan. Semua itu bukan hanya kebetulan, dan sekarang semua rantai takdir pun mulai terhubung.
"A-Alezar?" Ibu Mika berusaha menyembunyikan kepanikan.
"Ibu kenal dia?" tanya Mika.
Ibunya menggeleng cepat. Walau begitu, maniknya tak bisa menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Mungkin, hanya Mika yang akan mempercayai pengakuan sang ibu. Sedangkan Phartenos bersaudara kini mulai merancang rencana.
Lord Aegis melirik ke Elgris, mengisyaratkan suatu hal. Sang adik yang tanggap, langsung mengangguk pelan dan tersenyum. Memang mereka berdua sering bertengkar, tapi di saat-saat tertentu mereka menjadi sangat kompak. Kolaborasi antara Lord Aegis dan Elgris tentu tak akan mengecewakan.
"Mika, apa kau mau mengajakku berjalan-jalan dan menunjukkan pemandangan desa ini?" Elgris memecah keheningan dengan kata-kata ceria. Ia pun bangkit dan menarik tangan Mika. Membuat sang gadis mengernyit bingung.
"Eh? Ta-tapi…."
"Ayolah, aku sudah lama tidak berjalan-jalan. Walaupun sudah sore tapi tidak masalah, bukan?"
Dengan semua kata-kata manis, akhirnya Elgris berhasil membawa Mika menjauh dari Ibunya untuk sementara. Sekarang tinggal menyerahkan sisanya pada Lord Aegis.
***
"Aku rasa ada sesuatu yang kau sembunyikan, Nyonya Sisilia." Lord Aegis bertanya sebelum m menenggak teh.
Sang wanita paruh baya terdiam. Bibirnya menipis, menahan semua kegundahan. Sayangnya, ia tak akan bisa mengelabui penguasa Phartenos. Pri itu menyadari sebuah keganjilan, dan Ibu Mika tidak akan lepas sebelum semuanya terungkap.
"Mu-mungkin hanya perasaan Anda, Tuan," elak Ibu Mika.
Tidak mau percaya begitu saja, Lord Aegis pun mencoba untuk memancing Ibu Mika. Mencoba mendapatkan fakta yang sebenarnya.
"Aku tahu Anda meragukanku. Tapi aku berani menjamin rahasiamu aman di tanganku. Aku bisa menawarkan bantuan yang akan menguntugkanmu dan Mika. Jangan khawatir, Phartenos tidak bersekutu dengan Ikaros," jelas Lord Aegis, berusaha meyakinkan Ibu Mika.
Jika dipikir-pikir, apa yang dikatakan Lord Aegis memang ada benarnya. Ia tidak bisa menyimpan rahasia itu terlalu lama. Cepat atau lambat, Alezar akan datang. Sebelum itu terjadi, ia harus mencari tempat perlindungan yang bisa menahan serangan para Alezar dari Ikaros. Jika Lord Aegis tidak berdusta, maka semua itu adalah kesempatan emas bagi Ibu Mika.
Menatap lekat, Ibu Mika menelisik Lord Aegis. Pria itu tidak mendapat keuntungan apa pun jika ia membohongi mereka, bukan? Dengan begitu, kecurigaan Ibu Mika pun mulai berkurang. Apakah pertemuannya dengan pria itu adalah sebuah mukjizat untuk menolong Mika?
"Apa saya bisa memegang kata-kata Anda?" Ibu Mika menipiskan bibir. Menatap manik kelam Lord Aegis, mencari kepastian.
Lord Aegis menempatkan tangan kanannya menyilang di d**a, sebuah isyarat sumpah Phartenos. "Demi Phartenos, aku tidak akan mengingkari janjiku."
Ibu Mika menjatuhkan pandangan ke pangkuan. Bibirnya menipis, mempersiapkan diri untuk mengungkap segalanya. Setelah beberapa saat, wanita paruh baya itu kembali memfokuskan pandangan pada Lord Aegis. Untaian kalimat pun terucap. Namun, satu kalimat itu bahkan lebih dari cukup untuk membuat Lord Aegis membeku seketika.
Manik kelamnya membulat. Setelah itu, bibirnya menyunggingkan senyuman tipis yang langka.
"Tidak aku sangka. Firasatku selama ini benar."
***
Elgris dan Mika berjalan-jalan di padang bunga. Seperti biasa, Elgris berlari dengan manik berkilauan. Mika hanya tertawa geli saat melihat kelakuan sang bocah berambut pirang. Sungguh, semua orang pasti tidak akan percaya kalau Elgris lebih tua darinya. Dari segi fisik maupun tingkah, Elgris tetap terlihat seperti anak kecil.
"Mika! Lihat! Mawar ini berwarna-warni! Apa kau mengecatnya satu per satu? Di Phartenos tidak ada yang seperti ini!"
Elgris memetik sekuntum bunga mawar dan memperlihatkannya pada Mika. Gadis itu masih tertawa karena tingkah Elgris. Namun, saat wajah Lord Aegis melintas di kepalanya, senyuman Mika menyurut seketika. Apa Lord Aegis bisa tertawa lepas seperti mereka? Entah mengapa Mika merasakan sebuah kesedihan mendalam setiap kali ia menatap manik Lord Aegis.
"Ada apa, Mika?" Elgris membuyarkan lamunan Mika.
Gadis itu langsung menggeleng pelan. "Tidak. Tidak ada apa-apa."
Walaupun Mika menyangkal, Elgris tahu gadis itu sedang memikirkan sesuatu. Menghela napas, sepertinya Elgris bisa menebak apa yang Mika pikirkan.
"Memikirkan kakakku?"
Salah tingkah, pipi Mika kini bersemu merah. Elgris tersenyum simpul. Ia lalu duduk di rerumputan dan memandang ke arah padang bunga. Penandangan indah dilengkapi dengan sinar keemasan sang surya yang kembali ke peraduan. Bersamaan dengan embusan angin, sebuah kenangan masa lalu pun menyelinap. Menoreh kembali sebuah lubang yang telah lama sirna.
"Kata Ayah, dulu Kak Aegis itu anak yang ceria. Bahkan lebih ceria dari pada aku." Elgris berkata lirih.
Mika menatap heran sebelum duduk di samping Elgris. Entah mengapa, ia ingin tahu lebih banyak tentang Lord Aegis. Pria itu begitu misterius, hingga Mika pun tak mengerti orang seperti apa Lord Aegis yang sebenarnya.
"Lalu kenapa ia bisa menjadi seperti itu?"
"Ia kehilangan dua orang yang ia sayangi sekaligus." Elgris menatap sedih ke arah padang bunga. Mika menelan ludah, memberanikan diri untuk kembali bertanya. Namun, Elgris terlebih dahulu menyahut. "Itulah mengapa ayah kami sangat perhatian padanya. Semenjak Kak Aegis kehilangan ibu kami, ia berubah menjadi pendiam dan bersikap dingin. Itulah mengapa aku senang membuatnya marah, karena ia pasti akan menjawab ejekanku."
Cara yang aneh untuk berkomunikasi, tapi semua itu memang membuahkan hasil. Bersyukur, Elgris selalu berada di samping Lord Aegis. Hingga perlahan, Lord Aegis pun mulai melupakan rasa sakitnya. Walau tidak secara total, tapi Elgris bersyukur kakaknya sekarang menjadi lebih baik.
"Kau sangat menyayangi kakakmu." Mika mengatakannya dengan senyum lembut. Elgris menoleh, menatap manik bulat Mika.
"Tentu saja. Aku akan berusaha agar dia kembali seperti semula. Kakak selalu melindungiku saat aku kecil, dia malaikat penjagaku." Elgris tersenyum simpul, mengingat masa kecil yang ia habiskan bersama kakaknya tercinta. Sejenak, Elgris menatap langit yang kini bersemu merah.
"Mika," panggil Elgris.
"Ya?"
"Apa kau bisa berjanji untuk selalu ada di samping Kak Aegis?" Menoleh, Elgris menatap lekat pada Mika. Seolah mengisaratkan bahwa permintaannya tidak menerima sebuah penolakan.
Mika mengerjap, lalu tersenyum. "Tentu. Mengapa tidak? Dia Tuan-ku."
Layaknya Mika tidak mengerti apa yang Elgris maksud.
"Bukan. Bukan itu yang aku maksud. Maksudku sebagai orang yang mencintainya, orang yang selalu mendukungnya, orang yang akan berdiri di sampingnya sampai maut memisahkan," Elgris menatap penuh harap. Permintaannya memang terlalu konyol. Tapi hanya ini yang bisa ia lakukan untuk membantu kakaknya. Ia tahu Mika mempunyai ruang khusus di hati kakaknya tercinta. Sementara Elgris tahu sendiri bagaimana dinginnya Lord Aegis. Elgris khawatir kakaknya tidak bisa memikat Mika.
Saat itu Mika hanya bisa diam, mencerna kata-kata Elgris. Dan saat ia sadar apa maksud Elgris, Mika langsung tersenyum kecut. Bukankah itu permintaan yang terlalu berat untuk gadis desa semacam dirinya?
"Itu permintaan yang berat, dan sepertinya hanya Tuan yang bisa memutuskan siapa yang berhak berada di sampingnya," elak Mika.
"Aku percaya padamu, Mika," Elgris memegang tangan Mika. Seolah memohon pada sang gadis. "Aku ingin kau mengubahnya. Bukankah kau ingin melihatnya tertawa lagi? Aku juga!"
Gadis itu masih bungkam. Mengubah seseorang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi ia belum terlalu mengenal Sang Penguasa Phartenos. Mika ingin selalu berada di samping Lord Aegis. Tapi bukankah itu terlalu berlebihan? Akan lebih masuk akal jika ia menjadi bawahan atau pelayan Lord Aegis. Ia tidak mungkin mendapat posisi yang sejajar dengan Lord Aegis. Berdiri di samping pria sehebat Lord Aegis ... itu mustahil.
"Aku hanya gadis biasa. Aku tahu tempatku, berdiri di sampingnya? Itu mustahil. Tapi, aku akan mencoba untuk menjadi pelayan setianya, aku tidak akan mengkhianatinya," Mika berkata, tulus.
Berbeda lagi dengan Elgris yang terkekeh ketika mendengar jawaban Mika.
Gadis ini sungguh tidak peka. Tunggu saja sampai om-om sialan itu menerkamnya, batin Elgris, menyumpahi Mika.
"Yah, kita lihat saja di masa depan..." Elgris tetap terkekeh geli. Ia berdiri dan melangkah meninggalkan Mika yang masih menatap bingung.
***
Kastel Dielos, Kerajaan Ikaros
Pria berambut perak memasuki ruang takhta. Wajahnya semuram langit Ikaros. Kagari, kini menghadap raja Ikaros yang duduk di singgasana emas. Kursi kebesaran itu dilapisi beludru hitam, yang senada dengan jubah hitam yang ia kenakan.
"Kagari, aku sedang tidak ingin mendengar kegagalan lagi. Menyingkirlah," geram Bathory, sang raja Ikaros.
Alih-alih menyingkir, Kagari malah memberi hormat dan menatap Bathory. "Yang Mulia, saya kemari untuk menyampaikan bahwa saya telah menemukan Irina."
Bathory melebarkan mata, pria itu langsung bangkit dari singgasana. Menatap Kagari dengan penuh harapan. Akhirnya, setelah bertahun-tahun mencari, ada kabar baik tentang cintanya yang selalu ia nanti.
"Kau tidak berbohong? Lalu dimana Irina-ku sekarang? Aku merindukannya!" Ia tersenyum lebar sembari menghampiri Kagari. Tangan kokoh Bathory mengguncang-guncangkan tubuh Kagari dengan tidak sabar. Namun yang ia dapat bukanlah berita baik lainnya, melainkan tatapan Kagari yang penuh dengan penyesalan. Ia menyadari, itu bukanlah pertanda baik.
"Apa yang terjadi?" tanya Bathory, penuh selidik.
"Irina masih hidup, ia sehat-sehat saja. Walaupun ia tidak mengingatku," ujar Kagari.
"Wanita sialan itu pasti melakukan sesuatu sebelum dia mati!" Bathory menggeram marah, namun Kagari hanya tetap diam.
"Bukan, bukan itu yang menjadi masalah," sangkal Kagari.
Sekali lagi, Bathory menatap Kagari. Meminta penjelasan lebih. "Lalu apa masalahnya sampai kau tidak bisa membawanya kemari?"
"Irina bersama seseorang. Dia ... Aegis Phartenos, Great Knight kedua Phartenos." Kagari menggigit bibir bawahnya, cemas. "Ini akan sulit."
Seketika, wajah Bathory berubah. Mendung menaunginya, amarahnya pun tak terbendung. "Bagaimana bisa?! Dari sekian banyak manusia di dunia ini, kenapa harus si k*****t Aegis?! Ini tidak boleh dibiarkan! Pasti ini ulah ular licik Phartenos!"
Bathory tidak akan membiarkan Irina jatuh ke tangan Phartenos begitu saja. Lihat saja! Ia akan merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya dari tangan Phartenos!
***