Chapter 13 : Keberanian

1022 Words
Karel merasa sangat aneh, kenapa kakinya malah bergerak sendiri ketika melihat ada orang yang sedang dalam bahaya. Seharusnya, ia membiarkan saja orang itu, kenapa harus dipedulikan? Namun, hatinya berkata lain, sehingga tubuhnya secara tidak sadar merespon dan bergerak. Sungguh, Karel tak menyukai ini, tetapi ia juga tak mampu menghentikan dirinya sendiri, seolah pikirannya diambil alih oleh hati nuraninya. Sambil berteriak frustasi, anak ini mempercepat langkah kakinya, melesat ke depan lalu melompat. Tepat setelah Karel berhasil mendorong pelayan Putri Rosemary ke depan, bola api raksasa menghantam tubuhnya. “Argh!” Karel menjerit, matanya kini ditutupi oleh kobaran api seperti milik Karel Gelap. Tubuhnya merasakan panas yang luar biasa, tetapi ia tidak hancur oleh hal itu. Debu kembali berterbangan, napas Karel begitu terengah, tenaganya terkuras habis, dan bajunya juga terbakar. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu bergejolak di dadanya, membuat ia menjerit begitu nyaring, “Argh!” Jaritan tersebut kian pelan, dadanya kian sakit membuat suaranya tersendat. Telinga Karel samar-samar mendengar ada yang memanggil namanya, tetapi ia sudah tak bisa bertahan lagi. Kesadarannya lenyap seketika ditelan oleh kegelapan. *** Beberapa saat sebelumnya, ketika Karel terkena serangan bola api, seketika Vilas melesat ke depan. Akan tetapi, sudah terlambat, sekarang Karel telah dibakar oleh bola api tersebut. Vilas lantas terdiam, lalu terdengar jerita keras dari dalam gumpalan asap.  “Karel!” Langsung saja Vilas masuk ke gumpalan tersebut, kemudian melihat Karel yang sudah tak sadarkan diri.  Pakaian anak laki-laki itu terbakar, tetapi anehnya tubuhnya tidak terbakar, begitu pula dengan rambutnya. Sejenak langkah kaki Vilas terhenti, dari tubuh Karel terpancar aura yang begitu panas, dan ia tak tahu aura apa itu. Namun, sesaat kemudian ia teringat pada sesuatu hal. “Gawat!” Vilas lantas menggendong Karel keluar dari gumpalan asap, membawanya ke air terjun di mana Karel pernah berlatih untuk mengalahkan dirinya yang lain. Sesampainya Vilas di sana dengan mengabaikan teriakan Putri Rosemary, Marvin, juga Tetua Frank yang sepertinya merasa bersalah, ia lantas membaringkan tubuh Karel ke atas air terjun. Tubuh anak itu terapung di atas air layaknya perahu, melihat itu, Vilas pun pergi ke darat sembari menghela napas lega. Vilas berdiri menghadap air terjun. Matanya kemudian melirik Karel yang masih terapung di atas air dengan keadaan tak sadarkan diri. “Hari ini kau harus menentukan jalan dan memahami dirimu sendiri, Karel. Kuharap kau tidak terseret ke jalan yang salah.” “Hei kau!” Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah belakang, Vilas pun langsung memalingkan pandangan karenanya. Ternyata itu adalah suara Putri Rosemary. Tepat di belakang gadis itu tentu ada Tetua Frank dan Marvin. “Maaf, karena aku dia jadi terluka ...,” ucap Marvin, pelan. Vilas hanya menggelengkan kepala, sembari kembali melirik ke arah air terjun. “Bukan salahmu, dialah yang memutuskan untuk menyelamatkanmu.” “Maafkan kecerobohanku!” Putri Rosemary juga ikut meminta maaf. “Tidak perlu,” lagi-lagi Vilas menjawab dengan tak acuh. “Selain itu, apa kalian ke sini hanya untuk meminta maaf?” “Tidak, aku akan meminta maaf padanya langsung nanti. Maka dari itu, aku harus menunggu di sini sampai dia sadar.” “Tapi, Putri ...,” Tetua Frank hendak membantah. “Ini salahku, sudah sewajarnya aku meminta maaf secara langsung. Kakek dan Marvin bisa kembali terlebih dahulu. Sepertinya Marvin juga terluka karena seranganku tadi.” “Saya baik-baik saja, Tuan Putri ....” “Marvin, ikuti saja perintahku. Katakan pada Ayah, aku akan pulang setelah ini, jangan khawatir.” Vilas jelas tahu motif Putri Rosemary ini, tetapi ia tidak ingin mengatakannya. Sebab, kalau dikatakan, sudah pasti suasana akan menjadi kacau lagi. Untuk itu, ia lebih memilih diam, berpura-pura tidak tahu. “Baiklah, Tuan Putri, jika ini keputusan Anda, Hamba akan patuhi,” ucap Tetua Frank sembari membawa Marvin pergi. Tampaknya adu mulut mereka telah berakhir, dan Vilas tak pernah peduli pada hal tersebut. Pria ini hanya diam, membiarkan angin berembus menerpa tubuhnya.  “Hei, kau, siapa namamu?” Vilas melirik Putri Rosemary sejenak, lalu menjawab, “Nama saya Vilas.” “Tak acuh sekali jawabanmu ....” *** Sementara itu, di dalam alam bawah sadar Karel, Karel terbangun lalu melihat air terjun yang sebelumnya pernah ia lihat. Seperti dugaannya, dari air terjun muncul dirinya yang lain, Karel Gelap.  “Akhirnya kau ke sini lagi. Apa kau sudah siap bertukar posisi denganku?” tanya Karel Gelap dengan arogan. Tentu saja Karel tak serta-merta marah dan menyerang. Ia masih tetap bersikap tenang tanpa mau mengambil pusing kata-kata provokasi dari Karel Gelap. “Kau takkan bisa melakukannya, karena aku masih ingin hidup.” “Heeh ... ternyata kau punya nyali untuk mengatakan itu ya? Baiklah, terserah, apa kau ingin bertarung lagi?” Karel terdiam sejenak, memutar otak, mencari cara bagaimana menyelesaikan semua ini tanpa perlu bertarung. Kini ia telah sadar, hanya kekalahan yang akan menanti dirinya jika bertarung. Akhirnya, setelah beberapa saat, Karel mencoba bernegosiasi. “Kita tidak bisa melakukan itu.” “Kenapa? Kau boleh menyerangku sesuka hatimu dengan kekuatanmu untuk mengendalikan duniamu ini ....” Karel Gelap lantas merentangkan kedua tangan. “Jangan anggap aku dapat jatuh ke jurang yang sama dua kali.” Lirikan mata Karel menjadi lebih tajam. Tapi, beberapa saat kemudian, ia menghela napas panjang. “Maksudku, mengapa kita harus bertarung? Kita dapat berteman saja, bukankah itu lebih baik?” “Berteman katamu? Kaupikir, aku akan mengiyakan hal itu dengan senang hati?” Ucapannya terjeda beberapa saat. “Jangan bercanda!” Segera Karel Gelap melompat ke depan menerjang Karel. Karel melompat ke samping, tetapi Karel Gelap lantas meluncurkan pukulan beruntun padanya. Mau tak mau, ia harus menahan semua serangan itu sembari mencari celah menyerang balik. “Mati! Mati! Mati! Mati! Mati!” Karel Gelap terus berteriak sembari melancarkan pukulan beruntun secepat mungkin. Keduanya terus memukul satu sama lain. Karel Gelap berhasil memukul wajah Karel hingga giginya patah. Tak mau kalah, Karel melancarkan tendangan, membuat tulang rusuk Karel Gelap patah. Karel mundur beberapa langkah, mulutnya kini berdarah karena giginya yang patah. Di depan sana, Karel Gelap memuntahkan darah segar, sepertinya dia menjadi kesal. “Kau ... aku akan membunuhmu sekarang juga!” Kobaran api lantas melingkupi sekujur tubuh Karel Gelap. “Takkan kubiarkan!” Karel mengayunkan tangan kanannya ke depan, membuat air naik ke atas dan membasuh habis sekujur tubuh Karel Gelap. Namun, kepalanya seketika menjadi sangat sakit usai melancarkan serangan itu. “Rasakan ini!” Karel terhempas ke air terjun karena tendangan Karel Gelap. Tak cukup sampai di sana, ia lagi-lagi dibanting ke dalam air, membuat tubuhnya menjadi semakin sakit. Dari sini, kembali lagi Karel merasakan kehampaan, apa yang dilihatnya adalah kekosongan tanpa batas. Kian lama Karel merasakan semua kehampaan itu, mendadak saja ia teringat pada sesuatu hal. Ini sama saja seperti sebelumnya, saat di mana ia merasa kesepian hingga akhirnya tiba di daerah aneh ini. Dalam benaknya, ia ingat benar dengan suara yang memanggilnya waktu itu. “Bocah!” Suara tersebut seperti terdengar oleh telinganya, tetapi hal tersebut hanya di pikirannya saja. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD