Sang Pengganggu Ketentraman

1316 Words
Anindira lumayan masih dongkol perihal tadi pagi.  Tetangga satunya itu memang lumayan menyebalkan! Bukan lumayan lagi sih, tapi memang menyebalkan!  Anindira tidak pernah menyangka bisa bertetangga dengan orang seperti itu. Bayangkan, hal tadi pagi bukan pertama kalinya. Dan Anindira, sudah bertetangga dengan Evano selama 24 tahun. Jika dikira-kira masih ada 5 tahun yang akan datang ia bertetangga dengan Evano. Astaga, mana kuat Anindira kalau harus bertetangga dengan orang macam Evano.  Wajahnya menang tampan, bibirnya kalau dilihat-lihat itu seksi. Badannya tinggi, berbeda dengan Anindira yang mungkin hanya sebahunya. Evano kalau dilihat-lihat mirip sekali dengan Manurios. Salah satu selebgram di spanyol. Dulu Evano itu tidak begitu menyebalkan. Laki-laki itu justru bertingkah baik dan sangat menyenangkan terkadang juga perhatian dengan Anindira bahkan waktu SD mereka sering main dan menjadi teman akrab. Ya, sejak lahir mainnya memang selalu bersama. Karena teganggan jadi ibunya dan ibu Anindira berteman akrab. Bahkan sebelum ia dan Evano lahir. Itu sih, kata Mama Anindira.  Namun  ketika mereka SMP, Evano  justru bertingkah menyebalkan. Selalu membuatnya kesal dan selalu mengejeknya, tepos! Padahal kan, ia tidak terlalu tepos-tepos banget. Hanya saja, kurang berisi.  Saat Evano berubah dulu, Anindira sempat terkejut. Bayangkan aja, saat kamu sudah kenal lama dengan seseorang. Dimana sifat dan sikapnya kamu tau pasti. Tapi, tiba-tiba orang itu berubah. Nyesek tidak? Tapi yah, namanya juga manusia. Sewaktu-waktu bisa berubah, karena Sang Pencipta mudah untuk membolak-balikan hati ciptaanya.   Setelah berdebat dengan Evano,  Anindira langsung mandi. Setelah mandi dan berganti pakaian, Anindira mengecek tanaman bunga yang berada di halaman belakang. Ia kemudian menyirami satu persatu dengan air yang perempuan itu bawa sebelumnya.  Anindira memang suka mengoleksi aneka jenis bunga.  "Dira, kamu pagi-pagi bukanya olahraga malah nyiram bunga, sana keluar rumah itung-itung nyari pacar," omel Kaswari, ibu Anindira. Dira adalah nama panggilannya ketika berada dirumah. Perempuan itu meletakkan gayung yang ia pakai untuk menyiram, "Dira enggak berniat nyari pacar, Dira masih muda gak berniat buat pacaran." Bosan, itulah yang mendeskripsikan perasaan Anindira.  Memang sih, diusianya yang menginjak 24 tahun harusnya sudah mengandeng laki-laki. Ya setidaknya sebagai pacar. Tapi, Anindira sama sekali belum berpikiran seperti itu untuk saat ini. Ada trauma di masa lalu. Namanya trauma pasti menyakitkan. Kalau trauma kelapa ya, enak. Kaswari menonyor kepalanya. Kesal dengan jawaban Anindira. "Umur kamu tuh udah tua, bukannya nyari jodoh malah sibuk sama bunga." Tanpa diberi tahu pun, Anindira sudah sadar diri. Tapi mau bagaimana lagi.  Anindira tak habis pikir dengan pemikiran ibunya, lagian ini kan masih pagi.  Tidak mungkin kan kalau dirinya harus berkeliling kesana kemari mencari jodoh? Memangnya jodoh itu tulang roti! Jodoh itu seperti uang yanh hilang di jaman sekarang. Kalau nggak diambil buat beli mie ya masuk kotak amal. Pokoknya masih nyasar.  Lagipula,  Anindira orangnya cantik jadi tidak mungkin baginya untuk susah mencari pasangan, jadi nyantai saja lah. Alis tebal, bibir tipis, kalau cuma bikin laki-laki tertarik dan betah. Bibir tipis dan bodinya bisalah memikat mereka. Tapi kan, Anindira tidak mau laki-laki semacam itu. Mereka hanya melihat dari fisik. Bayangkan aja, kalau sudah tua. Muka keriputan, nanti yang ada Anindira diselingkuhi atau bahkan diceraikan. "Mama ini kenapa sih, Dira kan cantik pasti banyak yang suka lah, dan gampang buat Dira cari pasangan," protes Anindira lalu terkekeh karena ke pede-anya.  Kaswari menonyor kepala anaknya lagi karena terlalu percaya diri dengan kecantikannya. "Heh! Cantik itu bisa pudar! Lagian kalau kamu cantik dan banyak yang mau sama kamu kok gak satu pun cowok yang pernah kamu kenalin ke Mama?" Kali ini Anindira kalah telak. Bukannya tidak mau mengenalkan laki-laki kepada orang tuanya. Masalahnya, Anindira malu jika laki-laki yang ia kenalkan nanti ternyata tidak serius dengannya. Pernah kok, sekali dua kali ia membawa pulang ralat, mengenalkan laki-laki kepada ibunya. Hasilnya tetap sama, hubungannya kandas. Apa tidak malu Anindira? Jelas malu lah. Anindira mengibaskan tangannya. "Ah udah ah! Mama gak seru, Dira jelasin sampai kambing bertelor juga gak paham!" Anindira langsung pergi keluar rumah, entah kakinya akan membawanya kemana. Memang seperti anak-anak. Daripada menetap di dalam bersama ibunya. Nanti ibunya akan berkutbah kan bahaya. "Eh Nak Dira, mau kemana?" tanya ibu Evano dengan ramah sedangkan Anindira yang tak menyadari keberadaan Mita yang tengah menyiram bunga di halaman depannya, membuat Anindira sedikit kaget.  "Eh, Mau jalan-jalan pagi aja tante," jawabnya sambil tersenyum. Dengan Evano mungkin ia  bisa saja mengibarkan bendera perang. Tapi, dengan kedua orang tua cowok itu Anindira akan bersikap ramah. Lagi pula Ibu Evano dan ibunya sangat akrab, mereka juga sering mengadakan acara bersama.  Sama anaknya boleh 'say no' ibunya 'say yes!'  Toh, ada kesamaan antara ia dan Tante Mita. Yakni, sama-sama suka bunga. Mereka berdua terkadang membeli bunga jenis baru bersama. Mita bisa suka, karena bujukan Anindira. "Sini mampir rumah tante. Tante masak semur jengkol, loh." Tante Mita ini memang sangat suka memasak, tapi wanita itu tidak mahir dalam membuat kue seperti Kaswari.  Jika Mita mahir memasak makanan seperti lauk, Ibu Anindira mahir membuat kue. Meski begitu, ibu Anindira juga bisa memasak. Anindira bergidik. Ngeri, ketika mendengar kata jengkol. Dirinya tidak suka dengan makanan itu. Pernah mencicipinya sekali namun langsung Anindira muntahkan. Anggap saja, ia tidak semua olahan yang berbau jengkol. "Ah, iya tante lain kali Dira mampir."  Anindira harus menolaknya daripada keracunan. "Beneran kamu gak mau mampir, enak loh masakan tante." Mita memang selalu memaksa seseorang untuk makan masakannya. Wanita itu juga sering berbagi masakannya. Anindira menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia harus beralasan apalagi?  Selain karena tidak suka jengkol Anindira juga malas bertemu dengan Evano. "Hmm ... Lain kali aja tante. Lagian Dira udah sarapan tadi," bohongny dengan wajah meyakinkan.  Itu bakat terpendam yang Anindira miliki.  "Ya sudah kalau gitu, tante masuk dulu ya." Anindira mengangguk. Lalu ia melangkah masuk kedalam rumahnya lagi, sepertinya kakinya enggan membawanya kemana-mana.  Hari Minggu yang membosankan bagi Anindira. Semua sahabatnya pergi bersama pasangan masing-masing, sedangkan dirinya justru tanpa kegiatan dirumah. Mungkin ini akibat dari kesendiriannya. Sebenarnya banyak laki-laki yang suka dengan Anindira banyak juga para lelaki yang sudah menyatakan cintanya secara terang-terangan. Tapi ia  tidak tau apa yang menyebabkan dirinya sering kali gagal dalam menjalin hubungan, terakhir kali ia diselingkuhi.  Anindira pernah menerima pria yang bernama Dido. Laki-laki yang seprofesi dengannya. Tapi sayangnya, hubungan yang mereka jalani selama 5 bulan harus kandas karena Dido terlalu cemburu dengan pria-pria yang mendekati Anindira.  "Kamu tuh, gak ada kegiatan sama sekali. Hari Minggu bukannya nyibukin diri sendiri malah males-malesan," omel Kaswari lagi.  Sepertinya, di mana ada Kaswari di situ Anindira mendengar ceramah. "Ya, Allah kenapa emak gue bawel banget mulutnya!"  "Lagian waktu weekend buat Dira itu artinya waktu untuk bermalas-malasan," imbuh Anindira, mencoba membela dirinya. "Halah! Mending kamu contoh tuh Evano. Walaupun hari Minggu dia tetep kerja, rajin banget anak itu," kagum Kaswari. "Dih, ngapain sih bawa-bawa Evano, kek gak ada orang lain aja yang di jadiin perbandingan!" kesal Anindira.  Okelah, Anindira masih bisa terima jika tetangga yang lain yanh dijadikan perbandingan. Nah, ini Evano. Kenapa sih, kayaknya dunianya selalu satu lingkup sama laki-laki berjambul itu! "Ya tetangga kita yang anaknya seumuran kamu cuma Evano!"  Sepertinya, Ibu Anindira pikun mendadak. "Terus mama pikir si Asep gak seumuran sama aku? Jangan mentang-mentang mukanya keliatan tua ya Ma!" Berbicara dengan ibunya, memang selalu membuat Anindira mengeluarkan energi ekstra. Memang Asep salah satu tetangga mereka yang seumuran dengan Anindira memiliki wajah yang lebih tua dari umurnya. Mungkin, karena efek sinar matahari dan juga jerawat yang timbul terlalu banyak di wajah laki-laki itu, karena sebagai pekerja bangunan memang  sering berada di luar ruangan.  "Emang dia seumuran kamu?" tanya Kaswari penasaran seakan memang baru tahu.  "Iya Ma, lagian nih ya, dia tuh satu kelas Sama aku waktu SMP."  Anindira mulai senang dengan topik ini.  Kaswari mengangguk-angguk paham, seakam benar-benar baru tahu jika Asep seumuran dengan anaknya. Ia pikir Asep seumuran dengannya bahkan lebih tua.  "Asep kan juga  belum punya pacar ya, mending kamu sama dia aja."  Nah, ibunya kembali menyebalkan. "Dih apaan, lagian Mama tau dari mana kalau Asep jomblo?" "Ya, Mama gak pernah liat di boncengin cewek."   "Terus kalau menurut Mama dia nggak punya cewek gitu? Gimana dong kalau tukang ojek yang belum dapat penumpang? Apa Mama kira tukang ojek itu jomblo jug?!" kesal Anindira. "Lagian nih ya ma, Dira mau cari cowok yang jauh, males kalau tetanggaan," sambung Anindira.  "Nggak usah gaya-gayaan kamu. Jodoh ada yang ngatur!"  "Ya maka dari itu, diatur dari sekarang." Sayangnya Anindira tidak tau jika ucapanya bisa menjadi bumerang untuk dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD