Semburat jingga sudah menghiasi cakrawala di ujung barat, dan Sava tentu saja masih mondar mandir keluar masuk rumah, berdiri di teras, memandang ke ujung jalan, menunggu dan berharap istrinya kembali. Tidak apa kalau istrinya kembali dalam kondisi marah dan kesal karena mungkin saja cake nya ternyata sudah dikirim ke alamat lain. Atau sudah rusak dan lain sebagainya. Atau mobil yang dibawanya mogok di tengah perjalanan. Entah dimana kerusakannya, Lani tidak pernah tahu soal mobil. Selama ini dia selalu mengandalkan Sava untuk memperbaiki atau membawa ke bengkel, sementara Lani hanya siap memakainya saja. Atau ada sesuatu yang menghalangi mobil Lani untuk melaju, lalu saat mau menelepon, ponselnya kehabisan daya, dan lain-lain … dan lain-lain. Bahkan tidak apa Lani kembali dalam keadaan mabuk sekalipun, yang penting Lani benar-benar kembali kepadanya!
Sava sungguh-sungguh merasa kesepian tiap kali pulang ke rumah, karena meski sibuk, Lani selalu berusaha kembali pulang duluan dari butiknya hanya untuk menyambutnya pulang kerja dan menyiapkan makan malam
Laki-laki itu selalu berharap, sosok wanita yang dicintainya akan muncul dari balik pintu besar itu. Namun, semua seolah hanya angan yang tak akan pernah melangit.
Seminggu sudah Leilani hilang tanpa jejak. Hari yang seharusnya jadi momen bahagia, malah berakhir nestapa. Sava terpuruk, separuh jiwanya menghilang.
“Lani ... kamu di mana, Sayang?” lirih Sava dengan mata sendu, masih menatap pintu utama.
Harusnya, dia sendiri yang mengambil kue itu. Atau, harusnya dia ikut serta dengan Leilani. Dan masih banyak penyesalan yang terus menumpuk di otak Sava. Tetapi, semuanya tak ada guna lagi. Leilani hilang tanpa jejak.
Sejauh ini, Sava sudah melakukan yang terbaik untuk mencari keberadaan istrinya. Polisi, kenalan,teman-temannya pun sudah ikut mencari, sampai Sava berani mendatangi orang pintar demi menemukan keberadaan Leilani. Tetapi, sekali lagi semua tak membuahkan hasil. Leilani seolah ditelan bumi.
Hingga yang bisa dia lakukan adalah menyewa detektif sembari mengurus kedua anaknya. Hanya itu cara yang tersisa. Sava tidak mau patah arang. Baginya Leilani segalanya, dia yakin istrinya akan ditemukan.
“Pak, maaf. Makan malam sudah siap,” ujar pembantu Sava menginterupsi.
Sava menoleh, tersenyum hambar. “Nanti saja, Bi. Saya belum lapar,” timpal Sava, seperti biasanya.
Sang pembantu menatap iba tuannya. Kehangatan dan keceriaan di rumah ini sirna sejak Leilani tak ada. Semua berganti dengan keheningan dan tangisan pilu dari kedua anak kecil di sana. Namun, dia tak bisa berbuat banyak. Dia tak ada hak untuk menasihati jika tidak diminta.
Saat sang pembantu hendak berbalik, langkah kaki kecil si bungsu mendekati laki-laki yang kembali termenung menatap daun pintu utama.
“Pa, Mama ke mana? Kok enggak pulang-pulang?” tanya Demas dengan mata penuh harap.
Sava tak menjawab, dia malah menatap dalam anak bungsunya. Jelas ada kerinduan yang menggunung dari kedua bola mata itu. Pertanyaan itu, seolah menjadi sesuatu yang wajib dilontarkan oleh kedua anaknya. Dan Sava dengan sekuat hati mencoba membuat anak-anaknya mengerti.
Benar, dia harus kuat untuk kedua anaknya. Setidaknya itulah yang menjadi alasan dia tetap menjaga kewarasan sampai saat ini.
“Mama pergi sebentar, nanti pulang kok. Kita tunggu Mama, ya?” papar Sava mencoba menghibur Demas.
Anak kecil itu masih menatap mata sang ayah. Dia seolah mencari kejujuran di sana. Seorang anak akan selalu mencari orang tuanya, itu faktanya.
“Demas kangen Mama,” lirihnya mulai berkaca-kaca.
Sesak d**a Sava mendengar suara itu. Dia pun merasakan itu. Rindu, takut dan kehilangan. Hanya saja, dia harus kuat. Masih ada dua malaikat yang akan sedih jika dia rapuh.
Sava mencoba tersenyum. “Iya, Sayang. Papa juga kangen Mama. Sekarang, Demas makan dulu, ya. Kalau Mama sampai tahu Demas enggak makan, nanti marah lho,” ungkap Sava mencoba mengalihkan perhatian Demas.
Laki-laki kecil itu mendongak, diam sesaat lalu mengusap air matanya yang baru saja jatuh.
“Iya, Pa. Demas mau makan, biar Mama cepat pulang. Demas janji enggak akan nakal kalau Mama pulang,” ujarnya sembari terus mengusap air mata yang masih meleleh.
Sava tak kuasa lagi. Dia rengkuh anak bungsunya ke pelukan. Usapan halus di kepala semakin memperjelas kalau mereka benar-benar terpuruk.
Papa janji akan menemukan Mama.
***
Hari telah berganti, pun mentari hadir mengganti malam. Laki-laki gagah itu termenung di meja makan, menatap berbagai makanan yang terhidang. Matanya lalu beralih pada kedua anaknya yang tampak murung.
Masakan di sana tampak lezat, tapi akan terasa hambar tanpa Leilani. Sava rindu aktivitas pagi seperti dulu. Celoteh pagi yang akan menjadikannya laki-laki paling gombal untuk sang istri.
Laki-laki itu menunduk sambil menghela napas. Sekarang bukan saatnya untuk bernostalgia, dia harus menjalankan perannya sebagai Ayah sekaligus Ibu.
“Nah ... Elma, Demas ayo makan! Kalian harus sarapan biar pintar sekolahnya,” ucap Sava memulai pembicaraan.
Kedua anaknya menatap pada sang ayah. Mereka bingung harus menjawab apa. Keduanya benar-benar masih sedih dan kehilangan.
“Pa, Elma enggak mau sekolah,” ujar gadis kecil, sedih.
Sava tertegun. Dia tahu alasan anak sulungnya berujar seperti itu. Namun, dia tidak mau sampai anaknya terpuruk. Mungkin dengan sekolah, mereka berdua bisa terhibur dengan keberadaan teman-teman dan juga gurunya.
“Kenapa? Kan di sekolah asyik bisa ketemu teman dan Bu Guru,” timpal Sava mulai membujuk.
Elma terlihat cemberut. Dia menyenderkan bahunya di sandaran kursi.
“Elma mau nunggu Mama. Kata Demas, Mama pasti pulang, ‘kan?” Gadis kecil itu menatap sang adik meminta dukungan. Laki-laki kecil itu pun mengangguk mantap sambil memasukkan roti selai ke mulutnya.
Sava menghela napas panjang. Ini benar-benar sebuah ujian kesabaran baginya. Entah bagaimana Leilani bisa menghadapi berbagai pertanyaan dan kemauan kedua anaknya tanpa mengeluh.
“Elma, dengarkan Papa. Mama pasti pulang, tapi Elma dan Demas harus tetap sekolah. Kalau sampai Mama tahu Elma dan Demas bolos, pasti Mama marah dan sedih, ‘kan?”
Seketika kedua anak kecil itu terdiam. Mereka lalu saling memandang. Mata cantik itu meredup.
“Gimana? Mau Mama sedih dan marah?” tanya Sava pelan. Kedua anaknya menggeleng.
“Nah, kalau gitu ayo sarapan! Nanti kita berangkat ke sekolah, ya?” Kedua anaknya hanya menjawab ‘iya’ secara bersamaan.
Entah sampai kapan Sava harus bersikap seperti ini. Namun, dia tidak akan pernah menyerah sampai Leilani ditemukan.
***
Nadine menyodorkan makan siang untuk bosnya. Dia begitu prihatin melihat perubahan pada Sava. Wajah itu selalu muram sejak seminggu yang lalu.
Atasannya akan banyak diam jika tidak ada pekerjaan penting, duduk di kursi kebesarannya sembari menatap kaca jendela besar di ruangan itu.
Selama seminggu, Nadine selalu berinisiatif membawa makanan untuk Sava. Itu karena Sava tak pernah keluar dari kantornya saat jam maka siang. Berulang kali Nadine selalu mengingatkan Sava untuk menjaga kesehatan. Namun, laki-laki itu akan diam tanpa menjawab.
“Pak, saya bawakan makan siang untuk Bapak,” ucap Nadine, berdiri sambil menatap Sava yang duduk membelakanginya.
“Hm.” Seperti biasa, hanya gumaman yang menjadi jawaban. Dan saat jam pulang, makanan itu masih tersimpan utuh di tempatnya, tanpa berkurang sedikit pun.
Apa Nadine sakit hati? Tidak, justru dia iba. Dia tahu apa yang tengah menimpa dan dirasakan atasannya. Nadine juga tahu jika laki-laki itu sempat menitikkan air mata. Namun, dia tak bisa berbuat banyak. Hanya bisa mendukung dan mengingatkan Sava.