2

1526 Words
"Gadis kecil itukah adikmu?" Kastara muda bertanya melalui bahu Berika ketika melihat foto stiker yang tertempel di binder gadis itu. Berika tersenyum lebar memeluk seorang bocah yang terlihat kesal dengan pinggiran frame yang bunga-bunga. Berika tersentak sedikit sebelum tersenyum lebar pada Kastara yang sekarang duduk di hadapannya. "Ah, ya. Namanya Charis. Dia baru saja ulangtahun yang kesembilan kemarin!" "Jadi siapa yang menjaganya jika kamu kuliah?" Kastara bertanya lagi. "Aku terpaksa menitipkannya pada tetangga yang anaknya satu sekolah dengannya." Senyum itu perlahan memudar. Kastara muda menghela napas. "Pasti  berat rasanya menjadi kakak sekaligus orangtua untuknya." Barika menggeleng sambil menunduk menatap bindernya. "Justru aku bersyukur dengan kehadirannya, Kak. Jika tidak ada Charis, mungkin aku sudah berubah gila sejak kematian orangtua kami..." Kastara mengerjap dan lamunannya buyar begitu ia mendengar seseorang memanggil-manggil namanya. "Apa Abang mendengarku?" Charis yang duduk di sebelahnya itu menatapnya dengan dahi mengerut. Kastara perlahan tersadar kalau ia melamun ketika mereka sedang makan malam. Kastara tergagap. "Maaf, apa yang kamu katakan tadi?" Cepat-cepat ia menyendok sedikit nasi ke mulutnya. Charis memutar bola mata sebelum berkata. "Aku bilang, aku ingin melakukan kunjungan ke pabrik untuk tugas kampus." "Kunjungan seperti apa?" Kastara lalu meraih gelas air putihnya. "Aku diminta untuk mempelajari keseharian manajer yang biasa turun-tangan langsung pada krisis manajemen perusahaan sebagai tugas mata kuliah Management Crisis." Kastara nyaris tersedak begitu menyadari kegiatan seperti itu adalah salah satu tanggung jawab Revid di pabrik. "Tidak perlu di pabrik." Kastara setelah berdeham-deham. "Aku akan mencarikanmu perusahaan lain." Charis menyeringai. "Segitu inginnyakah Abang menyembunyikanku sampai-sampai aku sama sekali tidak boleh ke pabrik? Lagipula aku akan berkunjung sebagai mahasisiwi  yang ingin mengerjakan tugas dan mencari ilmu, bukan sebagai istri kedua yang tiba-tiba ingin memperkenalkan diri." Kastara tiba-tiba mengusap-usap pelipisnya. Kalau ia meminta orang lain untuk menggantikan Revid siapapun itu bisa saja tidak bisa menjawab pertanyaan Charis. Dan itu bisa menimbulkan kecurigaan, baik pada Revid juga oleh pihak perusahaan. Sial. Kastara malah ingin si b******k itu tiba-tiba pergi untuk menyelesaikan studinya lagi atau ke mana pun sekarang juga, sama seperti ketika di hari pernikahannya. "Baiklah," Kastara akhirnya dengan nada lelah. "Nanti tujukan suratmu itu kepada Pak Revid Dianara. Dia yang punya tanggung-jawab untuk menyelesaikan masalah seperti itu." Charis langsung tersenyum cerah. "Tunggu, aku mengambil bukuku dulu." Kastara mengawasi Charis yang berlari memasuki kamar. Mudah-mudahan nanti ia hanya perlu menahan diri untuk tidak terlihat begitu mencurigakan di hari ketika Charis melakukan kunjungan ke pabrik... *** Keesokan siangnya di tempat berbeda Verda Ranjani sedang memberesi perlengkapan tulis-menulisnya. Ia baru saja selesai menghadiri rapat dengan dewan direksi menguras seluruh tenaganya, namun ia masih bisa tersenyum ketika para petinggi perusahaan yang menyapanya. "Baik-baik saja, Verda?" tegur Pak Tono Baskoro, Direktur SDM sekaligus atasannya sejak lima tahun terakhir itu dengan alis mengerut. "Ah, ya. Saya baik-baik saja," Verda dengan senyum lebar yang sama. "Saya harap kamu masih betah jadi sekretaris saya. Walaupun kamu istri dari pengusaha terkenal." Verda tertawa kecil, basa-basi khas karyawan. "Masih, kok Pak. Saya selalu setia mendampingi Bapak" Pak Tono malah memberinya tatapan menyipit. "Kamu yakin? Jadi sekretaris bisa mengurangi waktumu bersama suami, lho." Verda masih tersenyum. "Ada yang lain yang akan menemaninya jika saya sibuk, kok Pak." Tapi kalimat hanya ia ucapkan dalam hatinya. Pak Tono lalu mengedikkan bahu. "Sudah malam. Sebaiknya kamu pulang sekarang." Verda menggumam mengiyakan dan Pak Tono-pun berlalu. Verda lalu menghela napas panjang. Ketika ia keluar dari ruang rapat ia hanya berharap ia tidak perlu lagi bertemu dengan Pak Tono ketika ia akan mengambil barang-barangnya di meja kerjanya. Suasana kantor sudah sepi dan suara geletuk heels-nya menggema mengikutinya ketika memasuki lift. Alasan Verda mempertahankan pekerjaannya setelah menikah pertama adalah orangtuanya telah lama pensiun dan membutuhkan sokongan darinya. Kedua, karena ada masa di mana Kastara tidak pulang kepadanya. Begitu Verda keluar dari lift ia mendapatkan sapaan dari satpam yang bertugas jaga malam. Ketika ia berada di parkiran, angin laut langsung menerpa wajahnya dan gulungan rambutnya. Amis bercampur dengan bau asap bensin. Kantornya merupakan perusahaan milik negara yang bergerak di bidang pelabuhan. Tidak beberapa jauh dari gedung kantornya terdapat kontainer-kontainer raksasa yang disusun tinggi. Verda mencari Honda Jazz merahnya lalu memencet tombol kunci. Begitu duduk di kursi pengemudi ia melempar tasnya ke jok belakang kemudian menghela napas panjang sebelum menghidupkan mesin mobil... Selain itu Verda juga memiliki alasannya sendiri ketika ia memberi izin Kastara untuk menikahi Charis, selain tentang pahala tentu saja. Apalagi begitu ia tahu Charis adalah adik Barika. Verda dan Barika adalah teman seangkatan di bangku kuliah dengan Kastara sebagai senior mereka. Verda tahu jika Barika dan Kastara saling tertarik, namun hubungan mereka nampaknya selalu maju-mundur. Barika terlihat tidak percaya diri untuk menjadi calon pendamping putra pewaris perusahaan tekstil ternama. Lalu secara kebetulan ternyata mama mereka bersahabat dan berniat menjodohkan mereka! Verda yang sudah lama menaksir Kastara namun tidak pernah punya kesempatan untuk dekat dengannya tentu saja menerima! Tapi suatu hari jauh sebelum perjodohan itu resmi ia pernah mendengar Mama Basutara berkata: "Aku akan sangat bersyukur jika mempunyai menantu seperti Verda! Aku benar-benar tidak menyukai gadis aneh yang tidak jelas asal-usulnya yang Kastara perkenalkan padaku itu..." Verda juga tidak pernah merasa merebut kekasih orang karena Barika dan Kastara tidak pernah resmi berpacaran. Verda juga tidak pernah merasa ia harus menjelaskan kepada Barika kenapa ia menerima perjodohan itu... Karena ia merasa pantas mendampingi seorang Kastara Basutara. Lalu kecelakaan itu dan permintaan mengejutkan Kastara. Verda yakin sekali jika Kastara merasa bertanggung-jawab dan ingin menjaga milik Barika yang tersisa... Maka untuk mendapatkan sedikit simpati Kastara, ia mengiyakan permintaan itu. Tapi wanita mana yang menyukai suaminya berbagi hati? Verda menarik napas panjang. Ia harus menyetir dengan hati-hati karena sebuah truk kontainer ikut keluar bersamanya. Ponselnya tiba-tiba berbunyi dan ia memencet tombol "terima" dan loudspeaker tanpa melihat siapa yang menelponnya. "Hai, sayang." Ternyata mamanya yang menelpon. "Kamu sekarang di mana?" "Hai, Ma," sapanya kembali. "Aku sekarang dalam perjalanan pulang dari kantor. Ada apa?" "Tidak. Mama hanya merindukanmu. Dan err..." Sepertinya Verda tahu ke mana arah pembicaraan mamanya. "...Apa kamu belum ada tanda-tanda hamil?" "Ma, sudah kukatakan Mama akan menjadi orang pertama yang tahu kalau aku hamil." "Kalian sudah tiga tahun menikah, tapi kenapa masih juga belum..." Mamanya mengerang diujung sana. "Mama tidak rela dan jangan sampai jika anak itu mendahuluimu..." Verda tiba-tiba merasa lelahnya makin menjadi. "Ma, berhenti memanggil Charis seperti itu. Dan Mama juga harus ingat Charis punya hak yang sama denganku untuk mengandung anak Kastara." "Tapi tetap saja..." "Ma, aku sedang menyetir. Kapan-kapan saja kita melanjutkan pembicaraan ini, oke?" Verda lalu menutup sambungan telepon secara sepihak. Rasanya ia ingin menjedutkan kepalanya. Apalagi setelah ia menyadari malam ini ia akan tidur sendirian... *** "Besok siang aku akan datang membawa suratnya. Mudah-mudahan Pak Revid cepat menghubungiku. Tugasnya harus selesai minggu depan!" Kurang-lebih begitulah yang disampaikan Charis pagi tadi sebelum ia keluar dari mobil Kastara ketika pria itu mengantarnya ke kampus. Dan sekarang Kastara tidak henti-hentinya melirik ke arah gerbang besi ketika ia sedang mengawasi mesin-mesin jahit baru keluar dari truk, menemani Revid yang sedang mengintruksikan sesuatu pada seorang karyawan. Naik apa gadis itu ke kompleks industri yang sulit dijangkau kendaraan umum ini? Charis bukannya tidak pernah menyinggung soal betapa sulitnya ia berpergian tanpa kendaraan dengan nada penuh keluhan, tapi Kastara yang justru tidak menginginkannya. Kejadian tiga tahun lalu masih jelas diingatannya. "Apa yang kamu lihat di gerbang sana?" Revid tiba-tiba bertanya. Tapi Kastara bisa menutupinya dengan baik dengan balas bertanya, "Apa sudah selesai?" Revid menggangguk. "Besok mesin-mesin jahit itu sudah bisa dipakai. Apa yang akan kita lakukan dengan yang lama?" Kastara menyelipkan tangannya ke saku celana. "Jual saja dengan harga yang sesuai. Spare-part nya yang lain masih ada yang bisa digunakan, kan?" Revid menggumam mengiyakan sebelum dahinya mengerut dengan pandangan ke arah belakang Kastara. Ia ikut berbalik dan sebuah mobil putih berhenti di depan pintu gerbang. Tidak berapa lama kemudian seorang gadis turun dari sana. Ia berhenti di depan pos penjagaan dan langsung membungkuk sedikit ketika seorang satpam menghampirinya. "Kira-kira siapa yang ingin ditemuinya?" Revid dengan santai bersamaan dengan si gadis menyerahkan sesuatu pada satpam. Sebenarnya ini bukan kali pertama mahasiswa mengirim permintaan kunjungan ke pabrik mereka. Kemudian gadis itu membungkuk lagi dan kembali memasuki mobil putih. Si Satpam yang tadi bicara dengan si gadis sekarang berjalan menuju pintu depan. Tanpa kata Revid sudah mendekati Si Satpam, Kastara cepat-cepat mengekor di belakangnya. "Siapa gadis tadi, Pak?" tanya Revid segera, menghentikan langkah si satpam. "Ah, Pak Kastara, Pak Revid!" Si satpam membungkuk sedikit sebelum memperlihatkan mereka sebuah amplop dengan lambang Universitas Harapan Bangsa. "Seorang mahasiswi membawa ini tadi. Katanya surat permintaan kunjungan, ditujukan untuk Pak Revid." "Saya?" Revid mengerjapkan mata, tercengang. Kastara melihat senyum miring terukir di wajah Revid sambil mengulurkan tangan. "Wah, jarang sekali ada yang langsung tahu surat seperti ini ditujukan pada siapa. Dia pasti kenal dengan salah satu karyawan." Si Satpam lalu menyerahkan surat itu lalu membungkuk memohon pamit. Kastara kira Revid belum ingin membacanya, tapi ternyata pria itu langsung membukanya saat itu juga. "Si Pemohon bernama Charis Yocolyn, tahun ketiga..." Revid membaca isinya cepat. Lalu tiba-tiba teringat dengan kehadiran Kastara di sebelahnya. "Kenapa kamu masih ada di sini? Apa kamu tidak punya pekerjaan lain?" Kastara tiba-tiba terlonjak, tapi masih sempat memasang senyum terbaiknya. "Ah, tidak apa-apa. Jadi apa yang akan kamu lakukan sekarang?" Revid menatapnya tajam dengan dahi mengerut sejenak sebelum merogoh saku celananya. "Aku akan menelpon si Charis ini sekarang. Mudah-mudahan dia belum jauh." "Apa? Kamu akan menerima kunjungannya sekarang?" Kastara tertegun. Tapi Revid sudah menekan sederet angka yang tertulis di surat itu di ponselnya kemudian menekan ponselnya ke telinga. "Toh, sekarang aku sedang kosong dan mungkin saja besok-besok aku tidak punya waktu lagi. Seharusnya kamu juga mengerti. Kamu, kan pernah jadi mahasiswa?" Revid mengedikkan bahu.  Kastara tidak tahu ia harus bereaksi seperti apa, tapi ia masih bisa berkata dengan nada merendahkan, "Sejak kapan kamu berubah pengertian begitu?" Revid mendengus kecil kemudian berkata, "Charis Yocolyn?" Jeda sejenak. Saya Pak Revid. Apa kamu bisa kembali ke sini? Berhubung saya sedang kosong sekarang..." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD