bc

Love Scenario

book_age12+
624
FOLLOW
6.5K
READ
possessive
second chance
playboy
badboy
bitch
sweet
like
intro-logo
Blurb

Hanin Anaya tak pernah berhenti bersyukur karena dipertemukan dengan Adam, mengenal lebih jauh, hingga menjalin hubungan dengan lelaki itu. Siapa pula yang tak ingin memiliki pasangan yang penyayang, romantis, tampan, dan kaya? Apalagi restu kedua orang tua mereka sudah ada di tangan.

Tiada hari yang tidak mereka habiskan dengan saling mendamba satu sama lain. Terbuai dengan kebahagiaan yang selama bertahun-tahun mereka jalani, Hanin lupa bahwa setenang apapun lautan samudera, sekalipun cuaca cerah, ombak bisa datang kapan saja.

chap-preview
Free preview
Sakit
Suara ketukan pintu kamar membuat Adam yang sedang tidur jadi mengernyit dan membuka matanya sedikit. Cowok berkulit sawo matang itu sedang demam pagi ini, ia tidak berniat membukakan pintu kamarnya untuk siapapun. Jadi, bukannya berdiri dan menyambut siapapun yang didepan kamarnya, ia memilih untuk menarik kembali selimutnya dan menggulung badan disana. "Masuk." jawabnya setelah menutup mata rapat.   Terdengar langkah kaki mendekat ke arah ranjangnya. Kemudian aroma menyenangkan khas parfum kekasihnya menyeruak di hidung, Adam langsung berbalik badan untuk menghadap ke arah kekasihnya, Hanin Anaya. Hanin yang awalnya tersenyum untuk menyambut Adam, berubah jadi panik melihat bibir lelaki itu yang pucat.  Hanin menempelkan telapak tangannya pada kening dan leher Adam bergantian,  "Kamu sakit?" "Pusing dikit." "Pusing dikit gimana sih? Jelas-jelas ini panas banget. Bentar aku ambil obat dulu."  Hanin langsung berlari keluar kamar dan menuruni tangga dengan tergesa-gesa kemudian kembali dengan membawa baki berisi air putih, plastik obat, plester demam, dan sup krim. Hanin duduk di sisi ranjang milik Adam. "Bisa duduk gak?" tanya Hanin sambil bersiap untuk membantu Adam menyandarkan punggung pada sandaran kasur. Adam terkekeh, "Bisa lah. Aku cuman pusing, bukan stroke." Adam menerima gelas dan obat di tangan Hanin lalu meminumnya dalam satu tegukan. Hanin menyingkirkan poni Adam yang berjatuhan dan mengelus sebentar kening pacarnya sebelum menempelkan plester demam. "Kamu tumben kesini?" Adam menidurkan kepalanya pada paha Hanin. Tangan Hanin bergerak memijat kepala Adam pelan, "Tadi mau minta temenin kamu ke Araya cari sepatu. Tapi gak jadi. Kamu lagi sakit gini." Adam membalikkan badannya agar wajahnya menghadap perut Hanin, lalu lengannya bergerak melingkar dipinggang gadis itu.  "Nanti sore mungkin udah sembuh." kata Adam sambil menenggelamkan wajahnya pada perut Hanin. Hanin bergerak mencari remote TV dan menyalakan LCD di depannya. Sedangkan Adam sudah mulai terlelap lagi. *** Adam bangun dari tidur siangnya sekitar pukul 5 sore, seketika matanya bergerak mencari Hanin. Adam berdiri dari ranjangnya dan berjalan mendekat ke arah kamar mandi karen amendengar suara gemricik didalam. "Yang? Kamu didalem?" teriak Adam. "Hmm. Lagi cuci muka." Adam membuka pintu kamar mandi dan menemukan Hanin dengan wajah penuh busa dan rambut yang tidak dikuncir hingga terkena sabun. Lelaki itu  mendekati Hanin.  Tangannya bergerak mengambil untaian rambut Hanin dan mengumpulkan jadi satu. "Kok gak dikuncir, sih?" "Lupa naro karetnya dimana."  Hanin mengambil handuk disebelahnya dan mengeringkan wajahnya. "Kamu bener udah enakan?" Adam mengangguk, "Nih pegang kalau gak percaya." Hanin maju mendekat lalu berjinjit sedikit untuk memegang kening Adam, memastikan bahwa kekasihnya benar-benar sudah sembuh. "Berarti jadi nganter aku, dong?" tanya Hanin setelah menjauhkan tangannya dari kening Adam. "Iya, bawel. Peluk dulu sini."  Belum sempat menjawab, leher dan pinggang Hanin sudah direngkuh erat-erat oleh Adam. "Kangen."  "Salah siapa pake acara nginep di rumah Aldo sampe seminggu,"  "Udah lama gak nginep bareng  sama yang lain, Yang."  Adam mengangkat tubuh Hanin dan mendudukkan gadis itu di wastafel. Kedua telapak tangan Adam menjepit pipi Hanin hingga cewek itu mengerucutkan bibir. "Lucu banget pacar siapa sih?" kata Adam sambil mengecup bibir merah didepannya. "Jangan cium-cium, ih. Belum gosok gigi juga." "Pelit." "Udah sana cepet mandi." "Iya, Nyonya." Hanin menuruni tangga dan menemukan Bunda, ibunya Adam, sedang menonton televisi di ruang keluarga. Iya, Hanin memang sudah terbiasa memanggil ibu dari kekasihnya itu dengan sebutan Bunda. Merasa diperhatikan, Bunda menoleh pada Hanin lalu matanya berbinar seketika. "Loh Hanin? Kok Bunda gak tau kamu ada disini?" Hanin meringis sambil melanjutkan langkahnya mendekati Bunda, "Iya, Bun. Tadi siang kesini terus aku ketiduran dikamar Mas Adam." Bunda tersenyum maklum. Bunda Adam selalu percaya kepada Hanin dan Adam sekalipun mereka tidur di satu ruangan. Bukan Bunda membiarkan mereka untuk melakukan hal yang tidak seharusnya mereka lakukan di seusia mereka, namun karena Bunda percaya Adam dan Hanin sama-sama tahu batasan. Hanin mendaratkan pantatnya di sofa setelah menyalami tangan Bunda. "Adam udah sembuh, Nak??" tanya Bunda pada Hanin seraya menggeser piring berisi brownies di meja kepada Hanin. "Udah, Bun. Suhunya udah normal." Bunda mengangguk, mengganti channel TV didepannya. Bunda kemudian bercerita mengenai Adam yang belakangan ini sering menelponnya untuk memastikan bahwa Hanin selalu baik-baik saja dan tidak neko-neko. Tentu Adam melakukan itu karena Adam sedang di Bandung bersama teman-temannya. "Padahal tuh Bunda udah suruh dia nelpon kamu sendiri, tapi dia ngeyel minta Bunda yang telpon. Jadi ya gitu, hampir setiap hari Bunda jadi nelpon kamu, kan?" "Dia gak mau ngangkat telpon dari aku, Bun. Makanya aku nyuruh Bunda." Suara Adam terdengar bersamaan dengan langkah kaki laki-laki itu mendekat kearah mereka berdua. "Emang iya, Hanin?" tanya Bunda sambil menoleh pada Hanin. Hanin melirik sinis pada Adam sebelum kembali menghadap Bunda. "Aku sengaja, Bun. Soalnya Mas Adam disana ngelayap terus dari malem sampe pagi." adu Hanin. "Bang?!" "Enggak, Bun. Astaga. Lagian itu juga rame-rame udah pasti gak aneh-- aduh Bun sakit!" rintih Adam akibat lemparan bulpoin dari Bunda yang tepat mengenai pelipisnya. "Ya Allah tega bener sama anak sendiri." cerocos Adam. Bunda berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya didepan d**a, "Kamu kalau gak digituin bakal diterusin. Bunda gak mau ya kamu sampe kayak dulu--" Adam bergerak maju memeluk Bundanya, mencoba merayu. "Enggak, Bunda. Gak bakalan kayak dulu-dulu. Janji deh." Hanin yang melihat itu hanya terkikik. Ingin terbahak tapi kasihan juga pacarnya. "Mas Adam udah banyak berubah kok, Bun. Udah jarang ngerokok juga." Adam yang sudah melepas pelukannya dari Bunda sedari tadi langsung menatap Bunda dengan tatapan "Tuh, dengerin mantu ngomong apa." Bunda menghela nafas dan kembali duduk di sofa. "Hanin, Bunda beneran titip Adam, ya? Bunda tau Adam lebih nurut sama kamu daripada sama Bunda." Hanin meringis kecil, "Iya, Bun. Diawasin terus sama Hanin." Setelahnya, Adam bergerak maju merengsek di tengah-tengah Hanin dan Bunda. "Udah-udah. Aku tuh mau keluar sama Hanin, Bun. Kalau Bunda mau ngobrol sama pacarku besok-besok aja. Sekarang jatahku dulu, ya." kata Adam sambil menarik lengan Hanin dan mendekat pada Bunda untuk mencium kilat pipi milik Bundanya yang sama sekali tidak keriput padahal usianya sudah kepala empat. "Mau kemana sih kalian?" "Mau tau banget?" goda Adam. Hanin menepuk pelan bahu Adam, menegur. "Mas Adam mau nganterin aku beli sepatu, Bunda." "Hati-hati, ya. Jangan pulang malem-malem." pesan Bunda setelah Hanin dan Adam mencium telapak tangan Bunda. "Pulang pagi kita. Ya, kan, Yang?" jawab Adam asal. *** Jam sudah menunjukkan pukul delapan saat mereka memasuki pintu restoran langganan mereka. Setelah berjam-jam menemani Hanin mencari sepatu, Adam mengajak pacarnya untuk makan malam. Malam ini kafe lumayan sepi, mengingat biasanya cafe itu tidak pernah tidak ramai. Mereka berdua memilih sofa paling ujung seperti biasa. Hanin mengeluarkan hapenya dengan kepala bersandar di bahu kanan Adam.  "Ngantuk ya kamu?" Adam menumpukan dagunya dikepala Hanin. "Hmm."  Tangan kanan Adam bergerak mengusap pipi kiri Hanin, "Tidur aja. Nanti kalau makanannya dateng aku bangunin." "Enggak. Nanggung banget tidur sekarang." Mereka diam sesaat, melakukan aktivitas masing-masing. Adam merogoh saku celananya guna mengambil rokok. Ia menunduk dan menghidupkan pemantik rokok. Lalu menyesap barang tersebut dalam-dalam sebelum dihembuskannya ke arah yang berlawanan dari Hanin. Hanin mendongakkan kepalanya menatap Adam, "Gak boleh ngerokok didalem kafe, tau!" Adam menunduk membalas tatapan Hanin. Melayangkan satu kecupan di pelipis perempuan itu lalu bergumam saja. "Ish. Kalau dikasih tau gak pernah nurut." "Makanya kamu tuh kalau lagi sama aku jangan main hape, aku jadi bingung mau ngapain," Adam beralasan. Hanin mencibir walaupun berakhir menurut. Ia meletakkan hapenya di meja. Lalu menjauhkan kepalanya dari bahu Adam. "Matiin tuh rokoknya." Adam membuang rokoknya lewat jendela kecil disebelahnya. Lalu menoleh pada Hanin yang sedang diam mengamati situasi cafe.  "Lama banget dah makanannya." Hanin menggerutu. "Kamu gak mau nginep rumah aja, Yang, hari ini?" Hanin sudah akan menjawab namun terinterupsi dengan kedatangan pelayan yang membawakan makanan. Setelah mengucapkan terimakasih, ia menoleh pada laki-laki tampan disebelahnya. "Enggak deh. Besok pagi kan aku mau main sama temen-temen." Adam tidak berniat menyentuh makanannya sama sekali. Ia malah menumpukan dagunya pada siku dan menoleh seutuhnya untuk menatap Hanin. "Temen siapa?" Hanin mengambil satu sendok spagetti yang ia pesan, dan menyuapkan pada Adam, "Aca sama yang lain. Emang temen aku ada berapa sih?" Adam menyingkirkan sayur hijau di piring Hanin. Tahu benar bahwa gadisnya tidak menyukai sayur-sayuran, "Gapapa, dong. Besok langsung aku anter ke rumah Aca." Hanin tidak menjawab. Ia sibuk memakan spagetti didepannya. "Gak enak aku tuh sama Bunda kalau sering-sering nginep." "Gak enak kasih kucing aja." Hanin tidak meladeni ucapannya, "Apalagi sekalipun aku tidurnya di kamar tamu, pasti malemnya kamu pindah ke kamar aku." Adam terkekeh, "Emang kenapa?" "Ih pake nanya!"  "Bunda juga tau kok kalau aku sering pindah ke kamar kamu." "Ya itu yang bikin aku gak enak! Ngeselin banget, sih. Aku tuh gak pingin Bunda mikir aneh-aneh, nanti dikira kita ngapa-ngapain tidur di satu kamar-" "Ya kan kita emang ngapa-ngapain." jawab Adam santai sambil mencomot kentang didepannya. Hanin melotot, "Jangan keras-keras kalau ngomong!" Adam yang sedari tadi gemas dengan kelakuan Hanin akhirnya mencubit pipi gadis itu membuat Hanin merintih. "Udahlah nginep dirumahku aja. Daripada kamu sendirian di rumah, ya, kan?" Hanin menghela nafas. Iya juga, sih.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

T E A R S

read
317.7K
bc

MANTAN TERINDAH

read
10.0K
bc

Sak Wijining Dino

read
162.0K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
77.8K
bc

Saklawase (Selamanya)

read
69.7K
bc

FINDING THE ONE

read
34.5K
bc

Symphony

read
184.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook