Hisc 6

1213 Words
Dua bulan telah berlalu, Sava masih berusaha untuk mencari keberadaan Laelani. Dia yakin, istrinya masih hidup. Karena keyakinannya lah, Sava menyewa Editya Marlis, seorang detektif handal. Kebetulan Editya itu teman lama Sava semasa kuliah, jadi lebih leluasa untuk mencari keberadaan Laelani. Hari ini pertemuan mereka di kantor Sava. Wajah tampan itu tampak semakin tirus, berbeda dengan masa dulu atau saat Laelani masih ada. Editya memandang iba temannya. “Jadi, informasi apa yang bisa aku gali untuk mencari istrimu, Sav,” ujar Editya setelah dipersilakan duduk oleh Sava. Sava menghela napas sejenak, sungguh ini adalah kejadian yang amat perih untuk kembali diceritakan. Tetapi, demi menemukan Leilani, dia harus melakukannya. Sava pun menceritakan kronologi hilangnya Laelani bak ditelan bumi saat hari ulang tahun pernikahan mereka. Bahkan, laki-laki itu juga menceritakan perjuangannya untuk mencari istrinya selama ini. Wajah putus asa begitu kentara terlihat di raut Sava. Editya serasa tengah menerima konsultasi dari seorang pasien yang butuh psikiater dibanding sebagai detektif. Namun, Editya tetap diam dan mendengarkan cerita temannya hingga usai. “Jadi, selama 2 bulan tidak ada satu pun usahamu yang membuahkan hasil?” tanya Editya, tak percaya. Kalau mendengar dari cerita Sava, kemungkinan sudah keluar banyak biaya walaupun hasilnya tak ada. Sava menunduk dalama sembari memegangi kepalanya yang berdenyut. Ingin dia menangis, tapi tak mungkin. Dia seorang laki-laki dan harus kuat mental. “Ya, memang begitu kenyataannya. Jadi, tolong temukan Laelani,” ungkap Sava, lesu. Editya pun menyanggupinya. Anggaplah ini pertolongan kepada teman. Mulai besok, dia pun akan mulai penyelidikan. *** Editya me-list nama-nama yang patut dicurigai. Sasaran pertamanya adalah mantan Laelani. Kenapa dia mencurigai mantan Laelani? Karena kemungkinan dari masa lalu yang gagal move on, atau tidak terima jika Laelani bahagia dengan Sava. Laki-laki itu terus menggali informasi tentang mantan Laelani. Dari mulai tempat tinggal, tempat kerja sampai aktivitas sehari-harinya tak terlewatkan. Pencariannya hampir memakan waktu satu minggu. Namun, saat target mulai dicari celah kesalahan, asumsi Editya pun terpatahkan. Mantan Laelani menikah dengan perempuan lain. Editya memberikan laporan pada Sava dengan wajah menyesal. Ya, ada sesal karena menghabiskan waktu pada target yang salah. Namun, semua itu risiko. Setidaknya Editya dan Sava tak menaruh curiga pada mantan Laelani. Lalu, tiba-tiba Editya melihat Nadine yang tengah bermain dengan kedua anak Sava. Jiwa detektifnya pun muncul. *** Esoknya Editya kembali datang ke rumah Sava untuk menceritakan kecurigaannya terhadap Nadine.Dan, tanggapan Sava di luar dugaan. “Gak, dia enggak mungkin kayak gitu. Kalau emang dia berniat mencelakakan Laelani, tidak mungkin dia membantuku sampai sejauh ini. Menjaga anak-anak pula,” sergah Sava sembari menunjuk Nadine yang tengah bermain dengan kedua anak Sava. Dari raut wajah kedua anak Sava, terlihat keceriaan. Sekarang, mereka bahkan lupa jika ibunya tidak ada. “Sorry, siapa aja bisa berkemungkinan jadi tersangka. Tapi, melihat Nadine sepertinya tidak demikian.” Editya berucap dengan tak enak hati. Sava tak menimpali, dia hanya meremas rambut, frustasi. Bukan karena kabar dari Editya yang tak membuahkan hasil, tapi karena Sava juga mendengar kabar dari orang tua dan juga mertuanya. Orang tua dan kedua mertua Sava sampai menemui orang pintar. Namun, hasilnya tetap sama. Tak ada. Sava di ambang putus asa. Bagaimana lagi dia harus mencari Laelani? === Waktu bergulir begitu cepat, hingga tak terasa sudah tiga bulan berlalu. Seperti waktu-waktu sebelumnya, tidak ada perubahan ataupun hasil dair pencarian Laelani. Namun, di lubuk hati terdalam, Sava masih benar-benar menantikan keajaiban. Hari libur seperti sekarang adalah moments yang paling menyiksa, karena bayangan akan kehangatan keluarga harmonis begitu kental di ingatan. Biasanya, mereka berempat menghabiskan waktu bersama. Saling bercengkerama. Tetapi, sekarang semua berbeda, amat berbeda. Walaupun tampaknya kedua anaknya sudah ceria seperti dulu, tapi tidak dengan Sava. Rasa cintanya pada Leolani begitu dalam, hingga untuk menghapusnya amatlah sulit. Suara ketukan pintu menginterupsinya. Tanpa disuruh, ART di sana membuka pintu. Ternyata, orang tua dan mertuanya datang bersamaan. Sava yang kaget dengan kedatangan empat orang itu terlihat kebingungan. Dia mempersilakan dua pasangan paruh baya itu untuk duduk. "Ada apa sampai kemari berbarengan?" tanya Sava, masih tampak bingung. "Bagaimana pencarian Laelani?" tanya mertua laki-lakinya, tiba-tiba. Sava diam sejenak, lalu embusan napas terdengar jelas di telinga keempatnya. "Masih sama, Yah," jawab Sava, sendu. Sang ayah mertua menekan pangkal hidungnya. Dia tak menyangka jika anaknya menghilang tanpa jejak. Sedangkan, Ibu mertua Sava hanya mampu terisak. Bagaimanapun, Laelani adalah anaknya. Tak ada orang tua yang rela kehilangan seorang anak. "Nak, kami sudah sepakat untuk menghentikan pencarian istrimu," cetus Ibu Sava, tiba-tiba. Sava menautkan kedua alisnya. Dia merasa tak enak hati mendengar kalimat ibunya. Sedangkan, di sana ada orang tua Laelani. "Ma, kenapa Mama bicara itu di dep--" "Yang dikatakan mamamu benar, Sava," sela ayahnya. "Kami berempat sudah sepakat menghentikan pencarian. Dan, kami juga mengikhlaskan Laelani." Kali ini Ayah mertuanya yang membuka suara. Sava menggelengkan kepala kuat. Dia tidak mau menyerah. Tidak sebelum Laelani ditemukan dalam keadaan hidup ataupun mati. Laki-laki itu bertahan karena ada dukungan dari orang tua dan mertuanya. Lalu, kalau sudah begini, dia harus bagaimana? "Kenapa kalian menyerah? Laelani belum ditemukan. Kenapa seperti ini?!" Sava masih tak terima dengan keputusan kedua belah pihak itu. "Nak, kami pun ingin agar Lani ketemu. Tapi, lihatlah sekarang! Tak membuahkan hasil. Lebih baik, kamu lanjutkan hidup agar anak-anakmu bisa terurus dengan benar. Lupakan Laelani," papar Ibu mertuanya. Sava masih tak percaya jika orang tua Laelani sendiri yang mengatakan itu. Kepalanya berdenyut memikirkan semua keputusan ini. "Sava, bukalah lembaran baru dengan anak-anak kalian. Kalian harus tetap hidup dengan bahagia. Lagipula ... ada Nadine yang bisa menggantikan Laelani. Gadis itu baik juga menyayangi kedua anak kalian," ungkap ibunya. Sejenak, Sava terdiam. Benar, Nadine sudah mengembalikan keceriaan kedua anaknya. Namun, hatinya tidak pernah memberikan ruang untuk mantan sekretarisnya itu. Cintanya hanya untuk Laelani. Sava tak memberikan jawaban pasti. Laki-laki itu hanya berkata, jika belum bisa mencintai wanita lain, selain istrinya. *** Sejak kejadian itu, Sava tak mau lagi membahas tentang Nadine ataupun yang berkaitan dengan wanita lain. Dia hanya fokus pada kedua anaknya, dan tentu mencari keberadaan Leilani walau tanpa sepengetahuan mertua dan kedua orang tuanya. Hingga suatu hati satu insiden berubah tekad dan menggoyahkan perasaannya. Ya, saat Demas terjatuh dari sepeda. Sava benar-benar syok. Dia bahkan rela meninggalkan meeting demi melihat keadaan anak bungsunya. Segala ketakutan sudah menghantui Sava, terlebih mendengar kabar jika Demas kehilangan banyak darah. Sesampainya di rumah sakit, Sava langsung menemui sang dokter yang baru keluar dari IGD. "Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Sava, cemas. "Anak Anda kritis. Dia butuh donor darah O. Tapi, di sini stoknya terbatas, Pak. Jadi, kami harus menghubungi PMI dulu," papar sang dokter membuat Sava semakin khawatir. "Apa harus menunggu dulu? Dan, berapa lama sampai anak saya bisa selamat?" Sava masih ketakutan setengah mati. Belum juga dokter itu berucap, tiba-tiba Nadine yang sedari tadi di sana pun mengajukan diri. "Biar saya saja yang mendonor, Pak. Kebetulan darah saya O," ucap Nadine menjadi perhatian kedua laki-laki di depannya. "Benarkah? Kalau begitu, ayo! Kita tidak punya banyak waktu lagi!" seru sang dokter sembari berjalan, dan diikuti oleh Nadine. Sava tercenung melihat sikap Nadine. Nuraninya tersentuh. Dia tak menyangka jika Nadine rela mendonorkan darahnya. Rasa kagum mulai menyusup hati. Dan, kekaguman itu berlanjut saat Demas berhasil melewati masa kritisnya. Dengan telaten dan penuh kesabaran, Nadine merawat Demas yang kadang merengek dan rewel. Sava seperti melihat sosok keibuan dari Nadine. Laki-laki itu pun mulai berpikir dan mempertimbangkan usulan orang tuanya. Namun, hati kecilnya masih bertahta nama Laelani. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD