Boncengan

809 Words
Anindira menutupi hidungnya dan sesekali perempuan itu berlagak mual-mual karena bau jengkol yang menyengat di hidungnya. Berapa kali sudah ia memeringati kedua orang tuanya untuk tidak menyantap makanan itu. Tapi tetap saja, mereka tak mengindahkan apa yang Anindira katakan. Bayangkan, Ibu dan Ayah Anindira menghabiskan sepiring jengkol pemberian tetangga depan rumah mereka. Ibaratnya, rumah mereka baru saja di semprot dengan kentut. "Astaga ini bau jengkol kok gak ilang-ilang sih!" kesalnya sambil,  mengibas-ibaskan tangannya. Kaswari datang dari kamarnya. "Ada apa sih, Ra?" tanya Kaswari yang ingin tau perihal kekesalan anaknya.  "Ada yang pipis di dapur ya, kok bau jengkolnya astagfirullah." Anindira mengambil gelas, menuangkan air putih ke dalamnya. "Papa tuh, kencing di toilet dapur mungkin." Kaswari menunjuk suaminya yang sudah duduk rapi di kursi. "Udah ah, kalau gitu aku berangkat kerja dulu. Udah agak telat nih."  Anindira meletakan gelas dalam genggamannya ke atas meja. "Sarapan bareng dulu, Ra," bujuk Mahesa, Anindira menggeleng kecil. "Gak sempat Pa, ini aku udah terlambat loh," jelas Anindira, sambil melirik jam tangannya.  "Ya elah, lagian yang punya rumah sakit juga om kamu," ujar Mahesa lagi. "Iya, jadi terlambat dikit gak bakal dimarahin ataupun dipecat," timpal Kaswari, sambil mengambilkan nasi ke piring suaminya. "Tapi kan bukan berarti bisa seenaknya Ma, Pa."  "Udah sarapan dulu ah!" paksa Mahesa. Anindira mendengkus keras-keras. Akhirnya, Anindira mengangguk pasrah, ia kemudian duduk di sebelah Kaswari.  Anindira bekerja di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta, dan pemiliknya adalah adik dari Mahesa. Iabekerja sebagai dokter Psikiater, ya meskipun dia yang lebih pantas menjadi pasien. Setelah selesai, Anindira mengecek gigi-giginya lewat layar ponselnya. Takut-takut jika ada cabai nyempil, apalagi gigi Anindira gingsul, jadi kemungkinannya lebih besar. "Dira berangkat dulu ya Ma, Pa." Anindira menyalami tangan kedua orang tuanya kemudian melenggang meninggalkan dapur.  Perempuan itu bersiap menyalakan mesin mobilnya. Kedua alis Anindira bertautan ketika mobilnya tidak bisa dibunyikan. "Lah ini mobil kenapa, kok tiba-tiba gak bunyi sih? Mesinya Masih adakan?" gumamnya.  Anindira kemudian keluar dari mobil mencoba memeriksa apa benar mesin mobilnya masih ada, ternyata memang masih ada. Ia memandangi mobilnya dengan mata menyipit. Lalu apanya ya yang rusak?  "Kenapa, Ra?" tanya Mahesa mengagetkan Anindira.  Anindira menggeleng. "Nggak tau Pa, gak bisa nyala mesinya."  "Yaudah kamu pesen taksi onlen aja ya? Gak mungkin kan kalau papa yang anterin, kita beda arah soalnya."  Anindira menggeleng keras. "Nggak ah Pa, temen Dira pernah pesen taksi onlen terus tukang taksinya ngapa-ngapain temen Dira, Dira gak mau kalau sampai kejadian itu menimpa Dira." Yang dimaksud oleh Anindira itu si Intan. Katanya, Intan pernah di sesatkan dan supir taksinya hampir meminta Intan untuk memberikan semua barang beharga miliknya. Untung saat itu, ada orang yang lewat. Ahkir-ahkir ini memang banyak kasus seperti itu, bahkan teman seprofesi dengan Anindira pernah menjadi korbannya.  "Ya terus gimana dong?" tanya Mahesa bingung sendiri. Tepat saat deru motor memekakkan telinga keduanya, mata mereka langsung beralih menatap  Evano yang keluar dari halaman rumahnya dengan mengendarai sepeda motornya.  Mahesa seperti diilhami oleh ide cemerlang, pria itu lalu meneriaki Evano tepat pada saat itu, Evano menoleh dan mendekat pada Mahesa yang melambaikan tangannya "Kenapa om?" tanya Evano ketika sudah sampai di depan Mahesa dan Anindira.  "Om bisa minta tolong?" tanya Mahesa sedikit ragu. "Boleh dong om, apa emangnya?"  "Anindira nebeng sama kamu ya, soalnya mobilnya rusak, gak tau deh apanya. Nanti siang biar om bawa ke bengkel kamu."  "Boleh om, tapi Dira mau emang?"  "Ogah! Gue gak mau berangkat sama Oli Bekas!"  Lebih baik ia jalan daripada harus menebeng pada Evano. "Heh! Ya terus kamu kerumah sakit gimana? Mau merangkak?"  Omel Mahesa. Benar juga sih, apa yanh ayahnya katakan.  "Ya tapi kan gak sama dia juga, Pa!" Anindira memasang wajah cemberutnya. "Yaudah om, kalau Diranya gak mau, saya duluan." Evano bersiap hendak pergi. "Eh ... eh! Tunggu dulu nak Evan, Diranya mau kok."  Anindira melotot, namun ayahnya melototinya balik. Ahkirnya Anindira pasrah, perempuan itu mendengus kasar. Kalau bukan karena mobilnya rusak, sudah malas Anindira nebeng dengan Evano. Mau taro di mana muka nya ini? Untung hari ini ia tidak memakai dress atau apalah itu, untung ia memakai celana jadi lebih mudah jika harus dibonceng dengan motor. "Anterin gue dengan selamat, awas aja lo kalau ngebut!" ancam Anindira sambil mengacungkan kepalan tangannya.  "Bacot! Om kalau gitu kita pamit dulu ya, Assalamualaikum."  "Wa'alaikumsallam."    Ditengah perjalanan Evano mengerem mendadak mengakibatkan badan Anindira sedikit tersentak kedepan. "Oli bekas, lo bisa naik motor gak sih? Pake acara ngerem mendadak!" kesal Anindira. Evano tak menjawab laki-laki itu justru turun dari motornya. Ternyata Evano mengambil kucing yang hampir saja laki-laki itu tabrak jika tidak mengerem mendadak.  Evano lalu menaruh kucingnya ke tempat yang lebih aman.  Anindira tertegun dengan sikap Evano, ternyata cowok itu masih punya hati kepada binatang.  "Kenapa ngeliatin gue?" tanya Evano membuyarkan pikiran Anindira. "Kegeeran Lo! Udah cepetan ah, keburu telat gue!"  "Udah nebeng, banyak bacot lagi, kalau gue jahat gue bakal turunin Lo disini."  Anindira melotot dan langsung memukul punggung Evano, "Lo emang jahat, dan itu fakta."  "Serah Lo!"  Evano menyalakan mesin motornya dan mulai menjalankan sepeda motornya, laki-laki itu mengendarai dengan kecepatan tinggi.  "Oli bekas! Lo mau bikin gue mati?!" teriak Anindira. "Mangkanya pegangan!"  "Ogah!"  "Yaudah kalau mau jatoh!" Evano semakin mengecangkan kecepatan sepeda motornya.  Mau tak mau Anindira memegang pinggang Evano.  "Pasrah dah, daripada gue mati muda." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD