Jemputan Tak Terduga

1186 Words
Anindira mengerucutkan bibirnya, ia kesal bukan main dengan kedua sahabatnya ini, bagaimana tidak? Anindira hanya ingin nebeng pulang tapi mereka berdua beralasan tidak bisa dan yang lain-lain, lah. Mereka berdua, yakni Intan dan Gita seperti tidak mencontohkan bagaimana persahabatan sebenarnyam sudah lama sejak SMA. Tapi, sekadar menumpang pulang saja mereka beralasan. Apakah itu tidak menyebalkan? Tentu, menyebalkan!  "Ya elah... gue nebeng ya Ta, Ntan?" Anindira sedang membujuk Gita dan juga Intan untuk pulang bersama salah satu di antara keduanya. Ya karena hanya cara itu yang ia bisa. Percayalah, Anindira takut pulang dengan memesan taksi online atau transportasi umum lainnya. "Kan gue udah bilang kalau gue harus jemput emak gue, Nin," tolak Gita lagi-lagi dengan wajah merasa bersalah karena tak dapat mengantarkannya  pulang.  Iya, Anindira paham. Gita harus menjemput Ibunya yang sedang mengadakan arisan di tempat teman Ibunya. Ibunya terkenal garang, terlambat menjemput sedikit saja bisa-bisa Gita diomelin. Resiko anak satu-satunya. Tapi, bisa kan sebelum menjemput ibunya, Gita mengantarkan Anindira pulang lebih dulu? Memang dasarnya, Gita saja yang tidak mau. "Kalau gue gak bawa kendaraan, si Jodi yang anterin gue balik kan." Kali ini intan lagi yang beralasan. Semuanya beralasan tak bisa.  "Gue rasa, kalian emang nggak guna jadi temen," kesal Anindira menyindir keduanya. Intan dan Gita memasang wajah masam, mereka tak terima tapi mereka sadar jadi, mereka tak protes. Ngomong-ngomong, Jodi adalah pacar intan yang perofesinya sama dengan perempuan itu. Yaitu Dokter Gigi. Iya, mereka bertiga memang bekerja di rumah sakit swasta. Anindira sebagai Psikiater, Gita sebagai Dokter kulit dan Intan Dokter gigi.  "Kalau gini ceritanya, gue pulangnya gimana? Mana udah mau sore lagi," sedih Anindira sambil mendongak memandang langit yang mulai berganti warna karena cahaya matahari yang mulai menghilang.  "Bokap lo belum pulang dari kerja emang?" tanya Intan. Mengapa rasanya, ia jadi seperti anak Papi.  Anindira menggeleng, ia sempat mengirim pesan dan menelfon Mahesa. Tapi laki-laki itu mengatakan jika masih berada di kantor. Memang susah, jika kendaraan yang Anindira punya hanya satu. Terlebih lagi ia tidak bisa naik kendaraan umum.  Gita Menatap iba. Perempuan itu mengecek ponselnya karena dentingan beberapa kali terdengar dari benda pipih di genggamannya. "Guys, gue balik duluan ya, nyokap udah ngomel-ngomel nih. Gue takut jadi mangsa," ujar Gita sambil bergidik ngeri karena membayangkan ketika ibunya marah.  "Yaudah sana, gue nungguin Jodi, sekalian nemenin Anin." Gita mengangguk. Anindira diam saja, wajahnya ditekut dan tentu pusing sendiri harus bagaimana.  "Gue balik, ya." Gita berpamitan dan kemudian pergi meninggalkan Anindira dan juga Intan.  "Eh kenapa elo gak sama Dido aja, atau nggak sama Sultan? Atau mau gue bilangin?"  Mendengar saran yang terdengar konyol itu membuat Anindira menggeleng keras. Ayolah, Anindira bukan tipe gadis yang mudah percaya orang lain. Meski Dido dan Sultan, dulunya pernah menjalin hubungan dekat dengannya.  Dido dan Sultan juga satu profesi dengan Anindira. "Nggak usah! Apaan sih Tan. Lagian gue udah jarang komunikasi sama mereka. Gue juga males kalau mau komunikasi sama mantan," jelas Anindira.  "Emang mereka nganggep elo mantan?" ujar Intan terdengar seperti ejekan namun setelahnya terkekeh. Dendam apa Intan padanya?  "Ya bodo amat sih mereka mau nganggep gue mantan atau bukan," jawab Anindira santai.  "Iya deh iya. Jangan marah santai aja," ujar Intan. Ia tak mau membuat Anindira marah.  "Oiya. Lo kenapa nggak suruh Evano aja? Tetangga depan rumah lo?" seru Intan terdengar antusias.  Anindira melotot. "Sumpah lo gila ya Tan. Lo kan udah tau kalau dia musuh gue. Harus cerita apa lagi gue supaya lo tau kalau gue bener-bener nggak suka sama keberadaan dia." Anindira sedikit emosi karena pembicaraan mereka. Intan menghendikan bahunya. "Kalau gitu gue balik duluan ya, Nin. Sorry gak bisa nemenin lo." Intan menakup-kan kedua tangganya seoalah meminta maaf. "Ini Jodi baru aja SMS dan nyuruh gue buat nunggu di gerbang," lanjut intan, wajahnya menampilkan raut merasa bersalah. Sebenarnya Intan sangat ingin menemani Anindira tapi karena waktu juga sudah sore dan perempuan itu juga pulang bersama Jodi, jadi Intan tidak bisa melakukan apa-apa. Anindira menunduk lesu, ia pusing harus pulang dengan siapa. Apa harus ia memesan taksi online? Tapi Anindira takut jika diapa-apakan sama si supirnya. Atau ojek online? Minimal ketika di apa-apakan Anindira bisa loncat dari motor kan? Tapi Anindira menggeleng keras, Sepertinya ia harus naik angkot, setidaknya di dalam angkot lebih ramai. Anindira kemudian berjalan menuju jalan raya, menunggu angkot.  15 menit berlalu, angkot tak kunjung lewat. Perempuan itu justru mati kepanasan. Anindira memilih untuk jalan kaki, meski resikonya juga besar tapi mau bagaimana lagi tidak ada seorang pun yang bisa Anindira andalkan. Andai saja ia punya pasangan mungkin nasibnya tidak seburuk ini. Kakinya terhenti ketika sebuah mobil bewarna putih dengan bentuk dan merek yang tidak asing dimata Anindira berhenti tepat di depannya.  Evano keluar dari dalam mobil itu. Anindira terkejut lalu menghampiri Evano sebelum laki-laki itu menghampiri dirinya.  "Oli bekas, kok elo bawa mobil gue?" tanya Anindira sedikit emosi. Sambil memperhatikan mobilnya.  Evano melihat mobil di belakangnya sesaat. "Udah gue benerin tuh, ini kuncinya." Lalu Evano mengulurkan kunci di tangannya kepada Anindira. Ia sengaja,  enggan menjawab pertanyaan Anindira, ia benar-benar tidak mau ribut dengan perempuan itu.  Anindira mengambil dengan kasar kunci yang diberikan Evano. Matanya memincing memerhatikan laki-laki di depannya. Anindira berfikir sejenak, mengapa Evano punya pikiran untuk menjemputnya? Kalau di pikir-pikir, tidak mungkin Evano mau repot-repot menjemputnya saat laki-laki itu saja punya pekerjaan sendiri.  Ah pasti Mahesa yang menyuruhnya. Dan yang paling Anindira tidak suka adalah laki-laki itu justru hanya menurut saja dengan semua permintaan Mahesa. Tanpa menghiraukannya, Anindira langsung masuk kedalam mobil. Disusul Evano yang duduk di kursi sebelah Anindira. Ia terkejut, karena tidak disuruh, Evano justru masuk ke dalam mobilnya. Tanpa meminta izin.   "Eh! Ngapain lo duduk di situ?" tukas Anindira. Tentu dengan tatapan tak suka. "Ya kan gue mau pulang juga, tapi anterin gue sampai bengkel aja," jawab Evano sama sekali tak merasa tak enak karena sudah lancang. "Eh! Oli bekas, siapa juga yang mau nganterin elo!" ketus Anindira lagi. Berdiri di dekat Evano saja ia malas. Apalagi harus duduk di dalam satu mobil dengan Evano.  "Ya terus lo mau ninggalin gue disini?" Evano menatap Anindira sedih. Benar-benar, perempuan di dekatnya ini tak memiliki rasa iba padanya. Padahal, ia sudah meluangkan waktu untuk menjemput Anindira agar tak pulang dengan kendaraan umum. Meski tak sering mengobrol, tapi Evano tau Anindira tak bisa naik kendaraan umum. Tapi apa balasannya, Anindira tidak bilang terimakasih atau sejenisnya. Anindira mengangguk dengan mantap "iya! Cepetan lo turun."  Evano menekuk wajahnya, tidak menyangka jika Anindira setega dan sebenci itu padanya.  "Yaudah gue turun." Pasrah Evano lalu turun dari mobil Anindira.  Anindira merasa puas mengerjai musuhnya itu. Entah sejak kapan Anindira sangat kesal dengan Evano. Mungkin semenjak laki-laki itu tidak menepati janjinya, saat laki-laki itu lebih memilih bertemu dengan gadis yang baru Evano kenal dalam sehari dan melupakan pertemuannya dengan Anindira hingga Anindira harus terkena omelan Mahesa karena pulang malam. Padahal waktu itu ia menunggui Evano, menunggu Evano datang. Tapi laki-laki itu justru memilih gadis lain.  Tapi ya sudahlah, itu kejadian waktu SMP. Anindira bisa melupakannya tapi rasa kecewa dan rasa kesalnya masih ada sampai sekarang. Itu sebabnya, Anindira sangat membenci Evano.  Anindira menurunkan kaca mobilnya "Lo bisa pesen taksi onlen kan?"  Evano mengangguk "bisa, Lo balik aja."  Ternyata sejutek dan senyebelinya Anindira masih perhatian pada Evano. Evano berusaha menahan senyumnya.  "Oke deh, kalau gak bisa ya mending lo jalan aja. Lagian lebih pantes lo jalan," ujar Anindira lalu melajukan mobilnya tanpa menunggu Evano berbicara.  Evano mendengus kesal, Anindira ternyata tidak perhatian padanya Perempuan itu hanya ingin mengejeknya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD