2. Dua

1296 Words
Dentuman suara pintu mobil yang ditutup—mengejutkan pemuda yang sedang asik terpejam di balik kemudi mobilnya. Pengemudi mobil ford hitam itu mengusap wajah kesal, menahan amarah karena perbuatan seseorang yang kini sudah duduk tenang di sampingnya. “Saba! Gila, ngagetin gue aja lo!” Pemuda yang dipanggil Saba oleh si pengemudi mobil itu hanya bergeming tidak peduli, memasang sabuk pengaman dan kembali duduk dengan tenang tanpa merasa perlu mengeluarkan sepatah katapun sebagai permintaan maaf atau hanya sekedar basa-basi. Si pengemudi berdecak pasrah, sudah terlalu biasa menerima tanggapan dingin dari pemuda itu. “Balik ke rumah nih kita?” Saba mengangguk sebagai jawaban, lantas mengalihkan pandangannya ke kaca spion di sebelah kiri dan melihat pantulan dirinya di sana. “Bentar,” ucapan Saba itu membuat si pengemudi menghentikan gerakannya pada tuas kopling mobil, mengarahkan sepasang matanya kembali pada Saba. “Kepala gue aneh nggak?” “Hah?” pengemudi mobil yang bernama Rei itu menatap bingung pemuda yang juga merupakan sepupunya. Gagal paham dengan pertanyaan ambigu yang Saba tujukan padanya. “Otak lo yang aneh kayaknya,” sambung Rei dengan kekeh geli, berusaha mencairkan suasana. Tapi bukan Saba kalau tidak merusak semuanya. Sikap dingin dan ekspresi datar pemuda itu selalu mampu membuat siapa pun mati kutu jika sudah berurusan dengan Saba. “Elah, ambekan lo, kayak cewek lagi PMS. Kenapa sih memang?” “Lupain.” Rei memutar bola mata malas, tidak lagi memaksa sepupunya itu untuk bicara. Percuma, Saba bukan tipe orang yang akan cerita jika didesak, jadi tidak ada gunanya Rei menghabiskan waktu hanya untuk membuat Saba bicara. Setelah mobil itu meluncur di jalan raya, beberapa kali Rei melirik sepupunya itu untuk memastikan tidak ada yang serius dari topik yang tadi berusaha Saba angkat. “Lo beneran nggak apa-apa?” “Hem.” “Kepala lo?” Saba diam, menyisakan waktu hening yang membuat Rei lebih sering harus menahan sabar sendiri. “Sa,” panggil Rei berusaha menahan diri agar tidak berteriak. “Cuma kena serangan cewek kendo.” Akhirnya panggilan itu mampu membuat pemuda dingin macam Saba bicara. Menurut Rei ini bukan jenis desakan, Rei hanya berusaha memancing topik yang tadi ingin Saba bahas. Beruntungnya Saba kali ini kembali mau mengangkat topik itu meski tadi mood-nya sempat rusak karena lelucon Rei yang tidak pernah berhasil jika ditujukan pada orang macam Saba. Tapi—sebentar, tadi Saba bilang dia kena pukul? “Cewek kendo?” “Nevermind. Dari reaksi lo kelihatannya gue baik-baik aja.” “God, dilihat dari sisi manapun lo memang selalu kelihatan baik-baik aja. Karena ekspresi lo ya memang itu-itu mulu. Kalau nggak datar, dingin. Mau lihat bedanya di mana coba?” “Shut up.” Rei menarik napas panjang sebelum menghembuskannya perlahan. “Seenggaknya coba buat berekspresi lebih, biar gue bisa tau apa yang lo rasain, bukan malah nyimpen semuanya sendiri kayak selama ini. Itu kan yang Oma harap dari kepulangan kita ke Indonesia?” Pemuda dingin di sampingnya tetap lebih memilih bungkam. Menjatuhkan pandangannya keluar jendela, seolah sedang mencari objek yang lebih mengasikan dibanding mendengar ucapan Rei. Karena kalau boleh jujur, sudah hampir ratusan atau mungkin ribuan kali Saba mendengarnya dari berbagai macam orang. “Itu saran gue sebagai sepupu yang udah 17 tahun ini bareng lo, Sa.” Rei menghentikan percakapan mereka sampai di sana. Membiarkan pemuda di sampingnya hanyut dengan benaknya sendiri. *** Pintu kamar yang terbuka tanpa seizin si pemilik kamar membuyarkan konsentrasi Saba pada buku yang sedang dia baca di meja belajar. Tanpa perlu menoleh dan memastikan siapa yang berani melakukan hal lancang macam itu pun Saba sudah tahu pelakunya. “Oma nyuruh lo turun, makan siang sama-sama katanya. Mumpung kita ada di rumah.” Saba tidak segera beranjak, pemuda itu masih memilih diam membelakangi Rei yang kini menunggu. Gerakan tangannya melambat saat menutup buku yang sedang dia tekuni, seolah berupaya untuk mengulur waktu agar bisa mengajukan pertanyaan yang sejak setengah jam lalu bersarang di kepalanya. “Dia—pulang?” Mendapat pertanyaan ambigu seperti itu Rei sempat terdiam dan berpikir, sebelum benaknya langsung tersambung dengan apa yang Saba maksud dengan pasti. “Kak Arya maksud lo?” Saba mengangguk kaku. “Gue dengar suara mobil masuk garasi setengah jam lalu.” “Hem, Kak Arya pulang tadi pagi, tapi karena ada urusan di kantor makanya baru sampe rumah,” jelas Rei ragu. Dia tahu betul topik ini adalah topik yang paling Saba benci, tapi bukan sesuatu yang bisa pemuda itu hindari. “Lo—nggak apa-apa?” Tidak ada jawaban dari Saba, selain gerakannya yang bangkit dari kursi lantas berjalan melewati Rei meninggalkan kamar pribadinya. Melihat punggung Saba dari belakang membuat Rei menghela napas panjang. Dia merasa tidak pernah bisa membantu apa-apa ketika kemelut pikiran sepupunya itu overload seperti saat ini. Pada akhirnya Rei hanya mengikuti langkah Saba menuruni tangga dalam diam. Ketika menginjakan kaki di ruang makan, Saba disambut senyum hangat Oma yang kini menjadi orang tua satu-satunya yang dia dan kakaknya—Arya miliki. Oma menepuk kursi di sampingnya, mempersilakan Saba duduk di sana. Begitu pun dengan Rei yang duduk di samping Saba. “Sejak kalian kembali beberapa bulan lalu kita jarang sekali makan sama-sama. Sepertinya kegiatan sekolah dan kuliah kalian banyak sekali ya?” “Iya nih, Oma. Apalagi ini udah tahun kedua Rei di kampus, belum lagi harus adaptasi sama kampus baru.” “Maaf ya, Rei. Oma maksa kalian pulang dan malah bikin repot kamu karena harus pindah kampus segala,” sesal Oma. Rei menggeleng yakin. “Justru Rei seneng, karena jarang banget Saba mau disuruh pulang, apalagi alasan pulang kali ini untuk tinggal. Setelah bertahun-tahun berkelana di negeri orang.” Ucap pemuda itu, melihat sepupunya yang justru tetap bergeming. Oma tersenyum hangat menyambut ucapan Rei yang melegakan sedikit rasa bersalahnya. Lantas beralih menatap Saba. “Kalau kamu, Sa? Gimana sekolahnya? Menyenangkan?” Saba hanya mengangguk sebagai jawaban, membuat Oma tersenyum. Setidaknya cucu bungsunya itu merespon apa yang dia katakan, hal yang menurut Oma sudah jauh lebih dari cukup. Bahkan bisa melihatnya saja sudah sangat memuaskan bagi Oma sebenarnya. “Kamu itu terlalu lama tinggal di luar negeri, Sa. Sampai asing sama negeri sendiri,” Oma meletakan piring berisi lauk pauk yang disiapkannya di hadapan Saba, mengambil piring kosong Rei sebagai gantinya. Saat itulah Arya masuk ke ruang makan tempat Oma, Saba, dan Rei berada. Mengedarkan pandangannya pada semua objek di ruangan itu, tapi ketika matanya mengarah pada Saba yang berada di samping Oma, pria itu langsung merubah tatapan hangatnya menjadi sedingin es antartika. “Arya, ayo kita makan sama-sama,” ajak Oma terdengar riang. Jarang sekali suasana rumah itu ramai seperti hari ini. Belum lagi semua cucunya berkumpul di tempat yang sama, setelah bertahun-tahun mereka selalu berusaha menghindari satu sama lain. Arya tersenyum miring, melirik Saba yang menunduk di tempatnya. “Oma tahu sendiri nafsu makan Arya hilang kalau ada dia,” tatapan Arya yang semula terarah pada Oma berpindah pada Saba. Mendengar jawaban sinis Arya membuat Oma menghembuskan napas panjang, mengamati kedua cucunya bergantian. “Sampai kapan kalian akan seperti ini? Sudah waktunya—” “Maaf, Oma. Sepertinya Saba harus pergi, Saba lupa ada janji sama teman,” ucap Saba lantas berdiri, meninggalkan meja makan tanpa menunggu reaksi Oma akan ucapannya. Rei ikut berdiri, mengejar langkah sepupunya itu setelah berpamitan pada Oma. “Janji? Gue nggak tahu lo punya janji. Gue kira lo masih belum punya temen di sekolah,” suara interupsi Rei menghentikan langkah Saba yang tergesa meninggalkan tempat di mana Oma dan Arya berada. Pemuda itu menghentikan langkahnya, namun tidak berbalik untuk berhadapan dengan Rei. “Bukan dalam artinya yang negatif,” Rei segera menambahkan, tidak ingin sepupunya itu salah kaprah atas ucapannya. “Gue mau istirahat, Rei. Seenggaknya lo tahu jelas apa arti istirahat yang gue maksud.” Tentu saja. Tentu saja Rei lebih dari tahu maksud sepupunya itu dari yang semestinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD