Chapter 3 : Alezar dan Phartenos

2485 Words
  Lord Aegis masih memeluk Mika, maniknya menatap tajam pada sang tamu tak diundang. Pria itu tahu musuhnya bisa menarik pedang kapan saja. Perlahan, ia melepaskan Mika. Tak lupa ia memberikan kecupan singkat di pucuk kepala sang gadis. Mika tak menampakkan reaksi khusus, entah mengapa ia mulai terbiasa dengan perilaku aneh Lord Aegis. "Mika, jangan jauh-jauh dariku. Tetap dibelakangku, mengerti?" ujar sang pria bersurai kelam. Sang gadis tak mengucap sepatah kata. Walau begitu, ia tetap mengagguk paham. Perlahan, ia bersembunyi di belakang Lord Aegis, menatap punggung kokoh yang melindunginya. Mika hanya bisa berdoa agar tidak terjadi apa-apa pada Lord Aegis. Ia tahu pria yang ada di hadapan mereka bukanlah pria sembarangan ketika ia menyadari aura yang begitu kelam terasa sangat jelas. Pria itu menggunakan pakaian Wilayah Barat. Baik pakaian atau pedang yang menggantung di pinggangnya, semuanya berwarna perak. Seketika, Mika tersentak saat ia menyadari suatu hal. Pandangannya beralih pada sosok Lord Aegis. Dugaannya benar, Lord Aegis tidak membawa pedang. Lalu bagaimana caranya pria itu melawan musuh mereka? Menipiskan bibir, Mika merasakan dadanya begitu sesak hanya karena memikirkan kemungkinan buruk yang menimpa Lord Aegis. Tangan mungil Mika menarik lengan sang penguasa Barat. Sang tuan langsung menoleh. Saat ia menyadari raut Mika yang menyiratkan kekhawatiran, pria itu pun menghela napas dan menepuk kepala sang gadis. "Kita akan baik-baik saja. Jangan khawatir.” Mika hanya bisa mengangguk paham, berharap apa yang dikatakan oleh Lord Aegis bukanlah bualan untuk menyingkirkan kekhawatiran. Di sisi lain, sang pria berambut perak langsung melancarkan serangan. Tak kuasa melihat keduanya beradu, Mika hanya bisa memejamkan mata dan berdoa untuk Lord Aegis. Namun, beberapa saat kemudian keadaan kembali hening. Mika yang mulai heran pun memberanikan diri untuk membuka mata. Pemandangan yang tersuguh di sana mampu membuatnya ternganga. Lord Aegis masih berdiri di sana, tak bergerak sedikit pun dari posisi awalnya dengan pedang sang pemuda yang terhenti satu ruas jari dari leher Lord Aegis. Pria itu pun melebarkan mata. "Mu-Mustahil!" Pedangnya terhenti tanpa alasan khusus. Kakinya refleks mundur beberapa langkah, tapi sebilah pedang terlebih dahulu terhunus ke lehernya. Melirik ke belakang, ekor matanya mendapati Lord Aegis yang sudah berpindah tepat di belakangnya. Ia bahkan tidak tahu kapan Lord Aegis mendapatkan pedang, karena seingatnya pria itu sama sekali tak membawa satu pun senjata. Keringat dingin menetes di pelipis. Ia tak bisa bergerak. Buntu. Gerakannya kini terkunci. Dalam hati, ia tidak berhenti merutuk. "Bertarung tanpa memperkenalkan diri. Langsung menyerang membabi buta. Apa kau tidak punya adat?" Lord Aegis mencuramkan alis. Amarah sang pria berambut kelam kini membara, ia benar-benar kesal. Bahkan Mika pun ketakutan. Gadi itu tidak menyangka sang tuan bisa menampakkan sisi yang mengerikan. Bahkan manik sekelam malam itu kini menatap tajam, siap merajam siapa pun yang mengganggu mareka. Mika tidak ingin membayangkan tatapan itu berkolaborasi dengan tekhnik pedang Lord Aegis. Pria di depan mereka pasti akan berakhir di penggilingan daging. Di sisi lain, pria berambut perak yang berada di depan mereka masih bergeming. Sedikit yang tahu, pria itu sedang menyembunyikan kepanikan. Menjatuhkan pedang, ia mengangkat tangannya ke atas. Sebuah isyarat yang menyatakan bahwa ia telah menyerah. "Baiklah. Aku menyerah," katanya, datar. Sang penguasa Phartenos menurunkan pedang. Beberapa saat kemudian pedang itu berubah menjadi asap dan menghilang. Mika yang berada tak jauh dari sana, melebarkan mata. Baru kali ini ia melihat sihir yang begitu menakjubkan. "Sebenarnya aku pecinta damai." Ekspresi Lord Aegis mulai melunak. Sang pria berambut perak menaikkan sebelah alis, tidak mempercayai perkataan Lord Aegis. Bocah pun tahu, kata-kata Lord Aegis mengkhianati wajah dan auranya. "Baiklah. Sebut nama dan maumu. Aku akan mengampunimu kali ini." Lord Aegis masih tak menampakkan ekspresi yang berarti. Sementara pria di depan mereka kini memberi hormat pada dan memperkenalkan diri. "Kagari Fioz Alezar. Aku datang ke sini untuk mencari adikku yang hilang atas perintah Raja Ikaros, Bathory Fion Alezar." Mendengar pengkuan Kagari, Lord Aegis langsung mencuramkan alis. Kebencian menguar sempurna. Ingin rasanya ia mencekik Kagari saat itu juga. Sayangnya, ia harus menahan semua kekelaman yang mulai menggerogoti kewarasannya. "Aegis Phartenos, Great Knight kedua Kerajaan Phartenos." Kagari tak menyangka kalau orang di depannya adalah salah satu Great Knight di Phartenos. Ia yakin, wajahnya kini pasti memucat. Walau perintah sang kakak memang harus dijalankan, tapi jika ia harus berhadapan dengan salah satu penguasa Phartenos sedini ini, semuanya hanya akan menghasilkan kehancuran. Tentu, itu adalah kesalahan fatal. Jika sang kakak tahu, Kagari yakin lehernya tidak akan selamat dari cekikan maut sang kakak.  Walaupun Ikaros bukanlah negara yang lemah, tapi berhadapan dengan Phartenos bukanlah pilihan bagus. Phartenos sudah mempunyai nama di wilayah barat, semua itu akan menyulitkan Ikaros jika terjadi perselisihan yang tak diduga. Seharusnya Kagari memikirkan beberapa rencana untuk menghindari hal semacam ini terjadi. Layaknya ia harus mundur dan memikirkan kembali langkah yang harus ia ambil selanjutnya. Kagari menatap lekat pada Mika, namun itu malah semakin memacu amarah Lord Aegis. Pedang Lord Aegis pun kembali muncul dan kali ini tepat terhunus di depan wajah Kagari. "Alihkan pandanganmu dari Mika! Apa aku perlu mencongkel matamu agar kau tidak menatapnya seperti itu?!" Kali ini Kagari maupun Mika terkejut setengah mati. Bukan hanya gaya bicara, bahkan Lord Aegis terlihat sangat serius saat mengancamnya. Kagari tahu diri, ia tidak akan memprovokasi Lord Aegis lebih jauh. "Tuan, tenanglah. Aku hanya menyangka kalau gadis itu adikku yang telah lama hilang." Pedang Lord Aegis masih terhunus pada Kagari. Keringat mulai membasahi keningnya. Lord Aegis, sekali lagi melemparkan pandangan penuh nafsu membunuh yang sangat mengerikan. Kagari tahu, jika semua itu berlanjut, yang terjadi selanjitnya adalah bencana. "Mika," panggil Lord Aegis. "Kemarilah." Mika melangkah mendekati Lord Aegis. Keika jaraknya hanya tersisa beberapa langkah saja, Lord Aegis segera merengkuh tubuh mungil Mika, menenggelamkan Mika dalam pelukan. Setelah memastikan keamanan Mika, Lord Aegis kembali mengalihkan perhatiannya ke Kagari. "Kau salah orang. Kau juga tidak punya bukti atas hal itu." Lord Aegis menurunkan pedangnya. Sementata Kagari, memilih untuk diam. Memikirkan cara bagaimana ia bosa lepas dari Lord Aegis. "Mungkin ini terdengar konyol. Tapi kami punya ikatan persaudaraan yang kuat, jadi...." Kagari melemparkan senyuman. "Apa aku boleh memeriksanya? Siapa di tahu dia memang—" "Tidak boleh! Kau tidak boleh menyentuhnya dengan tangan kotormu. Dan lagi, kau telah melanggar batas wilayahku dan menyerangku tanpa alasan. Kau bisa saja di adili di Phartenos," ancam Lord Aegis. Kagari tersenyum kecut. Lord Aegis memang benar. Kagari menyerangnya tanpa alasan. Tapi sejak kapan desa itu jadi wilayah Phartenos? Bukankah desa itu wilayah bebas? "Ngomong-ngomong, Tuan. Setauku ini desa bebas. Sejak kapan menjadi wilayah Phartenos?" Kagari bertanya heran. Sisa kesabaran Lord Aegis kian menipis. Berdebat demgan orang macam Kagari, hanya membuang waktu indahnya dengan Mika. "Sejak kemarin," jawab Lord Aegis. "Kagari Fioz Alezar, aku sudah menahan amarahku kali ini. Bisakah kau pergi tanpa mengucap kata lagi? Sebelum aku berubah pikiran." Merasa sakit hati, Kagari pun memberi hormat dan menghilang begitu saja. Ia cukup tau diri untuk tidak mencari masalah dengan salah satu Great Knight Phartenos. Menyadari Mika yang masih ketakutan, Lord Aegis pun mempererat pelukannya pada Mika. Mencoba untuk menenangkan gadis mungil yang kini bersembunyi daam dekapannya. "Mika, tenanglah." Mika mendongak, melihat Lord Aegis dengan manik berkaca-kaca. Kedua tangan kokoh Lord Aegis menangkup pipi Mika. Tatapan Lord Aegis terasa sangat damai, tatapa yang bergitu berbeda saat pria itu menatap Kagari. "Maafkan aku, sebenarnya aku tidak ingin menampakkan sisi lain dari diriku padamu," sesal Lord Aegis. "Bukan, bukan itu yang membuatku takut. Aku takut jika ... aku kehilangan Tuan," bisik Mika dengan tatapan sedih. Tak peduli sekejam apapun atau semengerikan apapun Lord Aegis, Mika tidak akan pernah takut padanya. Karena Mika tahu, Lord Aegis bukan orang yang jahat. Ia lebih takut jika ia harus kehilangan Lord Aegis. Tak ada yang menyangka dalam waktu sesingkat itu, mereka bisa begitu akrab. Atau bisa jadi di dalam hati mereka sudah terikat satu sama lain. Entahlah, hanya takdir yang bisa menjawabnya.... *** "Mika! Kemana saja kau! Ibu menunggumu dari tadi!"  Ibu Mika, walaupun sudah tua namun tetap penuh semangat. Ia berkacak pinggang di depan toko bunga miliknya dan manatap Mika dengan tatapan garang. Tentu saja, yang bisa Mika lakukan hanya tersenyum kecut. "Ibu maafkan aku, tadi ada sesikit gangguan," elak Mika          ( Keiko Mika ) "Ah, kau banyak alasan," timpal Ibu Mika. Namun tiba-tiba sang wanita paruh baya itu mengernyit, saat ia melihat pria di belakang Mika. Entah mengapa pria itu terlihat familiar. Melirik ke arah Mika, ia pun meminta penjelasan. Beruntung, Mika menyadari isyarat sang ibunda tercinta. "Apa Ibu terkejut?" Mika menghambur ke samping ibunya dengan raut ceria. "Bukankah ia tampan, Ibu? Aku yang mendandaninya, loh!"  Mika tertawa bangga. Berbeda dengan sang ibu yang sekarang malah mencuramkan alis, lelah dengan kelakuan jahil putri terinta. Ibu Mika menarik tangan Mika dengan paksa, menatap sang gadis mungil dengan tatapan mengerikan. Seketika, nyali Mika menciut. "Kau mendandaninya? Oh, bagus sekali, Sayangku. Apa kau sudah lupa dengan ceramah ibumu pagi ini?"  "Ma-maafkan aku, Ibu. Aku...." "Papa!!"  Belum sempat Mika melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba seorang anak kecil berteriak dan berlari ke arah Lord Aegis. Bocah berambut pirang itu lagsung menghambur dan memeluk Lord Aegis. Jika dilihat dari umurnya, mungkin sekitar awal belasan tahun. Tentu, setelah itu semua mata memandang pada Lord Aegis dan sang anak kecil. Sementara Mika dan ibunya hanya bisa bergeming di tempat dan mengernyit heran. Menyadari gangguan yang paling merepotkan datang, Lord Aegis menghela napas pelan dan menggeleng heran. Belum sempat ia mengatasi satu masalah, masalah lain kembali menghampiri. Seorang pria botak yang menenteng sebatang kayu di tangannya datang dan menatap kesal pada sang anak kecil. "Dia anakmu, pak? Dia sudah makan di tempatku dan dia kabur tanpa membayar!" ujar sang pria botak. Alih-alih ketakutan, bocah itu malah tertawa riang sembari memeluk pinggang Lord Aegis dari belakang. Anak itu sepertinya tidak menyadari bagaimana situasinya sekarang. "Paman! Dia ayahku. Berikan saja tagihannya, nanti dia yang bayar. Jangan khawatir, dia punya banyak uang, kok!"  ujarnya, ceria. Mendengar semua itu, Mika langsung mengalihkan pandangan pada Lord Aegis. Lord Aegis punya anak? Berarti dia juga punya istri? Mencengkeram erat d**a, entah mengapa Mika merasa sesak. Di sisi lain, Lord Aegis bersusah payah menahan emosinya. Pria itu pun mengeluaran dompetnya, bermaksud membayar sang penjual. "Berapa?" tanya Lord Aegis. "Delapan puluh sin," jawab sang penjual."  Lord Aegis mengangkat sebelah alisnya. "Tuan, aku hanya punya mata uang res. " Sang penjual pun melenbarkan matanya. Sin adalah mata uang wilayah timur, sedang res adalah mata uang wilayah barat. Orang wilayah timur menganggap mata uang res hanya untuk bangsawan kelas atas. Maka dari itu hanya orang terpandang yang mempunyai mata uang res. Bahkan perbandingan keduanya pun lumayan menyesakkan. Satu res sama dengan sepuluh sin. Itulah mengapa banyak orang wilayah barat yang sekedar bertamasya ke timur. Tapi tidak sebaliknya. Lord Aegis mengeluarkan beberapa keping uang emas. Ia memberi sang penjual dua keping uang emas, namun sang penjual hanya diam membelalak.  "Aku rasa itu cukup. Maafkan atas kesalahan anak ini. Permisi." Lord Aegis berbalik dan meninggalkan sang penjual yang masih ternganga. Pria itu pun langsung melangkah menghampiri Mika dengan bocah berambut pirang yang mengekorinya. "Tuan," panggil Mika seraya menatap bocah pirang yang menarik-narik pakaian Lord Aegis. "Kau tadi kasih berapa?" tanya anak itu tanpa menghiraukan tata krama pada orang yang lebih tua.  "Lima puluh res," ia berkata datar, namun cukup membuat ketiga orang di dekatnya tersentak kaget.  "Apa?! Kau bahkan tak pernah memberiku sebanyak itu!" Bocah itu menggembungkan pipinya, kesal. "Lupakan. Yang lebih penting. Kenapa kau ada di sini?" Lord Aegis mengalihkan pembicaraan. Masih menatap bocah itu dengan tatapan kesal. Namun layaknya sang bocah tak menghiraukan tatapan mengancam dari Lord Aegis. Alih-alih ketakutan, bocah itu malah tertawa riang. "Kenapa? Tidak suka?" Bocah itu tak henti-hentinya menggoda Lord Aegis. Sabar adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan kondisi Lord Aegis sekarang. Namun tiba-tiba anak itu melihat ke arah Mika, mengamati sang gadis dengan manik birunya. Dan itu cukup membuat Mika salah tingkah.  Anak Lord Aegis. Berarti ia pun harus bersikap hormat. Mika pun melemparkan senyum sapaan. Entah mengapa, mengetahui Lord Aegis mempunyai seorang putra membuat d**a Mika terasa sesak. Tersenyum pun terasa sangat sulit sekarang.  "Ada apa tuan kecil?"    Di luar dugaan, anak itu tersenyum riang dan memeluk Mika dengan erat. Saat bocah itu mendongak, Mika bisa melihat manik polos sewarna langit yang berkilauan. "Kakak cantik sekali!" celoteh sang bocah. Mika tersenyum simpul lalu memposisikan dirinya sejajar dengan anak itu. Membelai lembut kepala sang bocah. "Tidak juga, pasti ibumu lebih cantik."  ibu anak ini, pasti istri Lord Aegis, batin Mika berpikir. Tentu saja, wanita yang menjadi istri Lord Aegis pasti sangat cantik. Mika menahan perih di dadanya.  "Aku ... tidak tau ibuku seperti apa. Tapi kata kakakku dia sangat cantik. Karena ayah juga sangat tampan," ujar sang bocah. Entah mengapa Mika menangkap sebuah kesedihan yang menyelio diantara kata-kata bocah itu. "Kau punya kakak?" tanya Mika. Sejenak bocah itu terdiam lalu mengangguk. "Hmmhmm, dia itu orang yang dingin dan tak pernah membelaiku. Berbeda dengan kakak cantik!" Bocah itu langsung memeluk leher Mika.  Mika hanya tertawa geli. Mungkin bocah itu kesepian. Namun entah mengapa saat ia menatap ke arah Lord Aegis, pria itu seakan melemparkan tatapan tidak suka pada sang bocah. Raut Lor Aegis bahkan terlihat lebih muram semenjak bocah itu menampakkan diri. "Elgris, pulanglah," kata Lord Aegis, dingin dan tajam.  "Elgris? Namamu?" Mika melepas pelukan, menatap ke manik sewarna langit sang bocah.  "Elgris Phartenos!" serunya, ceria. Membuat Lord Aegis menggeleng frustasi. "Tuan, kenapa tidak membiarkannya disini sebentar. Iia pasti sangat kesepian," pinta Mika dengan nada memohon. Namun layaknya Lord Aegis tidak setuju dengan usulan Mika. Terbukti, pria itu menarik Elgris dari hadapan Mika. "Aku akan mengantarnya pulang," ucap Lord Aegis, kesal. Elgris mengelak dengan menarik tangan Mika sebagai pertahanan. Bocah itu pun mulai merengek. "Tidak mau! Aku mau dengan kakak cantik!" "Tuan, jangan terlalu kasar dengan anak Anda," timpal Mika seraya melindungi Elgris. Mendengar ucapan Mika, Lord Aegis pun langsung tersentak dan melepas tangan Elgris.  "Aku  tidak akan sudi memiliki anak seperti dia!" Lord Aegis menggeram kesal.  "Tuan!" Tanpa disadari Mika memeluk erat sang bocah. Ia bahkan berani membentak Lord Aegis, dan semua itu layaknya membuat Lord Aegis sangat terkejut. "Kenapa Anda tidak memikirkan perasaan Elgris? Dia masih anak-anak, Tuan! Dia butuh kasih sayang seorang ayah dari Anda! Apa Anda tidak merasa malu pada istri Anda jika ia mengetahui perlakuan Anda pada Elgris?"  Mika menceramahi Lord Aegis. Ia tak menyadari bahwa semua mata tertuju padanya. Bagi sebagian besar orang, pertengkaran diantara sepasang kekasih memang tontonan yang seru. Tapi tidak untuk Lord Aegis yang mulai canggung dengan situasinya sekarang. Bahkan Mika pun tidak peka dengan keadaa sekitar. "Mi-"  "Apa?! Anda mau menolak?! Ternyata pikiranku terhadap tuan salah besar!" Belum sempat Lord Aegis meneruskan kata-katanya Mika memotong dengan kasar. Layaknya amarah sudah mengendalikan logikanya.  "Kakak, sepertinya kau salah paham." ujar Elgris, berusaha memberi pengertian. "Biarkan aku memperkenalkan diri lagi. Aku Elgris Phartenos, adik dari Aegis Phartenos." Elgris tersenyum ramah. Namun setelah mendengar penjelasan Elgris, Mika langsung membeku. Saat ia menyadari kesalahannya, wajahnya pun berubah seputih kertas. Ia yakin, ia tidak akan lepas dari hukuman Lord Aegis kali ini. "Ka-kau adiknya? Bukan anaknya? Lalu ... mengapa tadi kau memanggilnya...." Elgris tertawa riang lalu menoleh ke arah Lord Aegis. "Oh! Sebenarnya itu hanya lelucon. Aku hanya menggodanya karena selama ini ia tidak bisa mencari seorang gadis untuk dijadikan kekasih, apalagi menjadi ayah. Dua puluh delapan tahun dan ia masih perjaka. Bukankah pria itu terlalu naif? Hahahaha!"  Semua orang membeku mendengar kata-kata Elgris. Sungguh, hanya mulut kurang ajar Elgris yang berani lancang pada Lord Aegis. Mika bahkan melihat urat vena yang mulai mencuat di pelipis Lord Aegis. Mika tahu, Lord Aegis sedang menahan amarah. Tersenyum kecut, layaknya Mika harus meminta maaf pada Lord Aegis karena kata-katanya tadi. "Mika," geram Lord Aegis.  Mika tersentak, melihat ke arah Lord Aegis dengan rasa takiut yang menguar. "I-Iya, Tuan?"  Lord Aegis menatap Elgris dengan nafsu membunuh yang membara. Namun Elgris malah semakin tertawa riang. Tidak mengindahkan bahaya yang akan menerjang. "Kakak marah!! Hahahaha!" "Mika, aku akan menendangnya sejauh mungkin. Jangan halangi aku." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD