Sepiring Jengkol

914 Words
Evano melepas helmnya ketika motor yang ia tunggangi sudah sampai rumahnya. Evano tak langsung masuk, matanya tak sengaja menangkap tetangga depan rumahnya yang lagi asik dengan bunga-bunga kesayangannya. Bukan hal langkah, Evano kerap melihat Anindira melakukan hal serupa. Terkadang, hal itu yang membuatnya heran pada Anindira.  Perempuan satu itu, lebih memilih mengurus tanaman bunganya dari pada statusnya yang masih saja menyendiri. Evano tau, karena ibunya pernah bilang padanya.  "Pantesan jomblo, bunga terus yang diurusin," gumam Evano sambil menggeleng dramatis. Seketika, benak Evano dihinggapi ide berlian. Mengganggu Anindira sepertinya cara yang bagus. Tidak tau mengapa, ia suka sekali mengganggu Anindira. "Eh, pantesan lo gak pernah di anter jemput cowok, ternyata cowok lu taneman!" Teriak Evano sambil terkekeh setelahnya. Anindira yang mendengarnya sontak melotot dan berkacak pinggang "Eh oli bekas! Kalau ngomong baca bismillah dulu, seenak jidat ngatain jomblo!" kesal perempuan itu dari seberang rumah Evano.  Evano semakin terkekeh. "Lah emang kan, lo gak pernah dianter jemput sama cowok lu. Apa tuh namanya kalau gak jomblo? Atau cowok lo gak punya kendaraan?" Ejekan Evano semakin menjadi-jadi. Anindira melempar sandalnya keras-keras ke arah Evano karena merasa sangat kesal dengan laki-laki itu.  Evano menghindar ke samping. "Eits...! Gak kena!" ejek Evano, menampilkan ekspresi wajah jeleknya. "Nih gue balikin!" Evano melempar kembali sandal Anindira asal, alhasil sandalnya mengenai pundak perempuan itu.  "Cowok bangke!" Buru-buru Anindira lari mengejar Evano, namun cowok itu justru lari kedalam rumahnya. "Awas lo!" ancam Anindira dengan kesal.  "Dira kamu ini kayak Anak kecil main kejar-kejaran, kalau suka tinggal bilang gak usah pake ngejar-ngejar segala," omel Kaswari. Selalu saja, Anindira yang kena batunya.  "Apaan sih ma, orang aku ngejar Oli Bekas karena dia yang mulai duluan," kesal Anindira sambil mengerucutkan bibirnya. Benar apa yang Anindira katakan kan? Bukan dirinya yang mulai lebih dulu. Tapi sih, Oli Bekas! "Halah! Mama pastiin kalian bakal saling suka!"  "GAK AKAN!" tolak Anindira mentah-mentah. Masalahnya, perkataan ibunya itu terkadang seperti sebuah doa. "Halah! Nggak usah ngelak kamu, Mama malah seneng kalau kamu nikah sama Evano, jadi Mama gak usah nyari tau seluk beluk menantu Mama."  "Mama apaansih, ngomongnya aneh-aneh aja. Lagian nih ya, Evano bukan tipe Dira!"  "Terus tipe kamu kek siapa? Kek Asep?" Kaswari terkikik geli sendiri. "Bukanlah! Yang kayak oppa-oppa Korea gitu, atau nggak kek Zayn Malik gitu."  "Jangan ngimpi dulu, kamu belum tidur nak!"  Anindira mendengkus sebal, emang apa salahnya jika tipe cowoknya seperti Zayn malik. Lagipula wajahnya juga seperti Gigi Hadid. Cantik, putih bersih. Hanya pada tinggi badan saja yang kurang maksimal.  "Udah, mending kamu bantuin Mama bikin kue, soalnya pesenannya mau di ambil besok pagi." Andai bukan Ibunya, Anindira sudah mengomel. Tadi dimarahi, sekarang disuruh-suruh.  Kaswari memang membuka orderan kue, entah untuk pernikahan ataupun acara yang lainnya. Dulu perempuan itu pernah bersekolah jurusan di tataboga. Anindira masuk dan berjalan di belakang Kaswari dengan malas-malasan. Ibu dan anak itu mulai menyiapkan bahan-bahan untuk kue yang akan mereka buat. Anindira cukup membantu meladeni ibunya, ia belum mahir jika harus membuat adonan. Karena kemahiran Anindira adalah di bidang psikiater. "Eh, anak sama istri Papa lagi sibuk rupanya," ujar Mahesa yang baru pulang dari kantor.  "Mas, udah pulang?" Kaswari langsung menghampiri suaminya. Anindira masih fokus pada adonan di depannya. "Enggak masih di kantor, ini rohnya," kelakar Mahesa. "Mas apaan sih ... Bukannya lucu malah nakutin." Mahesa hanya nyengir kuda.  "Pa, tumben gak pulang malam?" Kali ini Anindira yang bertanya.  "Iya, Papa mau me time sama kalian."  Anindira memutar bola matanya malas. "Yang namanya me time kan buat diri sendiri, Pa."  Mahesa menyengir kuda lagi "oh begitu ya?"  Awalnya Mahesa tidak kerja pada hari minggu, hanya saja ada rapat penting yang harus segera di rapatkan maka hari ini ia tetap bekerja walaupun hari libur.  "Anindira, kamu lanjutin ya, Mama mau ngurus Papa dulu."  Anindira mengangguk "iya Ma. Jangan lupa dipopokin juga Ma," celetuk Anindira mengguyoni orangtuanya. "Iya, sekalian Mama mau susuin juga," balas Kaswari geram. Anindira terbahak karenanya. Tiba-tiba hp Anindira berdering bertubi-tubi. Anindira kemudian mengeceknya, ternyata pesan group. Anindira berdecak kesal ketika beberapa teman seprofesi nya mengirim gambar liburan mereka.  "Enak banget kalau ada pasangan, gue dulu juga gini sebelum putus sama Dido," Anindira jadi mengingat masa-masa bersama Dido.  "Ah! Udah lah, lagian ngapain sih gue iri ngeliat mereka! Lagian rata-rata juga belum sah secara agama dan hukum." Anindira kembali kepada adonan kuenya.  Setelah menaruhnya dalam loyang dan memasukannya ke open Anindira duduk santai di kursi makan.  Ting Tung ... Ting Tung ... Anindira segera menuju pintu depan setelah mengelap tangannya.  Ting tung... Ting tung... "Sabar woi, ini lagi mau dibukain!"  Anindira terperanjat kaget ketika tiba-tiba Evano muncul saat ia membuka pintu. "Ambil nih dari nyokap!" Evano menyodorkan sepiring jengkol di tangannya secara kasar. "Anjir ngagetin lo!" Anindira mengambil piring di tangan Evano, perempuan itu langsung hendak masuk. "Eh eh! Main masuk aja lo!" protes Evano. Dahi Anindira mengkerut. "Apaan lagi?" Lo mau berantem sama gue?" tuding Anindira. Evano berdecak. "Heh! Lo dikasih makanan bukannya bilang makasih main nyelonong aja, terus itu piring emak gue balikin!"  "Eh Lo cowok tapi bawelnya kek emak-emak!"  "Bacot. Cepetan balikin piringnya!"  "Iya-iya sabar!" Anindira langsung masuk kedalam. "Ini!" Anindira menyodorkan piring di tangannya dengan kasar.  "Gitu doang?" Evano menaikkan sebelah alisnya.  "Makasih!" ujar Anindira ketus. Evano mengangguk lalu kembali kerumahnya. Anindira langsung menutup pintunya dengan keras. "Eh pelan-pelan bisa rusak itu pintu, Ra!" tegur Mahesa yang mengamati anaknya.  Anindira menyengir dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kemudian menuju kamarnya, kuenya sudah diambil alih oleh ibunya lagi oleh karenanya Anindira memilih ke kamar. Anindira merebahkan tubuhnya di kasur kesayangannya. Cukup letih hari ini. Ya, walaupun dia tidak melakukan apa-apa.  Di dalam posisinya sekarang, Anindira menatap langit-langit kamarnya. Memikirkan hal yang mungkin saja bisa merubah kehidupannya. Mengenal sosok laki-laki apakah mungkin akan merubah kehidupannya yang perlahan sekali suram ini. Mengapa diumur-umur seperti sekarang sangat sulit mencari jodoh. Untuk jatuh cinta saja harus berpikir dua kali. Satu hal yang menyebabkan Anindira seperti itu. Ia takut pada kegagalan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD