Hisc 5

1134 Words
Sava termenung sendiri di kamarnya, duduk di tengah kasur dengan perasaan hampa. Segala usaha sudah dilakukan, tapi kenapa tak membuahkan hasil juga? Ke mana istrinya? Di mana dia sekarang? Dan banyak pertanyaan lain yang membuat laki-laki itu terpuruk. Sava rindu Leilani. Aroma tubuhnya, kebiasaannya, kesibukannya dan kebersamaannya sebelum ke tempat kerja. Deg. Laki-laki itu berlonjak. Kenapa tak pernah terpikirkan sebelumnya? Tempat kerja, kenapa dia tidak melacak semua tentang kegiatan istrinya. Mungkin saja ada teman kerjanya yang mengetahui keberadaan Leilani. Dengan cepat Sava bergegas ke ruangan kerja istrinya. Dia mencari buku agenda sang istri, mencari tempat yang sekiranya sering dikunjungi Leilani. Sava terus mencoba menghubungi satu per satu teman bisnis Leilani. Tetapi, tak ada hasil. Mereka semua tidak mengetahui keberadaan Leilani, yang ada hanya ucapan ikut bersedih atas musibah yang menimpa mereka. Sava terduduk lemas di kursi kebesaran istrinya. Ditatapnya foto mereka berdua yang tengah tersenyum bahagia. Ada foto Elma dan Demas juga di sampingnya. Laki-laki itu mengelus laptop kesayangan Leilani. Benda yang begitu penting bagi istrinya. Lalu, tiba-tiba laki-laki itu terdiam. Dia menatap aneh laptop sang istri. Sebelah alisnya dinaikkan dan tangannya mulai menghidupkan benda itu. Sava mencari informasi dari laptop Leilani. Mungkin saja usahanya akan membuahkan hasil. Isi benda itu hanya file penting. Namun, Sava tak kehabisan akal. Dia menelusuri sosial media sang istri. Mencari informasi apa pun tenang Leilani. Namun, semua tetap tak ada hasil. Laki-laki itu menyandarkan punggung di sandaran kursi hitam milik Leilani. Matanya menerawang entah ke mana. Dia lelah, amat lelah. Tetapi, apakah harua menyerah begitu saja? Tentu tidak. Leiani adalah separuh jiwanya. Suara pintu dibuka menghalau Sava. Seorang anak kecil berlari dengan mata berkaca-kaca. Siapa lagi kalau bukan Demas. Anak bungsunya itu mulai menangis kala sang ayah menghampirinya. “Demas, kenapa, Nak?” tanya Sava berjongkok di depan Demas. Laki-laki mungil itu terisak sembari mengusap air matanya. Dia berhenti sejenak untuk berbicara. “Pa, Mama mana? Kata Papa, Mama akan pulang.” Seketika mata Sava memanas. Pertanyaan yang wajib dilontarkan anak bungsunya setiap kali Sava pulang ke rumah. Sesak, sungguh sesak. Tak ada jawaban untuk pertanyaan anaknya, tapi tak mungkin juga dia berkata yang sebenarnya. Sava mengembuskan napas sejenak sebelum berucap. Dia harus tenang, demi anak-anaknya. “Demas, Mama pasti pulang. Tapi bukan sekarang,” ujar Sava menatap dalam mata anaknya. “Kapan?” tanya sang anak, penuh harap. Sava berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi, belum juga berucap, suara pintu dibanting dan muncullah Elma dengan sopirnya. Sava dan Demas terkejut. Laki-laki itu berdiri dan menghampiri putrinya yang bermata sembab juga hidung memerah. “Elma kenapa? Kok pulang sekolah malah banting pintu?” tanya Sava lembut sembari membelai surai halus milik anaknya. Elma yang awalnya diam cemberut, tiba-tiba terisak. Gadis kecil itu mengucek kedua matanya yang berair. “Pa, Mama enggak kabur sama laki-laki lain, kan?” tanya Elma membuat jantung Sava tersentak. Sang ayah tak langsung menjawab, dia malah menatap sopirnya yang bermuka khawatir. “Apa yang terjadi, PaK?” tanya Sava pada sopirnya. Sang sopir meremas kedua tangannya sendiri. Dia takut jika majikannya murka. “Em, kata guru Non Elma. Non Elma habis berantem karena temannya mengatai kalau Nyonya kabur dengan laki-laki lain,” terang sang sopir seperti sebuah benda berat menghantam kepala Sava. Laki-laki itu diam sejenak. Dia mencoba menenangkan hatinya yang mulai kalut. Leilani tidak mungkin seperti itu. Dia tahu seperti apa istrinya. Sava mendudukkan Elma di sofa yang ada di sana, disusul dengan Demas. Laki-laki itu jongkok menghadap kedua anaknya. “Dengarkan Papa, Elma, Demas. Mama tidak kabur dengan laki-laki lain. Mama pasti pulang, hanya saja sekarang Mama sedang ada urusan. Nanti, kalau urusan Mama sudah selesai, Papa yakin Mama akan pulang. Jadi, Demas harus ceria biar Mama enggak sedih. Elma juga jangan dengarkan perkataan teman-teman yang menjelekkan tentang Mama. Kita harus setia menunggu Mama pulang, mengerti?” Kedua anaknya mengangguk. Mereka masih kecil, tapi tahu apa yang dimaksud oleh sang ayah. Yang pasti, Sava maupun kedua anaknya menunggu Leilani kembali. *** Pagi itu, Sava bangun dengan rasa pegal di sekujur tubuh. Badannya terasa menggigil. Laki-laki itu rasa dia tengah sakit. Berinisiatif, Sava pun mengecek tubuhnya sendiri dengan termometer. Dan benar, 38 derajat celcius. Dia demam. Ingin rasanya dia pergi ke kantor walau keadaan tengah tak baik. Tetapi, tubuhnya benar-benar lemah. Dia pun menghubungi Nadine dan mengatakan jika dia tak bisa masuk kerja. Sava harus istirahat. Mungkin dia kelelahan mencari Leilani, ditambah mengurusi kedua anak dan perusahaannya. Bukan hanya badan, tapi hati dan pikirannya pun lelah. Setelah minum obat, Sava langsung terlelap. Dia menyerahkan Elma dan Demas ke pembantunya sementara. *** Senja sudah menghiasi ufuk barat. Sava terbangun saat pembantunya mengatakan jika ada Nadine datang berkunjung. Awalnya Sava tak percaya, tetapi saat batang hidung gadis itu terlihat barulah Sava percaya. “Bagaimana keadaan Bapak?” tanya Nadine sembari meletakkan sekotak bubur di meja ruang tamu. Ya, mereka sekarang berada di ruang tamu. Sava heran dengan kedatangan Nadine. Tidak seperti biasanya. “Sudah mendingan. Ada apa kamu sampai datang ke mari?” tanya Sava to the point. Wajah Nadine memerah dengan mimik malu. “Saya hanya ingin tahu keadaan Bapak. Mengingat apa yang sedang terjadi pada Bapak, mungkin saya bisa membantu Bapak,” ujar Nadine membuat Sava bingung. Sava mengernyit, semakin bingung dengan arah pembicaraan sekretarisnya.“Membantu apa, Nadine?” “Em, saya bisa bantu mengasuh kedua anak Bapak bila berkenan. Mungkin, dengan begitu Bapak tidak akan sakit karena terlalu capek,” jawab Nadine. Sava langsung menolak tawaran Nadine. Dia merasa masih bisa untuk melakukan semua itu. “Tapi, buktinya Bapak sakit. Itu berarti Bapak butuh bantuan dan mengurangi aktivitasnya.” Sava langsung terdiam. Benar juga perkataan Nadine. Mungkin dia butuh seseorang untuk membantunya selama pencarian Leilani. “Baiklah, saya akan pertimbangkan,” ucap Sava yang hanya dihadiahi senyuman oleh Nadine. *** Demas tampak tengah tertawa lepas bersama Nadine. Anak kecil itu seolah melupakan sejenak tentang ibunya. Berbeda dengan Elma yang menatap Nadine dari kejauhan. Sudah beberapa hari ini Nadine mengasuh kedua anak Sava. Setelah pembicaraan waktu itu, Sava meminta izin pada orang tua dan mertuanya untuk mengizinkan Nadine mengasuh kedua anaknya selama pencarian Leilani. Awalnya, kedua belah pihak menolak. Tetapi, melihat keseriusan Sava dalam mencari Leilani akhirnya mengizinkan dengan syarat Sava tidak akan berpaling dari Leilani. Tentu saja laki-laki itu menyetujuinya. Semenjak Nadine ada, Demas kembali ceria walau kadang-kadang sesekali menangis mengingat Leilani. Namun, dengan sigap Nadine menenangkannya. Sava bisa tenang. Dia pun bisa fokus pada pekerjaan dan istrinya. Penolakan didapat Nadine justru dari Elma. Gadis kecil itu tak suka dengan kehadiran Nadine. Dia takut posisi ibunya digantikan oleh pegawai sang ayah. Saking antipati nya, Elma pernah mengancam Nadine. “Aku tidak suka Tante di sini. Enggak akan ada yang bisa gantiin Mama!” sentak Elma saat itu. Nadine tersenyum samar. Dia paham ketakutan Elma. Dan gadis itu pun tak mengambil hati dari perkataan Elma. Dia hanya berniat untuk membantu bosnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD