Paper bag berwarna hitam itu terbang ke arah Lusi dan jatuh tepat di pangkuannya. Suaranya terdengar cukup keras di ruangan yang sunyi itu. Lusi terlonjak pelan, ia mengangkat wajah dan menatap Gerald yang berdiri beberapa langkah di depannya dengan tatapan dingin dan penuh penilaian.
Gerald bahkan tidak terlihat lelah meski katanya pulang dari perjalanan bisnis luar kota. Lelaki tua itu berdiri dengan tangan bersedekap, rahangnya terangkat, seolah-olah ia adalah raja yang sedang menunggu budaknya membuka hadiah yang ia berikan.
Lusi perlahan mengambil paper bag itu. Tangannya bergetar sedikit.
Gerald memperhatikannya tanpa kedipan.
“Buka,” ujar Gerald datar.
Lusi mengangguk kecil dan meraih ujung kantong belanja itu, menarik isinya keluar. Seketika wajahnya memucat. Sebuah gaun pendek merah dari kain satin jatuh ke pangkuannya. Gaun itu sangat mini, sangat terbuka, dan terlalu berani untuk ukuran perempuan mana pun, apalagi untuk dirinya yang tak terbiasa mengenakan pakaian yang menonjolkan tubuh.
Tali gaunnya tipis seperti benang, belahan dadanya begitu rendah hingga nyaris menyentuh pusat. Bagian bawahnya hanya beberapa sentimeter di atas paha, terlihat lebih seperti pakaian klub malam daripada gaun untuk pertemuan.
Lusi menahan napas.
“Kenapa… saya diberi gaun seperti ini…?” tanyanya lirih.
Gerald mendecak dan mendekat, menatap gaun itu seperti menilai barang.
“Aku ada pertemuan penting malam ini. Aku ingin kau ikut sebagai istriku. Dan aku ingin semua orang tahu betapa beruntungnya aku mendapatkan wanita muda yang cantik. Kenapa? Ada masalah?”
Lusi menggeleng cepat.
“Bukan begitu… hanya saja… gaun ini terlalu terbuka untuk saya. Mungkin ada gaun lain yang lebih sopan—”
Kalimatnya terhenti ketika Gerald tiba-tiba meraih dagunya, mencengkeram rahang bawahnya dengan dua jari. Cengkeraman itu kuat, menyakitkan. Matanya memicing, dan rahangnya mengeras.
“Apa yang barusan kau bilang?” suara Gerald turun satu oktaf, dingin dan mengancam.
Lusi mengecap bibirnya, takut.
“Sa-saya hanya… berpikir mungkin… ada gaun lain yang lebih… tertutup… saya—”
Gerald menutup jarak lebih dekat.
“Aku tidak bertanya apa yang kau pikirkan, Lusi. Kau ada di rumah ini karena aku yang mengizinkanmu. Kau pakai apa yang kuberikan. Kau ikut ketika aku meminta. Dan kau diam ketika aku tidak ingin mendengar bantahan.”
Jari Gerald menekan makin keras, membuat Lusi mengerang tanpa suara.
“Ingat itu,” geram Gerald.
Ia melepaskan rahang Lusi dengan kasar, membuat kepala wanita muda itu terdorong ke samping. Lusi memegang rahangnya yang mulai memerah.
Gerald menunjuk gaun merah yang tergeletak di pangkuan Lusi.
“Pakailah. Kita pergi satu jam lagi. Rapikan dirimu. Dan jangan buat aku kehilangan kesabaran.”
Tanpa menunggu jawaban Lusi, Gerald berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya berat dan mantap, menunjukkan bahwa ia tidak peduli perasaan siapa pun selain dirinya. Pintu kamar tertutup keras di belakangnya.
Sunyi.
Lusi menunduk memandang gaun itu lagi. Gaun yang terasa seperti hukuman. Seperti belenggu yang memamerkan tubuhnya kepada dunia tanpa izin. Bibirnya bergetar halus. Ia ingin menangis, tapi ia menahan air mata itu di tenggorokannya.
“Kenapa harus begini…” bisiknya pelan.
Ia memegang gaun itu, mencoba menarik napas panjang. Ia tahu, jika ia menolak, Gerald bisa melakukan hal-hal yang jauh lebih buruk. Ia pernah melihat kemarahan lelaki tua itu, pernah merasakan bagaimana amarahnya bisa berubah menjadi tindakan kasar.
Dengan tangan lemah, Lusi berdiri dan berjalan menuju kamar. Setiap langkah terasa berat. Ia merasa seperti melangkah menuju eksekusi.
---
Sesampainya di kamar, ia mengunci pintu dan memandang dirinya di cermin. Wajahnya terlihat letih, pucat, namun tetap cantik. Mata yang biasanya bersinar kini redup karena terlalu sering menahan air mata. Rambutnya berantakan karena ditarik Gerald tadi.
Ia menggantung gaun itu di depan tubuhnya, memperkirakan bagaimana bentuknya nanti setelah dipakai. Dan detik itu juga, ia merasa dadanya sesak.
“Bagaimana mungkin aku keluar memakai ini…”
Tubuhnya gemetar kecil.
Lusi duduk di atas ranjang, menatap gaun itu selama beberapa menit hanya untuk mengumpulkan keberanian. Perlahan, ia melepas pakaiannya satu per satu. Ruangan terasa dingin. Udara malam seperti menusuk kulitnya.
Ia memakai gaun merah itu dengan gerakan pelan, takut merobek kainnya. Begitu kain itu menyentuh kulitnya, ia langsung merasa… telanjang.
Gaun itu terlalu ketat di d**a, terlalu pendek di paha, terlalu terbuka di punggung.
Setiap gerakan membuat kain tipis itu naik sedikit, membuatnya berkali-kali harus menarik ke bawah.
Gaun itu seakan sengaja didesain untuk membuat pemakainya terjebak.
Lusi berdiri dan memandang dirinya di cermin.
Ia tidak mengenali dirinya sendiri.
Ia terlihat seperti orang lain, seseorang yang tidak pernah ingin ia menjadi. Ia terlihat seperti properti, bukan manusia.
Air mata akhirnya mengalir tanpa bisa ia tahan lagi.
Namun ia cepat-cepat menghapusnya.
Jika Gerald melihat, ia pasti marah.
---
Tiga puluh menit kemudian, Lusi melangkah keluar kamar dengan langkah kecil dan gemetar. Ia menutupi d**a dan pahanya dengan tangan, tapi gaun itu tetap saja memperlihatkan terlalu banyak.
Gerald menunggu di ruang tamu, berdiri sambil merapikan jas hitamnya.
Saat Lusi muncul, pria itu tersenyum puas.
Akhirnya ia mendekat, matanya menyapu tubuh Lusi dari atas ke bawah tanpa malu.
“Bagus,” katanya singkat. “Siapa pun yang melihatmu malam ini pasti iri padaku.”
Lusi menunduk.
Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Gerald meraih tangannya, menggenggam erat—terlalu erat, seperti mengklaim kepemilikan.
“Kita pergi,” ucapnya sambil menarik Lusi menuju pintu.
Namun ketika mereka hampir melewati ruang tamu…
Seseorang muncul tiba-tiba.
Gevan.
Langkahnya terhenti di anak tangga terakhir.
Matanya langsung membesar saat melihat Lusi dalam gaun itu, ditarik oleh ayahnya.
Gevan menatap Lusi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tatapannya bukan hanya terkejut—tapi hancur, marah, terbakar, dan tidak terima. Napasnya terhambat, seolah melihat sesuatu yang menusuk jantungnya.
Gerald tidak menyadari apa pun.
Tapi Lusi merasakan d**a Gevan bergetar penuh emosi.
Dan di detik itu…
Lusi berharap bumi menelan dirinya. Karena dirinya memang terlihat sangat buruk sekali. Dan Lusi berharap Gevan tidak memandangnya semakin rendah nanti, hanya karena gaun yang dikenakan olehnya. Gaun yang begitu seksi dan merusak harga dirinya yang selalu dia jaga.
Hahahah ...
Memangnya harga diri Lusi masih ada?
Sudah tidak ada semenjak Lusi menikah dengan Gerald lelaki tua yang adalah ayah kandung mantan kekasihnya. Dan yang dulu dihormati olehnya sekarang malah merusaknya sampai perkataan dan perlakuan yang begitu hina.