Bab 18

943 Words
Lusi membuka pintu kamar Yunita perlahan-lahan, sepelan mungkin agar engselnya tidak berdecit. Udara di dalam kamar itu jauh berbeda dari seluruh rumah; dingin, sunyi, dan terasa seperti waktu berhenti. Tirai jendela hanya terbuka sedikit, membiarkan cahaya tipis masuk dan mengenai wajah pucat wanita paruh baya yang berbaring di ranjang besar. Yunita, ibu Gevan, terlihat begitu rapuh. Tubuhnya kurus, kulitnya pucat, dan napasnya teratur tapi lemah. Rambutnya yang dulu hitam lebat kini tampak kusam dan beruban. Di samping ranjang ada mesin kecil yang mencatat detak jantungnya, dan meja kecil tempat obat-obatan tertata rapi. Lusi menggenggam mangkuk bubur hangat yang dia buat diam-diam. Tangan kirinya sedikit gemetar karena campuran ketakutan dan harapan. Dia tahu Gevan tidak akan suka jika dia masuk ke kamar ibunya. Pria itu tidak ingin Lusi menyentuh bagian mana pun dari hidupnya, terlebih lagi orang yang paling berarti dalam hidupnya. Tapi Lusi merasa ini satu-satunya hal baik yang bisa dia lakukan. Lusi melangkah masuk dan menutup pintu sangat perlahan sampai tidak ada suara sama sekali. Kemudian ia mendekati ranjang, duduk di kursi kecil di sampingnya. “Bu…” bisiknya pelan meski Yunita mungkin tak bisa mendengarnya. “Aku bawakan bubur. Maaf kalau aku lancang… aku cuma ingin Ibu makan sesuatu.” Yunita tidak menjawab, tapi matanya yang setengah terbuka bergerak sedikit. Meski samar, Lusi melihat ada kesadaran di sana. Lusi menaruh mangkuk di meja kecil, lalu mengambil sendok. Ia mengaduk buburnya perlahan agar tidak terlalu panas. “Ibu…” suara Lusi bergetar, “…maaf kalau aku tidak tahu banyak tentang Ibu. Maaf kalau keberadaanku di rumah ini malah bikin semuanya kacau. Aku cuma ingin membantu, walau sedikit.” Yunita menatapnya, lemah… tapi jelas. Ada sesuatu seperti rasa hangat di mata wanita itu. Lusi merasakan dadanya sesak melihat tatapan itu. Meskipun Yunita tidak bisa bicara banyak, Lusi tahu wanita itu sedang berusaha mengatakan sesuatu. Lusi mendekat, satu tangan menopang punggung Yunita sedikit agar bisa duduk. “Pelan-pelan ya, Bu. Aku bantu.” Yunita membuka mulutnya sedikit dan Lusi menyuapkan bubur perlahan. Wanita tua itu menelan dengan susah payah tapi tidak menolak. Lusi tersenyum kecil, merasa lega karena usaha kecilnya tidak sia-sia. “Tadi aku buat buburnya dengan ayam yang direbus lama… supaya lembut. Aku juga tambahkan sedikit jahe. Biar hangat di perut.” Lusi berbicara lirih sambil menyuapi Yunita perlahan-lahan. “Kalau Gevan tahu aku masuk kemari, pasti dia marah lagi. Tapi aku nggak apa-apa, Bu… asal Ibu makan.” Yunita memandangnya lama. Mata itu berkaca-kaca, entah karena sedih atau terharu. Lusi tidak tahu bahwa selama ini Yunita sering mendengar pertengkaran kecil di luar pintu… mendengar bagaimana Gevan membenci Lusi… mendengar bagaimana Gerald memperlakukan Lusi seperti barang. Dan dalam hatinya yang lemah, Yunita merasa iba. Lusi menyuapi lagi sedikit demi sedikit, sampai hampir setengah mangkuk habis. Setelah itu ia mengambil tisu basah dan membersihkan bibir Yunita perlahan. “Ibu… aku janji, aku akan urus Ibu setiap hari. Biar pun diam-diam.” Tiba-tiba tangan Yunita bergerak. Pelan sekali. Lusi terkejut ketika wanita itu mengangkat tangan lemah itu dan menyentuh punggung tangan Lusi. Lusi langsung menahan napas. Itu sentuhan kecil… tapi terasa seperti pelukan bagi hati yang sudah sangat lelah. “Ibu…” lirih Lusi, mata mulai berkaca-kaca. “Terima kasih…” Hening beberapa detik, hanya terdengar napas Yunita. Lusi menaruh mangkuk dan sendok ke samping, lalu membetulkan selimut agar tubuh Yunita tetap hangat. Setelah itu ia berdiri perlahan. Saat hendak berbalik untuk keluar, suara langkah terdengar samar dari luar. Lusi langsung membeku. Langkah itu berat, cepat, dan familiar. Langkah itu—langkah Gevan. Jantung Lusi langsung berdegup kencang. Ia melihat sekeliling, mencoba menemukan tempat untuk menyembunyikan mangkuk bubur, tapi mangkuk itu masih penuh aroma jahe yang jelas tak mungkin tidak dikenali. Langkah Gevan semakin dekat. Satu langkah… Dua langkah… Tiga… Lusi panik—ia meletakkan mangkuk ke dalam laci kecil di bawah meja obat, menutupnya cepat-cepat, dan kembali duduk di samping Yunita seolah hanya berkunjung sebentar. Pintu kamar terbuka. Gevan berdiri di ambangnya. Tatapannya langsung tertuju pada Lusi—tajam seperti pisau dan penuh kecurigaan. “Apa yang kau lakukan di kamar ibuku?” Suara itu rendah. Berbahaya. Lusi menelan ludah. “Aku hanya… memastikan Ibu baik-baik saja.” Gevan masuk perlahan, langkahnya menghantam lantai kayu dengan mantap. Wajahnya berbayang marah, tetapi ditahan. “Kau pikir aku tidak tahu kau mencoba mencari perhatian ibuku? Kau pikir aku akan percaya kalau kau melakukannya karena peduli?” “Aku memang peduli,” jawab Lusi dengan suara hampir tak terdengar. Gevan mendekat. Sangat dekat. Bibirnya terangkat dingin. “Jangan bohong, Lusi.” Mata Lusi memanas. “Aku tidak bohong…” “Kalau kau peduli,” Gevan mendekatkan wajahnya, “kau tidak akan menikahi ayahku.” Lusi mundur sedikit, terpukul oleh kata-kata itu. “Gevan… aku tidak memilih semuanya ini…” “Kau tetap melakukannya,” potong Gevan cepat. “Dan aku tidak akan membiarkanmu merebut hatinya juga.” Dia mengalihkan pandangan ke ibunya, lalu kembali menatap Lusi. “Keluar.” Lusi terdiam. “Sekarang,” desis Gevan. Dengan hati hancur, Lusi berdiri perlahan. Ia membungkuk pada Yunita, lalu berjalan menuju pintu. Namun sebelum keluar, ia menoleh sebentar. “Ibu butuh makan.” katanya lirih. Gevan membalasnya dengan tatapan dingin yang mengusir semua kehangatan. Lusi keluar dan menutup pintu perlahan. Baru ketika pintu tertutup sempurna, napasnya terlepas. Ia bersandar pada dinding, menahan air mata. Dadanya sakit sekali—bukan karena dimarahi, tapi karena ia melihat sekilas bagaimana mata Gevan juga dipenuhi rasa sakit. Rasa sakit yang sama seperti dirinya. Namun satu hal yang tidak mereka tahu: Di dalam kamar, Yunita berusaha mengangkat tangannya lagi. Seolah ingin memanggil Lusi. Seolah ingin mengatakan bahwa ia tidak membenci Lusi. Tapi suaranya tertelan napas yang lemah, dan hanya angin yang menyaksikan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD