1. Satu

1246 Words
Suara dentuman shinai[1] dengan bogu[2], shinai dengan shinai yang beradu, menggema di aula SMA Atlanta. Pertandingan kendo antar SMA se-Ibukota yang diadakan sejak tiga hari lalu terlihat semakin meriah saat memasuki laga final pada kelas putri. Sorakan dari kedua pendukung masing-masing sekolah terdengar bersemangat kala perwakilan sekolah mereka mendapat poin ketika berhasil memukul lawan. Satu pukulan tepat pada men[3] bersamaan dengan teriakan keras dari Nigi mengakhiri pertandingan. Teriakan kemenangan dari para penonton yang berseragam SMA Nusantara mengantarkan kemenangan salah satu pe-kendo mereka sore itu. Nigi yang memenangkan pertandingan segera membungkuk pada lawan yang baru saja dia kalahkan. Setelah memberi hormat satu sama lain sebagai tanda pertandingan usai, Nigi membuka men yang sejak tadi melindungi wajah dan kepalanya. Gadis itu melempar senyum ke arah kawan-kawan yang telah mendukungnya dari pinggir lapangan. “Nigiiiiii...” teriak teman-teman gadis itu dengan senyum merekah sambil melambaikan tangan tinggi-tinggi. Nigi membalas sorakan itu dengan senyum lebar, mengangkat sebelah tangan yang terkepal ke udara sebagai tanda bahwa dia telah berhasil membawa nama baik sekolahnya lagi kali ini. Hal itu sontak disambut teman-teman Nigi dengan teriakan yang lebih keras lagi, teriakan kemenangan serta kebanggaan pada gadis yang kini tersenyum di hadapan mereka. *** Masih berbalut hakama[4] yang dia kenakan, Nigi melangkah berdampingan bersama Aura seusai pertandingan. Menyusuri lorong SMA Atlanta menuju kantin, Nigi lapar katanya. Sambil berjalan mundur dengan shinai yang Nigi bawa, gadis itu mengayunkan pedang bambu-nya tanpa mempedulikan Aura yang sejak tadi berusaha menghindar agar tidak terkena pukulan dari sahabatnya itu. “Lo lihat kan, Ra? Gue mukul kepalanya tadi keras banget kayak gini!” cerita Nigi antusias, mencontohkan ayunan shinai yang tadi bertubi-tubi dia arahkan pada lawan. “Ish, hati-hati lo ah! Kalau kena gue gimana?!” seru Aura sewot saat Nigi berkali-kali menggoda akan menyerangnya. Meski sebenarnya yang lebih membuat Aura sebal adalah, seringai Nigi yang terlihat jelas sedang menakut-nakuti. Senyuman Nigi pudar berganti decakan meremehkan yang keluar dari mulut gadis itu. “Ck, penakut lo!” cibir Nigi seraya berbalik menormalkan cara berjalannya yang sejak tadi berjalan mundur. Celakanya, tepat saat gadis itu berbalik masih dengan sikap menyerang menggunakan shinai yang ada di tangan, saat itu pula ayunan shinai Nigi mengenai seseorang yang baru saja berbelok dari lorong sebelah kiri, membuat Nigi tidak bisa menghentikan gerakannya karena kehadiran orang itu yang begitu tiba-tiba. Bahkan teriakan Aura beberapa detik sebelum pedang bambu itu mengenai seorang pemuda berseragam Atlanta tidak mampu menghentikan pukulan Nigi yang sudah terlanjur terayun dan berakhir di kepala pemuda itu. Aura meringis, sementara Nigi yang sempat membeku dengan mulut terbuka buru-buru mengembalikan kesadarannya. “Maaf! Gue nggak sengaja! Suer! Bener-bener nggak sengaja! Sumpah itu sama sekali nggak disengaja!” Pemuda di hadapannya bergeming. Hanya terlihat beberapa kali mengusap kepalanya yang terkena serangan Nigi. Sementara Aura yang sejak tadi memperhatikan pemuda itu tidak melihat ada ekspresi yang berarti pada wajah korban pemukulan yang dilakukan sahabatnya. Bahkan tidak juga terlihat raut kesakitan karena pukulan Nigi. Padahal Aura sangat yakin pukulan Nigi akan terasa sangat menyakitkan karena pemuda itu tidak memakai pelindung kepala yang biasa dipakai Nigi dan lawan-lawannya. Mengingat bagaimana suara benturan saat pedang bambu dan kepala pemuda itu beradu saja sudah membuat Aura meringis sendiri. Kembali pada Nigi yang kini merasa tidak mendapat respon atas permintaan maafnya, gadis yang sejak tadi terpejam dengan kedua telapak tangan bertautan satu sama lain di depan d**a itu perlahan membuka mata dan menatap pemuda di hadapannya dengan sebelah alis terangkat. “Gue bilang gue minta ma—” belum sempat Nigi menyelesaikan kalimatnya, pemuda di hadapannya justru berlalu tanpa kata, hanya sedetik setelah tatapan mata mereka bertemu. Dengan ekspresi datar pemuda itu melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda karena insiden barusan, melewati Nigi dan Aura yang masih terdiam di tempat. Nigi masih memandangi punggung pemuda itu yang kian menjauh. Keterpakuan Nigi pecah saat pemuda itu hilang dari pandangan. Saat kembali dari lamunan gadis itu baru sadar bahwa dirinya diabaikan. Merasa kesal karena sikap yang dia terima atas permintaan maafnya yang tidak digubris, Nigi berdecak marah. “Cih! Sikap macam apa itu?! Gue minta maaf malah dicuekin gitu aja! Dasar orang aneh, nggak bisa ngomong kali tuh cowok ya, Ra?” sungut Nigi mengacungkan pedang bambunya ke arah pemuda itu pergi. Aura menghela napas panjang. Menatap sinis sahabatnya itu. Dengan malas dia meraih lengan Nigi dan menyeret pergi, sebelum makian Nigi pada pemuda itu semakin panjang dan menjadi. *** “Nigi pulang!” Tidak ada jawaban. Tidak ada yang dia jumpai pula saat melewati ruang tamu, tapi saat langkahnya memasuki ruang tengah, di sofa yang menghadap televisi, saudara kembarnya—Noel sedang asik menonton National Geographic yang sedang disiarkan. “Kenapa lo?” Noel melirik Nigi yang kini menghempaskan diri di sampingnya, “Kalah tanding?” tanya Noel menyelidik, mendapati wajah adik kembarnya yang terlihat kusut bukan main. Nigi mendengus, balas menatap Noel dengan mata menyipit. “Enak aja! Gue menang tahu! Jadi jangan harap lo bebas dari janji lo yang mau beliin gue peralatan kendo baru!” Noel tertawa, mengacak rambut Nigi yang terlihat menggemaskan jika sudah bersungut seperti itu. Dengan sebal Nigi menyingkirkan tangan pemuda di sampingnya yang terlihat menikmati kekesalannya saat ini. “Terus kalau menang, kenapa muka lo jelek kayak gitu?” Nigi melipat kedua tangannya di depan d**a, dengan tatapan lurus ke depan gadis itu menyorotkan rasa kesalnya yang belum mereda sejak tadi. “Ketemu cowok muka datar nyebelin.” Senyum Noel terlukis di bibir tipisnya. Memperhatikan wajah gadis di sampingnya lamat-lamat dengan senyum misterius. Tapi setelahnya, pemuda itu kembali menjatuhkan pandangan pada layar televisi. “Oh jadi sekarang udah tertarik cowok.” Nigi menoleh, menghujamkan tatapan membunuh pada Noel. “Dih! Nggak sama cowok nyebelin kayak tuh orang juga!” Noel mengangkat bahu tak acuh. “Seenggaknya cowok, itu pasti jadi kabar gembira buat Mami. Abis Mami sampe rewel gitu sama gue, takut lo nggak normal karena nggak pernah kelihatan naksir cowok.” Nigi berdiri, mengambil tas sekolah yang tadi dia lempar ke sofa, menatap kesal saudara kembarnya yang selalu berhasil membuat emosinya lebih menjadi di saat seperti ini. “Lo sama Mami nyebelin! Nggak pernah naksir cowok bukan berarti nggak normal!” teriak Nigi emosi. Dia hentakan kakinya meninggalkan ruangan itu, baru beberapa langkah ayunan kaki Nigi terhenti karena kehadiran Mami yang tersenyum sumringah di depannya. “Eh, anak paling cantik kesayangan Mami udah pulang. Gimana pertandingannya?” “Menang!” seru Nigi sebal, lantas berlalu menaiki tangga menuju kamarnya. “Kalau menang kok cemberut gitu, Sayang?” Nigi membanting pintu kamarnya penuh emosi. Di saat seperti ini masih saja kembarannya itu memperburuk suasana hati. Apalagi pernyataan Noel yang menyampaikan kekhawatiran Mami tentangnya. Tentang “ketidaknormalan” karena dia tidak pernah terlihat menyukai laki-laki? Menggelikan! “tidak terlihat” bukan berarti “tidak pernah” menyukai lawan jenis bukan? Nigi hanya terlalu baik menyimpan perasaannya selama ini, hingga hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. Merebahkan tubuhnya di ranjang, Nigi memalingkan wajah pada jendela kamar yang terbuka. Menikmati semilir angin yang masuk mengibarkan gorden putih pada jendela kamar. Tatapan gadis itu menerawang seolah mencari sesuatu, sesuatu yang terasa sangat jauh darinya. Hingga hanya dengan mata tertutup lah dia bisa merasakan sesuatu itu terasa dekat. Perlahan kelopak mata itu bergerak melambat, semakin melambat hingga akhirnya tertutup rapat. Membawa Nigi pada dunia mimpi yang selalu dipenuhi harapan-harapan yang tidak bisa dia penuhi di dunia nyata. Termasuk tentang seseorang yang selama ini disimpannya dalam hati. [1] Pedang bambu/Pedang kendo [2] Peralatan pengaman bermain kendo [3] Pelindung kepala/Serangan target di kepala ketika memukul [4] Seragam Kendo
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD