Istri Kedua?

1087 Words
Sumpah, ini di luar ekspektasi! Si Tuan Duda tetiba memeluk pinggangku tanpa permisi. "Maaf, Tuan Duda, tangan Anda tidak seharusnya memeluk seperti ini," ucapku seraya memegang lengannya yang melingkar di pinggangku. "Sedang mencari kesempatan?" lanjutku lagi. Ia tersenyum miring, lalu .... Bruk!! "Aduh!" Sableng ini orang! Aku dilepas begitu saja, alhasil aku jatuh terjerembab ke lantai. Terbangke sih ini. "Bagaimana? Itu yang kamu mau kan?" ucapnya tanpa merasa bersalah. Ia tersenyum tipis lalu pergi meninggalkan aku di kamar ini. "Hei, Tuan Duda! Anda harus bertanggung jawab! p****t saya sakit semua!" teriakku kesal. Si Bangke bukannya menjawab malah pergi tanpa menoleh sedikit pun. "Lho, kamu kenapa, Sil? Kok selonjoran di lantai begitu?" Si Kriting yang muncul. "Sepupumu yang sudah duda itu mendorong saya, Kriting!" jawabku masih kesal. "Haha, benarkah? Masa dia berani berbuat menyebalkan pada gadis semanis kamu?" "Ck, gak usah muji! Bantu aku berdiri!" Sue, gak si Duda, gak si Keriting, orang jatuh malah ditertawakan. Menyebalkan! Si Keriting mengulurkan tangannya. Ia membantuku bangun. "Kamar ini dulu tempat mendiang istrinya Reza." si Keriting memulai pembicaraan lagi. "Ha? Mendiang? Jadi mantannya Reza sudah meninggal?" "Hm. Reza sebenarnya sudah menikah dua kali." "Waduh, duda dua kali dong?" Gila, bekas dua apem dong pedangnya si Duda? "Ya, begitulah. Istri pertama Reza meninggal karena kecelakaan. Sempat bertahan beberapa bulan tapi akhirnya meninggal." "Terus yang kedua meninggal juga?" tanyaku. Iya, aku penasaran. Gila ya si Tuan Duda, nikah sampai dua kali segala. Kalau jadi denganku, berarti ini pernikahan yang ketiga kalinya? Demi apa coba, tetiba dijodohkan dengan duda dua kali begini, huft. Untung aja kaya. "Kalau yang kedua...." "Igo, gue gak bisa lama-lama di sini, tadinya gue pikir anak-anak masih ada ternyata sudah pada pulang." Si Tuan Duda datang memotong pembicaraanku dengan si Kriting. "Lha, kok buru-buru amat? Kan Sesil baru nyampe, Za?" Si Kriting protes. "Baru sampai saja, mulut lo udah bocor tumpah ruah. Apa kabar kalau kelamaan," Si Tuan Duda sepertinya kesal. Entahlah, tapi wajahnya datar saja tuh. "Kriting benar, harusnya jangan buru-buru dong, kan saya belum tahu wilayah rumah ini juga?" Aku ikut protes. "Namanya Igo, Sesil. Bukan kriting!" Lah, si Paijo protes. Igo sendiri malah cengengesan, "Gak apa kok, Za. Gue suka panggilannya, berasa spesial." Si Reza sama sekali gak menggubris ucapan kami, ia dengan tenang mengambil kunci mobil di atas meja lalu pergi tanpa menoleh lagi, "Kalau kamu tidak pulang sekarang, pulang saja naik taksi." "Dasar Buta Ijo Picek!" Ups, aku keceplosan! Alamak, si Tuan Duda langsung berbalik, menatap tak suka sesaat, lalu menggeleng pelan, "Kamu bilang apa?" Aku melirik si Igo. Anak itu malah lebih kaget lagi, mulutnya menganga. "Ah, hehe. Anu, itu lho, aku paling tidak suka sama tokoh film Buta Ijo." "Jaga mulut kamu," desisnya pelan. Cih, angkuh sekali! Saat si Tuan Duda berbalik membelakangiku, aku menirukan gaya bicaranya tanpa suara. Kesal tingkat provinsi sih ini. Si Igo makin cengo, aku menoleh padanya dan memasang wajah menantangnya dengan dagu. Igo menggeleng cepat dan tersenyum miris, "Semoga selamat sampai tujuan ya, Sil." "Tentu Igo Kriting Sayang! Eh, awas lho, kamu masih ngutang cerita sama aku!" ancamku. Si Igo hanya meringis. Buru-buru aku keluar rumah saat terdengar deru mobil milik Reza. Sial, beneran mau ditinggal ternyata! Mana gak bawa tas lagi. Ck, kejam amat sih? "Tuan Duda! Tunggu!" Mobilnya berhenti dan menungguku masuk ke dalam. Orang ini terbuat dari apa sih? Kok begini amat? Awas aja, pokoknya aku ngambek sama dia! Jendela mobil depan terbuka. Artinya si Tuan Duda menyuruhku untuk duduk di depan bersamanya. Enak saja, aku gak mau! "Saya gak mau duduk di depan!" ucapku sambil merajuk. Biar tahu rasa bagaimana rasanya ditolak. Aku menunggu reaksi darinya. Apa dia akan membujukku dan meminta maaf? "Ya sudah, kursi belakang masih luas." Anjir! Pasrah amat, Bang! "Ck, jadi Anda gak masalah kalau saya duduk di belakang?" "Bukannya kamu yang minta?" Wajahnya itu lho, lempeng banget, tanpa merasa bersalah sama sekali! "Ish, ngerti gak sih? Argh, kesal, kesal!" Sumpah ya, bisa darah tinggi lama-lama kalau kayak gini. "Kamu ribet." ucapnya lagi. Dengan memasang wajah kesal setengah mati, akhirnya aku duduk di depan. Ya kan maksud aku minta duduk di belakang itu maunya dia tuh ya sadar, bujuk aku kek, kan dia udah bikin kesal tadi. Lah ini? Malah di luar ekspektasi, sue! Selama beberapa menit perjalanan, kami hanya saling diam. Dan sumpah, aku benar-benar tidak nyaman dengan situasi seperti ini. "Tuan Duda! Sebenarnya apa sih motif Anda mau menikahi saya?" tanyaku setelah mati-matian menahan diri untuk tidak bicara. "Saya butuh teman." "Ha? Teman? Cuma itu? Gila ya Anda. Kalau cuma butuh teman, ya kan gak harus nikah segala. Saya siap jadi teman Anda tanpa harus menikah." Hening. Ia gak ngomong lagi. Mobilnya berhenti. Eh? Si Tuan Duda mendekat. Hampir saja hidung kami bersentuhan kalau aku tidak mundur. "Saya pria normal. Teman wanita tanpa ikatan sah, saya tidak yakin tidak akan khilaf." Ha? Apa dia bilang? Sumpah, otakku gak nyampe ini. "Maksud Anda apa?" tanyaku lagi. Ini kenapa dia jadi mepet begini sih? "Kita sudah sampai, turunlah!" ucapnya saat sudah membuka sabuk pengaman yang terpasang di tubuhku. Walau masih kesal, tapi aku patuh. "Lho, ini dimana?" tanyaku saat sudah berada di luar. "Kita cari baju pengantin." Aku cengo, asli. "Emang kita nikahnya kapan?" "Secepatnya." "Anda ngebet ya? Wah pasti sih. Biasanya duda tuh begitu. Udah lama gak ada istri pasti udah gak tahan ya?" Aku terus mengoceh. Eh? Tiba-tiba Reza merangkul bahuku. "Masuklah!" ucapnya tanpa menjawab semua ocehanku padanya. Apa dia budek ya? "Wow, siapa ini yang datang? Reza? Demi apa, cintah? Yey lama menghilang dan tetiba bawa cemiwiw baru? Patahlah hati eikeu!" Sosok manusia setengah agar-agar menyambut kami. Jalannya sudah macam entok mau bertelur. "Buatkan gaun pengantin untuk kami." ucap si Reza. "Heh, Tuan Duda! Anda kok bertindak sendiri? Mama sama Papaku gimana?" bisikku. "Mereka setuju," jawabnya singkat. Ia memberi isyarat agar aku mengikuti langkah si manusia lembek itu. Aku hanya pasrah saat manusia itu membolak-balik tubuhku untuk mendapatkan ukuran yang pas. "Nama yey siapa?" tanya si Lembek. "Sesil." "Sekeren orangnya sih. O ya, yey sangat beruntung dipilih sama Reza. Dia pria pemilih masalah pasangan." "Benarkah? Katanya dia udah nikah dua kali ya?" Aku mencoba mengorek informasi lagi. Sepertinya manusia jadi-jadian ini banyak tahu tentang si Duda. "Ho'oh. Makanya eikeu bilang, yey beruntung. Banyak wanita yang menginginkan Reza. Termasuk eikeu, ahay!" Dih, si Lembek ketawa cekikikan. "Kalau boleh tahu, mantan istrinya yang kedua kemana?" tanyaku pelan, takut kedengaran sama si Duda. "Kalau sudah selesai, kita pulang." Lah, kutu kupret, udah nongol aja Tembok Berlin! Kan jadi makin penasaran aku. Nikah yang kedua itu dia cerai apa gimana sih?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD