bc

Dropping The Tears

book_age18+
321
FOLLOW
2.2K
READ
possessive
family
age gap
arranged marriage
CEO
drama
tragedy
bxg
heavy
serious
like
intro-logo
Blurb

Ketika sebuah hati terbagi menjadi dua. Setiap potongan tidak memiliki ukuran yang sama...

Ketika perasaan terbagi dua...

Maka cinta yang satu tentu lebih besar dari cinta yang lainnya...

Terkadang manusia bisa selucu itu...

"Di dunia ini ada seseorang yang terlarang untuk kamu jatuh cintai..."

chap-preview
Free preview
Prolog
Wajah Charis Yocolyn mengerut sepanjang waktu. Ia merasa gerah dengan kebaya dan high heels yang kakaknya - Barika Yocolyn, paksa ia pakai. Charis berdiri dengan terus mengganti tumpuan kakinya karena betisnya mulai terasa berat. Mereka akan ikut dalam rombongan mempelai pria - yang adalah teman kuliah Barika, menuju tempat akad nikah dilangsungkan. Sebenarnya Charis sudah menolak ajakan ini jauh-jauh hari. "Kenapa tidak minta ditemani dengan salah satu teman kuliah kakak saja?" Charis bersungut-sungut sambil mencoba kebaya yang dibelikan Barika jauh hari sebelumnya. "Aku benar-benar memerlukanmu di sana, Charis. Kamu harus ikut," Barika berkata sambil menatap adiknya. Ada sesuatu dalam mata Barika yang membuat Charis berhenti mengeluh. Permohonan yang tidak bisa kakaknya ucapkan. Dan hari ini Charis tahu kenpa kakaknya membutuhkannya. Ibu dari mempelai pria menunjukkan dengan jelas jika ia tidak menyukai Barika, walau sang suami sepertinya menyambut mereka dengan antusias yang berlebihan. Sedangkan sang mempelai pria malah menyambut mereka dingin. Charis meringis akibat betisnya yang sakit, tapi ia masih bisa menatap kakaknya dalam-dalam. Barika tampak tidak melepaskan pandangan dari mempelai pria yang Charis tahu namanya dari membaca papan ucapan selamat yang jumlahnya tidak terkira di depan rumah mewahnya, Kastara Basutara. Sekarang Kastara Basutara sedang sibuk meminta ibunya berhenti untuk memeriksa setelan jasnya, sedangkan sang ayah malah tertawa mengekeh di sebelahnya. Akhirnya rombongan mulai bergerak. Seseorang berteriak mengumumkan untuk segera berangkat. Barika terperanjat sebelum menarik Charis bersamanya. Charis mengaduh, hampir saja terjatuh jika ia tidak segera menyambar rok kebayanya. Kastara Basutara berjalan tidak jauh di depan mereka. Ia bersama kedua orangtuanya yang mendampinginya masuk ke mobil sedan hitam mewah yang dihias bunga warna-warni dan pita. Barika duduk di kursi pengemudi (Charis kesal sekali karena kakaknya tidak tampak kesulitan dengan kebayanya) dan menunggu seorang pria yang mengatur rombongan memberi mereka instruksi untuk jalan. Barika tertawa sendiri ketika mereka di tempatkan dipaling belakang, membuat dahi Charis mengerut. "Ada yang lucu?" Charis sambil memakai sabuk pengamannya. Barika menggeleng sambil masih tersenyum. Ia lalu memutar roda kemudi dan mengikuti rombongan rapat. Ketika mereka telah berada di jalan utama, Charis kemudian bertanya, "Bagaimana sebenarnya hubungan kakak dengan si Kastara Basutara ini?" Senyum Barika perlahan menghilang. "Dia teman baikku." Charis melirik kakaknya dengan tatapan curiga. Sudah jelas ada yang disembunyikan Barika darinya. "Yakin hanya teman baik? Bukan yang membuat kakak menangis akhir-akhir ini?" Charis tidak terkejut ketika kakaknya melirik cepat ke arahnya, tatapannya tajam. "Berhenti bertanya yang tidak-tidak. Aku sedang menyetir." Charis memutar bola matanya terang-terangan kemudian menaruh perhatiannya ke kaca depan. Ia menyadari mereka cukup tertinggal dengan rombongan. Kakaknya memang tidak pernah berani menyetir cepat dan akhirnya mereka tertahan lampu merah. "Si Kastara ini benar-benar manis, ya? Tapi untuk ukuran seseorang yang akan memasuki hari bahagia, dia terlihat cukup kesal." Charis berkata pelan sambil memerhatikan lampu traffic light yang masih merah. "Kamu masih terlalu kecil untuk menghakimi orang lain," Barika mendengus. "Bukan. Hanya saja aku sudah terlalu sering melihat pandangan itu sebelumnya." Barika berdecak sebelum mengganti perseneling begitu lampu traffic light berganti. Charis mengulum senyum lalu menoleh untuk menatap kakaknya. Ia menyadari sebuah truk melaju dari arah kanan dengan kecepatan penuh. Terlihat seperti tidak akan berhenti... *** Charis Yocolyn perlahan mendapatkan kesadarannya kembali walau ia tidak bisa membuka mata atau menggerakkan tubuhnya. Namun telinganya berfungsi dengan baik... "Ada yang akan mengurus mereka," ucap seorang wanita, kesal. "Kita tidak bisa meninggalkan keluarga Verda begitu saja!" "Mereka berada di dalam rombongan kita, Ma. Kita tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja," suara berat pria berkata, terdengar lebih dingin. Suara pria lain mengerang pelan. "Bagaimana dia bisa selamat sedangkan Berry..." Napas Charis tersentak. Hanya ada sedikit orang yang tahu panggilan Berika itu. Apa suara pria yang terakhir itu Kastara? Sedangkan Berika kenapa? Bagaimana dengan kakaknya? Suara denting mesin EKG meninggi, namun sepertinya tidak ada yang menyadarinya. "Dari awal tidak ada yang menyuruh mereka datang. Kamu memang tidak memberi gadis itu undangan, kan Kastara?" tanya wanita itu penuh tuntutan. "Aku memberikannya," jawab pria yang lebih muda - Kastara, dengan suara lirih. "Apa tadi kamu bilang? Kalau mereka hanya tinggal berdua?" Pria yang lebih tua bertanya - yang Charis tebak adalah si Papa. "Orangtua mereka sudah meninggal akibat kecelakaan sejak Berika memasuki bangku kuliah. Berika hanya satu-satunya keluarga gadis ini." Suara mesin EKG kembali tesentak dan masih tidak ada yang menyadarinya. "Masa sama sekali tidak ada yang bisa dihubungi?" Jeda sejenak. "Jangan bilang..." "Simpan ketidakpedulianmu itu di rumah, Ma." Si Papa dengan tegas. Suara ponsel berdering diiringi suara dengusan sebelum suara pintu menutup menyusul di belakang. "Jadi apa yang akan kamu lakukan sekarang?" Charis ingin sekali membuka matanya. Tapi serangan kantuk tiba-tiba menghantamnya hingga ia kembali jatuh tidak sadarkan diri... *** Charis Yocolyn kembali tersadar dan kali ini ia bisa membuka matanya. Setelah mengerjap beberapa kali ia menyadari orang-orang asing yang berdiri mengelilinginya menggenakan pakaian pesta. Ketika ia mencoba bergerak ia melihat banyak alat medis yang melilit di tubuhnya. Dan tidak ada wajah Berika di antara wajah-wajah yang tidak dikenalnya itu. Kepanikannya disadari oleh semua orang berkat bantuan mesin EKG. "Kamu tidak boleh banyak bergerak dulu!" tegur seorang pria yang duduk di sebelahnya. Pria itu menahannya dari usaha untuk bangkit. Charis menatap pria itu dan menyadari ia adalah Papa Basutara, papa dari Kastara-lah yang menahannya dengan wajah mengerut. Charis juga menyadari banyaknya suara dengusan penuh ketidaksetujuan akibat kelakuannya itu. "Mana Kak Berika? Apa dia baik-baik saja?" tanyanya dengan suara lirih. Perlahan ia menyadari tubuhnya nyeri di berbagai tempat. Charis lalu mengedarkan pandangannya. Di sisinya yang lain berdiri Kastara dengan ekspresi tidak terbaca. "Berapa usiamu?" Charis meringis dengan alis mata terangkat. Ia sampai harus melepaskan selang oksigen dari hidungnya sebelum menjawab. Kakaknya selalu mewanti-wantinya agar selalu menjawab pertanyaan orang yang lebih tua lebih dulu walau sekesal apapun rasanya tidak dihiraukan. "Saya sembilan belas tahun. Jadi di mana kakakku?" Charis kemudian melihat Kastara bertukar pandang dengan papanya. "Gadis ini sudah sadar. Apa kita bisa pergi melakukan akadnya sekarang? Soalnya ada banyak orang yang sedang menunggu kita sekarang." Charis mencari siapa yang bertanya itu dan mendapati seorang wanita dengan renda brokat putih cantik yang dipadukan dengan kebaya cokelat yang dibalut dengan mantel panjang itu berdiri di belakang Kastara didampingi oleh orang yang terlihat adalah kedua orangtuanya. "Benar, Kastara." Suara wanita lain yang entah kenapa membuat Charis bergidik. Wanita itu tadinya duduk di sofa di seberang ranjangnya sekarang berjalan mendekat. "Mama akan suruh orang untuk menjaganya. Kita akan membiayai seluruh pengobatannya juga. Kita tidak perlu berlama-lama di sini..." Sekali lagi Charis mendapati Papa Basutara dan putranya bertukar pandang sebelum pria itu menghela napas panjang. "Barika? Kamu mencari Barika, kan? Barika sudah tidak ada." Charis mengerutkan dahi. Kali ini ia bangkit tanpa ada yang menahannya. Menatap tajam Kastara walau sambil meringis kesakitan. Lengannya ternyata dibebat, begitu juga dengan kaki kanannya. "Apa maksudmu dengan Kak Barika sudah tidak ada?" "Bang Kastara, Charis," Papa Basutara mengoreksinya, tapi tidak ia indahkan. "Dia tewas di tempat. Tidak ada yang bisa dilakukan." Kastara menatapnya dengan pandangan menusuk. Charis seakan-akan kehilangan pegangannya. Seakan-akan dunia berputar ditambah dengan tatapan iba dari keluarga mempelai wanita dan tatapan penuh kebencian dari mama Kastara. "Lengannya terlihat terentang ke arahmu. Sudah dipastikan dia menyelamatkanmu dari kemungkinan terburuk," sambung Kastara tanpa ampun. Charis langsung menunduk ke arah pangkuannya. Menatap pergelangan tangannya yang terinfus ketika ia mulai tertawa histeris. Setelah tawanya berhenti ia lalu berdeham. Untuk mengusir rasa sakit dipangkal tenggorokannya. "Aku rasa dugaanku benar. Kamu adalah si mantan pacar yang membuat kakakku - mendiang kakakku - menangis setiap malam. Walau dia tidak pernah mau mengakuinya." "Papa rasa setelah ini kita harus memeriksa kepalanya juga." Papa Basutara tiba-tiba berkomentar dengan nada geli. Charis lalu kembali mengangkat kepalanya. Ia melihat Kastara memandanginya tajam, ada pandangan terluka di sana lengkap dengan bibirnya yang bergetar. Hingga ia mengerjap sebelum memutar tubuhnya ke arah keluarga mempelai wanitanya. "Maaf, Verda. Tapi aku butuh izinmu untuk menikahi anak ini juga." Charis bahkan ikut memprotes mendengar perkataan Kastara itu. Kedua orangtua mempelai wanita tampak berang, begitu juga dengan mama Kastara. Namun baik Verda dan papa Kastara tetap diam. Charis bahkan yakin ia mendengar Papa Basutara berdeham-deham menahan geli di sebelahnya. "Apa hakmu memutuskan seperti itu?!" Charis berteriak sekuat yang bisa ditanggung tubuhnya bahkan setelah Kastara mengangkat tangan, memberi tanda agar semua berhenti. Charis melihat punggung pria itu menegang. Tapi perkataannya tetap tidak membuat Kastara berbalik ke arahnya, namun papa Kastara telah meletakkan tangannya di atas punggung tangan Charis yang berinfus, seperti menahannya. Gerakan itu mengundang lirikan tajam dari istrinya. "Mama sudah melarangmu sebelumnya, Kastara! Jangan..." Dan Kastara tetap saja bergeming. "Kita sudah sama-sama dewasa walau kita masih terikat kewajiban berbakti pada orangtua,” ucapnya lamat-lamat. “Dan aku..." "Lakukanlah," potong wanita yang Kastara panggil dengan Verda itu santai sambil melirik Charis sekilas. Ia juga membuat kedua orangtuanya berjengit terkejut. Mama Kastara mengelus dahinya sebelum melotot tajam ke arah suaminya yang Charis yakin sengaja menghiraukannya. "Dengan syarat kamu mau menyelesaikan akad kita lebih dulu. Bukannya dengan memberi izin aku juga akan mendapat pahala yang sama besarnya?” Verda mengedikkan bahu. “Karena jujur saja dosaku sudah terlalu banyak." Verda, tiba-tiba meringis. Ia melepas lengannya yang dipegangi oleh ibunya. "Bukannya membantu seorang anak yatim piatu memang dijanjikan mendapatkan pahala?" katanya membela diri. "Wah, papa sebagai orangtua tidak pernah menyangka hari ini akan mendapatkan dua menantu sekaligus." Papa Kastara sambil meremas tangan Charis lembut. "Mama tidak mau! Mama..." "Kastara benar, Ma." Suaminya memotong tajam walau dengan nada yang lembut. "Selama mereka ingat mereka masih berkewajiban berbakti dengan kita keputusan itu tetap ada di tangan mereka." "Kalian mengatakannya seakan-akan aku sudah menyetujuinya." Charis menatap lekat-lekat Kastara yang akhirnya berbalik ke arahnya. "Kalau kamu memang berniat menjadi gelandangan setelah keluar dari sini..." "...Aku bisa bertahan!" Charis dengan pangkal tenggorokannya yang sakit. "...Aku tidak akan pernah memberimu izin untuk melakukannya. Aku akan mengurungmu kalau perlu. Jadi terserah padamu." Hening. Charis diam-diam menelan ludahnya. Kastara terlihat punya kemampuan untuk melakukannya... "Well, biarkan Charis memikirkannya matang-matang lebih dulu." Papa Kastara lalu berdiri, memecah keheningan. "Mari kita selesaikan akad dengan mempelai wanita pertama lalu kita kembali lagi ke sini." Ia menepuk-nepuk kepala Charis lembut. "Papa harap kamu benar-benar mau menjadi menantu Papa, Charis." Setelah itu Papa Kastara mendorong istrinya pergi dengan agak memaksa sambil mengawal keluarga sang mempelai wanita bersama mereka. Papa Basutara bahkan mengedip ke arahnya sebelum menutup pintu. "Kenapa kamu mau melakukan sampai sejauh ini? Apa kamu melakukannya karena Kak Berry?" tanya Charis setelah mereka ditinggal berdua. "Kami adalah dua orang berbeda, kamu tahu. Jangan harap kamu bisa menganggapku sebagai penggantinya." Ekspresi Kastara mengeras sejenak sebelum berkata, "Terimakasih untuk peringatannya," Kastara lalu mengambil jasnya yang ternyata di letakkan di kaki ranjang Charis. "Bersiaplah. Aku tidak akan lama..." ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.3K
bc

Broken

read
6.4K
bc

Me and My Broken Heart

read
34.6K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

MENGGENGGAM JANJI

read
475.0K
bc

Because Alana ( 21+)

read
360.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook