Di halaman belakang rumah yang sepi, Lusi duduk di kursi kayu panjang dekat taman kecil. Matahari sore menurunkan sinarnya perlahan, membuat cahaya hangat menyentuh pipinya. Tangan Lusi sibuk merajut benang warna biru lembut—warna favorit almarhum ibu kandungnya—karena ia ingin memberikan sesuatu yang hangat dan tulus untuk Yunita.
Syal itu sudah hampir setengah jadi. Benang-benang melingkar indah membentuk pola sederhana, namun penuh ketulusan. Setiap lilitan benang terasa seperti doa agar Yunita pulih, agar wanita itu bahagia meski sedikit saja, agar Lusi bisa memberi kebaikan meski hidupnya penuh luka.
Lusi tersenyum kecil ketika membayangkan Yunita memakainya nanti. *Semoga Ibu suka…* batin Lusi.
Namun senyum itu langsung hilang ketika suara mobil terdengar di depan rumah.
SUV hitam mahal itu masuk halaman. Pintu terbuka.
Gerald turun.
Perut Lusi langsung mengeras. Jantungnya berdebar.
Gerald tidak pernah pulang lebih awal tanpa alasan. Biasanya ia pulang malam, kadang tidak pulang sama sekali kalau sedang bersama wanita lain. Tapi hari ini dia pulang… terlalu cepat.
Gerald berjalan cepat menuju halaman belakang. Sorot matanya langsung tertuju pada Lusi.
“Lusi…”
Lusi refleks berdiri. “Pa… Bapak sudah pulang?”
Namun belum sempat ia bergerak mundur, Gerald langsung meraih tangannya dengan kasar, menarik tubuh Lusi hingga jatuh ke dalam pelukannya.
Tubuh Lusi mendadak kaku.
“Pa… jangan…” ucapnya lirih.
Tapi Gerald justru memeluknya lebih erat, seolah sudah berhari-hari menahan rindu. Napas hangat laki-laki tua itu mengenai lehernya, membuat Lusi gemetar ketakutan.
“Lusi… akhirnya aku pulang. Aku kangen kamu…” suara Gerald berat, dalam, dan mabuk kekuasaan. “Kamu harus melayaniku sekarang.”
Lusi meronta kecil. “Pa… jangan sekarang, di sini—”
Gerald memotongnya. “Ikut aku ke kamar.”
Lusi panik. Ia menunduk, mencari alasan apa pun agar bisa menghindar.
“Pa… Lusi masih—masih sakit perut,” bohongnya cepat. “Tadi pagi Lusi muntah-muntah.”
Gerald tidak peduli. “Nanti juga sembuh. Kamu itu istriku, Lusi. Kewajiban kamu ya melayani aku.”
Lusi semakin takut. Tenaga Gerald terlalu kuat. Lengan besar dan keras itu menahan pinggangnya erat, membuatnya tidak bisa bergerak.
“Pa… tolong… Lusi belum selesai merajut ini, Lusi buat untuk Ibu Yunita—”
Gerald langsung menarik syal setengah jadi itu dari tangan Lusi dan melemparkannya ke tanah.
“Dia tidak butuh itu.” Gerald menggeram, wajahnya memerah. “Yang aku butuh sekarang adalah kamu. Kamu jangan banyak alasan.”
Lusi terdiam. Nafasnya tercekat melihat syal itu tergeletak di tanah, penuh debu.
“Pa… tolong jangan begini…” suaranya bergetar. “Lusi belum makan. Lusi pusing. Nanti Lusi pingsan lagi…”
Gerald malah tertawa kecil, sinis. “Kalau kamu pingsan, aku tinggal nunggu kamu bangun. Kamu tetap harus melayaniku.”
Kaki Lusi gemetar. Matanya mulai berkaca-kaca. Gerald makin mendekat, tangan besarnya merayap ke pinggang Lusi, hendak mengangkat tubuh Lusi ke gendongannya.
Namun sebelum Gerald sempat menariknya lebih jauh…
Suara berat menggema dari arah pintu belakang.
“Apa yang Papa lakukan?”
Gerald berhenti.
Lusi menoleh spontan.
Gevan berdiri di sana.
Tatapannya mengeras. Rahangnya menegang. Napasnya berat seolah menahan diri agar tidak mengamuk. Mata elangnya langsung tertuju ke tangan Gerald yang mencengkeram tubuh Lusi.
Gerald mendengkus. “Tidak lihat? Aku bersama istriku.”
Gevan melangkah mendekat, pelan tapi penuh tekanan. “Dia baru pingsan kemarin. Papa mau dia pingsan lagi?”
Gerald menyeringai. “Kalau dia pingsan, biar saja. Dia akan bangun dan—”
“Tapi bukan dengan cara begini.” suara Gevan dingin, tajam.
Gerald menatap putranya tajam, seperti tak suka dengan nada itu. “Gevan, jangan ikut campur urusan Papa dengan istri Papa sendiri.”
“Kalau urusannya sampai bikin dia ketakutan begitu,” Gevan mendekat lagi, “aku ikut campur.”
Lusi terbelalak. Ia tidak pernah melihat Gevan seperti ini. Tidak pernah setegas ini terhadap ayahnya.
Gerald mengencangkan pegangan pada Lusi. “Dia istriku. Dia wajib melayani aku kapan pun aku mau.”
Gevan menatap tangan ayahnya yang mencengkeram Lusi. “Lepaskan.”
Suasana tegang—sangat tegang.
Gerald menyipitkan mata. “Kau berani memerintah aku?”
“Lepaskan.” Gevan mengulang dengan suara yang lebih dalam. “Sekarang.”
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Gerald tampak goyah.
Karena tatapan Gevan bukan lagi tatapan anak pada ayah.
Tatapan itu tatapan seorang pria yang melihat wanita yang ia cintai disakiti di depan matanya.
Gerald mendesis, namun perlahan-lahan melepaskan pegangan tangannya dari pinggang Lusi.
Begitu bebas, Lusi langsung mundur dua langkah. Napasnya hilang. Tubuhnya gemetar.
Gerald meludah ke tanah. “Dasar anak kurang ajar. Kau cemburu? Kau masih ingin Lusi, hah?”
Gevan mengepalkan tangan, hampir memukul, tapi ia menahan diri. “Pergi mandi, Pa. Papa bau alkohol.”
Gerald menggeram, tapi ia berbalik, berjalan kembali ke rumah tanpa menoleh.
Begitu Gerald hilang dari pandangan, Lusi memeluk dirinya sendiri, menahan napas yang berat. Lututnya hampir tidak kuat berdiri.
Gevan memandangnya.
Bukan benci.
Bukan marah.
Tapi campuran frustrasi, cemburu, dan rasa pedih yang sulit dijelaskan.
“Kau tidak apa-apa?” suaranya rendah.
Lusi menggeleng lemah. “Nggak… nggak apa-apa.”
“Tadi dia kasar sama kamu?” Gevan menahan napas.
“… tidak.” Lusi berbohong.
Gevan mengepalkan tangan lagi. “Kalau dia sentuh kamu lagi seperti tadi… bilang ke aku.”
Lusi terkejut.
Gevan menundukkan wajah sedikit, suaranya melembut meski masih dingin.
“Aku tidak suka melihat itu.”
Lusi menggigit bibir. “Gevan… terima kasih.”
Gevan tidak menjawab. Dia hanya memungut syal yang terjatuh tadi, menepuk-nepuk debunya perlahan.
“Apa ini?” tanyanya tanpa emosi, meski suaranya terdengar lebih lembut.
“Syal… buat Ibumu,” jawab Lusi lirih.
Gevan terdiam lama.
Sangat lama.
“Aku… antar ke kamar nanti,” katanya pelan.
Kata-kata itu membuat Lusi menatapnya dengan mata membesar.
“Jangan bilang apa-apa.” lanjut Gevan cepat. “Aku cuma nggak mau Ibu kedinginan. Itu saja.”
Lusi mengangguk, meski ia tahu itu bukan alasan sebenarnya.
Gevan memandang syal itu sekali lagi, lalu memalingkan wajah cepat-cepat.
“Masuk. Istirahat. Jangan di luar.”
Lusi mengangguk dan melangkah masuk rumah, sambil memeluk tangannya sendiri.
Saat punggung Lusi menghilang di balik pintu, Gevan berdiri terpaku, memandangi syal itu lama…
…lalu menutup matanya, menahan semua perasaan yang tak pernah ingin ia akui.