(Tiga tahun kemudian.)
Charis Yocolyn sekarang sudah memasuki tahun ketiganya sebagai mahasiswi Public Relations di Universitas Harapan Bangsa. Seperti mahasiswi yang berusia dua puluh satu tahun lainnya, ia juga mempunyai sahabat dekat bernama Tessa Jaylani. Mereka selalu mengambil mata kuliah yang sama dan nyaris tidak pernah terpisahkan. Keduanya termasuk dalam jajaran mahasiswi yang diperhitungkan dan memiliki prestasi akademik yang menjanjikan.
Perbedaan fisik Charis dan Tessa sangat mencolok. Charis memiliki rambut hitam bergelombang sepunggung. Cukup tinggi untuk ukuran seorang gadis dengan wajah kekanakan karena matanya yang besar dengan pupil hitam bersinar. Sedangkan Tessa rambutnya pirang sepundak, dengan tinggi yang sama dengan Charis, kulit putih bersih dari ibunya yang berasal dari Australia lengkap dengan wajah berbintik-bintik cokelat. Walau begitu Bahasa Inggris Tessa sering berantakan karena ia menghabiskan seluruh hidupnya di negara kelahiran ayahnya.
Keduanya baru saja keluar dari kelas terakhir mereka. Charis dan Tessa saling pandang begitu melihat kerumunan mahasiswa yang saling berbisik di parkiran kampus.
Ih, apa tidak malu?
Aku tidak pernah menyangka Pak Hatala suka main sama mahasiswi!
Apa Camani hanya korban?
Pasti Si Camani itu yang menggoda Pak Hatala!
Charis mendengar Tessa mengerang di sebelahnya begitu mereka ikut menyaksikan seorang dosen mereka yang sudah menikah memeluk erat seorang mahasiswi. Kasus mereka menghebohkan seluruh kampus, namun keberanian mereka untuk berpelukan ditempat umun perlu diapreasiasi.
"Aku tidak menyangka Pak Hatala dan Camani akan seberani itu," Tessa berkomentar dengan intonasi yang ambigu sambil berjinjit-jinjit.
Camani Nalani adalah teman seangkatan mereka yang seharusnya hadir di kelas yang baru saja Charis tinggalkan bersama Tessa tadi. Setelah skandal itu tersebar luas, keduanya sudah tidak malu lagi menunjukkan hubungan mereka. Melihat keberanian Camani entah kenapa membuat Charis menghela napas panjang...
Tidak ada orang lain - selain pihak administrasi kampus, yang tahu jika ia sudah menikah. Bahkan Tessa-pun tidak tahu. Tapi pihak kampus tidak tahu kalau suaminya "Kastara Basutara yang itu."
"Terkadang kita tidak bisa menahan sesuatu yang berasal dari hati. Walau sekeras apapun kita menahannya." Charis lalu menarik lengan blus Tessa agar mereka pergi menjauh dari kerumunan, meninggalkan pasangan terlarang itu masih saling memeluk.
"Sejak kapan kamu puitis begitu, Chas?"
Charis memutar bola matanya. "Ayo, kamu tadi sudah berjanji untuk mengantarku pulang."
Dahi Tessa mengerut paham. "Oh, ya. Ini hari Senin, ya?"
Charis tertawa kecut. Ia tidak pernah memberitahu alasan yang jelas kepada Tessa tentang kenapa ia harus pulang cepat setiap Senin hingga Rabu, namun gadis itu juga tidak pernah menanyakannya. Tessa terlalu cuek untuk hal semacam itu.
Tessa punya mobil Toyata Agya putih yang body-nya sudah babak-belur. Entah apa yang sudah terjadi dengan mobilnya itu, namun ketika ia membawa Charis mereka tidak pernah mengalami kejadian aneh. Mengingat Tessa mengetahui kejadian yang menimpanya tiga tahun lalu karena bekas luka jelek yang ada di lengan kanannya.
"Aku rasa skandal itu akan bertahan selamanya di kampus kita," Tessa berkata setelah mereka meninggalkan area kampus.
"Kejadian seperti itu tidak mudah dilupakan begitu saja," Charis berusaha terdengar biasa saja.
"Lagipula Camani itu tidak pernah terlihat bergaul dengan siapapun. Apalagi didekati oleh para pemuda." Lalu Tessa berhenti sejenak. "Well, aku juga tidak bisa menyalahkannya. Para pemuda di kampus kita tidak ada yang menarik."
Charis tertawa gelak-gelak. Tessa ikut mengikik. Tessa sendiri sudah punya pacar, seorang manager department store di sebuah mall ternama di kota mereka. Charis tidak tahu darimana mereka bisa berkenalan, tapi Tessa sangat sayang pada pacarnya dan sudah mengenalkannya pada orangtuanya.
"Itukah alasannya kamu mencari pacar di tempat lain?" Charis setelah berdeham.
"Ya, dengan seseorang yang bisa mentraktirku dengan uangnya sendiri. Bukan uang kiriman dari ibunya di kampung ."
Karena itulah mereka cocok. Tessa dan Charis memiliki cara bicara yang sama yang membuat Charis nyaman.
"Kamu sendiri bagaimana, Chas?" tanyanya setelah tawanya mereda. "Tidak berpikir untuk mencari pacar?"
Ekspresi Charis langsung berubah datar. "Well, aku belum berpikir sampai ke sana."
Tessa menghela napas. "Kalau begitu mari kita berharap kamu tidak berakhir buruk seperti Camani."
Charis mendengus. Ia bahkan tidak punya penilaian yang seimbang terhadap mana yang "lebih buruk" dari menjadi selingkuhan seorang dosen beristri atau menjadi istri kedua dari seorang pengusaha.
Gedung apartemen Charis terletak tidak jauh dari kampusnya. Tidak berapa lama kemudian Tessa sudah menurunkannya di lobi.
"Kapan-kapan kamu harus membolehkanku main ke apartemenmu, oke?" seru Tessa sebelum Charis sempat menutup pintu mobil.
"Sudah kubilang apartemenku berantakan..."
Tessa sudah memotong perkataan Charis dengan mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Berani bertaruh apartemenmu lebih bersih dari kamarku."
Charis hanya bisa tersenyum sebelum menutup pintu mobil Tessa. Ia melambai sampai Tessa menghilang dibalik gerbang keluar. Seorang satpam menegurnya ramah ketika ia baru saja memencet tombol lift.
Gedung apartemen ini berisi orang-orang yang hanya memikirkan diri mereka sendiri sehingga Charis merasa betah tinggal di sini.
Sebenarnya tidak ada yang perlu ia sembunyikan. Ia dan Kastara Basutara menikah secara sah menurut agama dan negara. Tapi dengan title "istri kedua" di atas kepalanya membuat Charis belum ingin ada orang terdekatnya yang tahu, termasuk Tessa.
Charis menarik napas panjang sebelum memencet serangkaian tombol kunci apartemennya. Sejujurnya apartemennya tidak pernah berantakan. Kastara adalah pria perfeksionis, dan sangking perfeksionisnya seluruh dinding apartemen ini berwarna putih dengan perabot serba cokelat serasi. Charis menyimpan tasnya baik-baik di atas meja riasnya sebelum menghempaskan diri ke atas ranjang. Menatap langit-langit kamarnya sambal menarik napas panjang.
Pemandangan Camani dan Pak Hatala saling memeluk masih terngiang-ngiang di benaknya. Ia kemudian membandingkannya dengan hubungannya sendiri.
Hubungannya dengan Kastara lebih terlihat seperti hubungan kakak dan adik. Kunjungan Kastara juga lebih seperti kunjungan inspeksi daripada kunjungan seorang suami. Tidak dingin, juga tidak hangat. Namun ada satu hal yang mungkin sampai detik ini Kastara sendiri pun tidak menyadarinya.
Pria itu seperti buku yang terbuka.
Kastara akan menunjukkannya dengan jelas di wajahnya jika ia menyukai atau membenci sesuatu. Untuk pria berusia 34 tahun, terkadang Kastara bisa sangat manis.
Charis tertawa kecil sebelum kembali bangkit berdiri. Ia harus memasak makan malam untuk sang suami...
***
Kastara Basutara mengerang pelan sambil mengipas-ngipas dirinya dengan majalah fashion bekas. AC di ruangan kantornya mendadak mati beberapa jam yang lalu dan tukang service langganan baru bisa mengerjakannya besok. Toh, dua jam lagi jam kerja selesai dan ia berusaha bertahan demi menjadi pimpinan yang baik.
"Aku tidak menyangka kamu berhasil tidak pingsan di dalam sini."
Kastara mendongak. Ia mendapati Revid Dianara, manajer produksi sekaligus sahabatnya itu bersandar menyamping di ambang pintu ruangannya dengan kedua tangan terlipat di d**a.
"Aku harus menyelesaikan ini sebelum..."
"...Sebelum pulang ke pelukan istri muda," potong Revid cepat. "Yah, aku tahu hari ini memang hari Senin."
Kastara menatap tajam Revid sambil terus mengipas.
"Apa? Toh, kenyataannya memang seperti itu." Revid mengedikkan bahu. Kastara tahu Revid juga tidak mau masuk ke ruanganya yang panas dan pengap. "Aku dengar tadi beberapa buruh saling berebut siapa yang pantas menjadi istri ketigamu."
Kastara sudah cukup panas tanpa perlu dipanas-panasi lagi, tapi sepertinya Revid masih ingin menggodanya.
"Bisa tidak untuk tidak mengungkitnya setiap pekan?" Kastara menggeram. Wajahnya sudah merah akibat panas, jadi makin merah.
Revid nyengir lebar. "Kalau begitu kenalkan aku padanya. Desas-desus yang kudengar dia masih mahasiswi."
"Tidak." Kastara terdengar mengerikan.
"Ayolah, dia pasti memang cantik jika kamu sekuat tenaga menyembunyikannya dariku." Revid terlihat benar-benar antusias.
Kastara mendesah sambil mengusap keringat di dahinya. Jika fisik Charis dibandingkan dengan Verda Ranjani - istri pertamanya, gadis itu memang tidak ada apa-apanya. Tapi ada suatu hal yang membuatnya nyaman menjadi dirinya sendiri saat bersama gadis itu.
Mungkin karena Charis tidak pernah menuntutnya apapun.
"Ketahuilah, dia jauh sekali dari tipemu," Kastara sungguh-sungguh.
"Memangnya dari mana kamu tahu tipeku seperti apa?" Mata Revid menyipit. "Apa dia hebat di ranjang?"
Kastara mengusap-usap wajahnya. "Mungkin kamu kepanasan jadi mulai melantur. Pergi, sana!"
Revid meringis, menggumamkan sesuatu sebelum berbalik dan melambai dari bahunya.
Kastara menghela napas panjang. Bukannya ia ingin "menyembunyikan" Charis, tapi rasanya belum saatnya ia mengenalkan gadis itu pada orang lain. Apalagi dengan mamanya yang masih menentang keras keputusannya menikahi gadis itu hingga saat I i. Dan Charis - walau dengan senyum yang tidak sampai ke matanya, menerima apapun keputusannya.
Kastara akhirnya berhenti mengipasi dirinya lalu melirik arloji. Persetan dengan menjadi pimpinan yang baik. Ia ingin keluar dari kantornya sekarang...
***
Sedangkan di apartemen mereka Charis yang baru saja menyelesaikan mencuci peralatan masaknya itu sekarang sedang mengeringkan tangannya di serbet. Sesekali ia melirik jam dinding karena Kastara selalu datang tepat waktu...
Walaupun kedua orangtuanya meninggal ketika ia masih kecil sekali, Barika selalu menceritakan tentang mereka pada Charis. Bagaimana Mama memperlakukan Papa dari mulai ujung rambut hingga ujung kaki. Lalu tentang makan malam yang hangat telah tersedia tepat ketika Papa pulang kerja. Pakaian bersih sudah tersedia begitu Papa keluar kamar mandi. Pada saat itulah Charis berjanji jika suatu saat ia punya suami, ia akan memperlakukannya sama seperti Mama memperlakukan Papa.
Dan begitulah ia memperlakukan Kastara selama tiga tahun ini.
Charis lalu cepat-cepat ke kamar mandi setelah pekerjaannya selesai. Dan untungnya ia sudah selesai mandi, namun dengan rambut yang masih basah dan memakai jubah mandi ketika ia mendengar suara tombol kunci pintu apartemennya dibuka. Kastara datang lebih cepat dari biasanya.
"Hai," sapa Kastara sambil mengalihkan pandangan sambil menyimpan tasnya di sofa ruang tengah.
Diam-diam Charis memutar bola matanya. "Hai juga. Maaf, aku kira Abang baru pulang sejam lagi."
Kastara masih belum menatap ke arahnya ketika menanggapi, "Tidak apa-apa. Pekerjaanku cepat selesai. Kamu pakaian saja dulu."
Charis hanya menggumam sebagai jawaban sebelum kembali ke kamarnya.
Charis merasa lucu saja dengan sikap Kastara itu. Mereka telah menikah selama tiga tahun, namun sampai detik ini hal terjauh yang telah Kastara lakukan padanya hanyalah menepuk-nepuk puncak kepalanya.
Padahal mereka biasa tidur di ranjang yang sama. Dan bukannya Charis menginginkannya, tapi ayolah...
Tidak ada pria yang punya pertahanan diri sehebat itu!
***