"Wow, that's fast!" celetuk Tessa setelah Charis menutup sambungan teleponnya.
"Mungkin karena besok-besok beliau sibuk. Aku rasa lebih baik seperti ini." Charis mengulum senyum. Tanpa Charis beritahu, Tessa sekarang sedang mencari tempat agar mobilnya bisa memutar. Charis harus ingat besok ia harus mentraktir makan siang sahabatnya itu.
"Apa kamu sudah mempersiapkan pertanyaanmu?" Tessa setelah memutar roda kemudi untuk kembali ke pabrik tekstil Busatara's itu.
"Untungnya sudah. Karena aku selalu mendengarkan penjelasan Pak Raguel lebih baik dari siapapun."
Charis terkekeh ketika melihat Tessa memutar bola matanya. "Karena dia lebih sering bergumam dengan Bahasa Spanyol daripada bahasa yang bisa kami mengerti. Lalu bagaimana kamu bisa mengerti apa yang dia ucapkan?"
"Kan, ada Google Translate." Charis berkata dengan nada paling menjengkelkan yang ia bisa.
Kali ini Tessa meliriknya sambil menyeringai, membuat Charis kembali terkekeh. Setelah itu Charis mendempul wajahnya dengan compact powder yang ia ambil dari dalam tas ranselnya.
Karena mereka memang belum terlalu jauh, tidak berapa lama kemudian mereka sudah sampai di pabrik itu kembali. Charis meminta pendapat Tessa untuk penampilannya dan gadis itu memberinya jempol.
"Terimakasih untuk hari ini, ya?" Charis sambil memakai tali tasnya di pundak.
"Maaf karena tidak bisa menungguimu. Hati-hati jika pulang dengan taksi online," Tessa memperingatkan lalu memberinya lambaian.
Charis lalu menutup pintu mobil Tessa lalu menarik napas panjang sebelum memasuki gerbang besi itu kembali. Si Satpam yang menerima suratnya tadi langsung datang menyambutnya dengan senyum lebar.
"Jarang sekali ada anak mahasiswa yang langsung diterima suratnya, lho, Mbak," katanya setelah memberi Charis petunjuk ke mana ia harus pergi.
Charis mengangguk dengan senyum lebar. Ia lalu memohon pamit kepada Si Satpam yang membalasnya dengan salam hormat dua jari.
Sebuah pikiran menghampirinya tanpa bisa ia tahan:
Bagaimana jika pertama kali ia ke sini ia malah memperkenalkan diri sebagai istri muda pemilik perusahaan?
Well, mungkin sambutannya akan lebih heboh dengan banyak bisik-bisik yang mengiringinya.
Sekali lagi ia menarik napas panjang sambil berharap selama ia mewawancarai Pak Revid Dianara ia tidak perlu bertemu dengan Kastara sama sekali.
Suara mesin jahit menyambutnya begitu ia berada di dalam pabrik. Charis benar-benar tertarik dan takjub melihat banyaknya buruh yang sedang bekerja dengan seragam biru laut, lengkap dengan scraft terikat di kepala dan masker. Di dalam pabrik terasa sejuk dengan penerangan sempurna. Beberapa karyawan yang lain berlalu-lalang membawa gulungan kain dan satu buntalan besar kaos yang sudah jadi.
Kastara tidak pernah benar-benar menceritakan pekerjaannya dengan Charis, namun ia bersedia menjawab jika Charis ingin tahu. Basutara's adalah perusahaan tekstil yang memproduksi kain meteran polos dan printed, juga baju kaos polos untuk usaha sablon. Setelah Kastara mengambil-alih perusahaan ini begitu ia tamat kuliah, barulah Basutara's mulai merambah pasar nasional.
Charis memerhatikan para buruh yang hampir delapan puluh persen wanita itu tampak serius mengerjakan pekerjaannya. Sesekali terlihat mereka menyelingi pekerjaan dengan tertawa bersama temannya di sebelah atau meregangkan tubuh, namun tidak ada ekspresi tidak bahagia di wajah mereka...
"Charis Yocolyn?" Seseorang menyebut namanya dengan sedikit berteriak. Ia segera mencari asal suara. Seorang pria tinggi berkulit putih datang bersama pria berkulit gelap yang sangat ia kenali datang menghampirinya. Kastara - yang memiliki tinggi yang sama dengan yang Charis tebak adalah Revid Dianara, memberinya tatapan tajam yang tidak diketahui maknanya dari balik tubuh Pak Revid.
"Itu saya." Charis dengan senyum terbaiknya, cepat-cepat menghampiri keduanya. Charis sekuat tenaga memusatkan perhatiannya pada Pak Revid karena Kastara masih saja memelototinya. Ia mengulurkan tangan lebih dulu pada Pak Revid dan pria itu menyambutnya. "Terimakasih karena menerima permintaan saya secepat ini."
"Karena saya punya waktu sekarang, saya pikir kenapa tidak. Saya yakin kamu pasti sudah siap dengan pertanyaan yang kamu perlukan," Pak Revid menanggapi ketika mereka masih saling berjabat tangan.
"Untungnya, saya memang sudah siap." Charis kembali melirik ke arah Kastara yang sekarang sedang menatap langit-langit, mulutnya mengucapkan sesuatu tanpa suara.
"Oh, ya. Sebelum saya lupa. Entah kenapa hari ini beliau senang sekali mengekori saya." Pak Revid mendorong Kastara ke hadapannya. Charis berhasil membuat ekspresinya tetap biasa-biasa saja ketika Pak Revid berkata:
"Kastara Basutara, pewaris tunggal Basutara's."
Charis berdeham kecil, nyaris saja tertawa ketika ia mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Kastara. Kastara dengan sikap ogah-ogahan menerima uluran tangannya. Jabat tangan ini adalah sentuhan Kastara padanya setelah sekian lama. Tangan Kastara besar, mantap, dan hangat walau tidak sesuai dengan ekspresi wajahnya.
"Terimakasih karena Bapak juga bersedia menemui saya," Charis merasa ia harus mengapresiasi dirinya sendiri karena ia masih terdengar biasa-biasa saja.
Kastara berdeham dan mengangguk, sudah jelas berusaha untuk tidak lagi berkontak mata dengannya. "Saya harap kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan di sini."
Charis juga mengangguk, namun Kastara masih belum melepas jabatan tangannya. Pak Revid berdeham keras sebelum mendorong Kastara mundur hingga jabat tangan mereka terlepas.
"Ingat, ya. Kamu sudah punya dua," Pak Revid dengan nada mematikan. Sekarang Charis benar-benar harus berusaha keras agar tidak tertawa.
Kemudian Pak Revid kembali padanya dengan senyum lebar. "Ayo, Charis." Pak Revid lalu membimbingnya dengan menyentuhkan telapak tangannya ringan di punggung Charis.
Charis menyempatkan diri melirik ke belakang dan melihat Kastara masih mengawasi mereka sejenak sebelum berbalik badan.
Charis mengakui keduanya sangat eye-catching. Pak Revid memiliki kulit putih porselin dengan wajah baby-face lengkap dengan warna mata yang tidak biasa. Charis yakin ada sedikit jejak warna biru di pupil matanya yang hitam itu. Tubuhnya cukup berisi dan ada sesuatu dalam senyumannya yang membuat orang lain ikut tersenyum. Sedangkan Kastara berkulit gelap, tegap, dengan tulang pipi dan rahang yang menonjol. Tampak manly, tapi tidak cukup pandai menyembunyikan gejolak hatinya.
"Sebaiknya jangan terlalu menaruh perhatian dengannya."
Charis tersentak sedikit. Ia tidak tahu kalau Pak Revid memerhatikannya.
Pak Revid menarik napas panjang. "Walau modelnya seperti itu, istrinya sudah dua."
Charis berusaha tampak terkejut. "Oh, ya?"
Pak Revid lalu mengajaknya berjalan diantara dua jajaran meja kerja buruh. Beberapa di antara mereka melirik ingin tahu.
"Iya, tapi ini off-record, ya? Desas-desus yang saya dengar istri keduanya berusia sama denganmu," bisik Pak Revid dengan nada penuh persengkongkolan di telinganya.
"Wah, siapa gadis yang kurang beruntung itu, ya?"
Pak Revid menatapnya sejenak sebelum terbahak bersamanya.
***
Kastara balas menatap Charis yang menoleh ke arahnya sebelum berbalik badan. Ia berusaha meyakinkan diri kalau Charis akan menjaga sikap, tapi tetap saja perasaan khawatir tetap merayap di hatinya. Jadi ia kembali berbalik dan kali ini mendapati keduanya sedang tertawa sebelum Charis merogoh sesuatu dalam tas ranselnya. Sebuah buku yang semalam ia lihat dipakai gadis itu untuk menulis nama Revid.
Revid tiba-tiba meraih ponsel dari tangan gadis itu ketika Charis tampak kesulitan membuat Charis mendongak padanya, terkejut. Revid mengatakan sesuatu lalu membuat Charis membungkuk kecil. Keduanya tampak sibuk dengan ponsel Charis sejenak sebelum Revid mendekatkan mulutnya di mic ponsel itu lalu ke arah Charis. Keduanya kemudian tertawa sebelum Charis mengatakan sesuatu di ponsel itu lalu Revid mengatakan sesuatu di sana. Sepertinya Revid membantu Charis merekam agar gadis itu bisa mencatat. Karena suasana pabrik cukup bising karena mesin jahit.
Kastara mendesah panjang. Lalu tiba-tiba seseorang menabraknya dengan gulungan kain. Kastara mengibaskan tangannya, tanda tidak apa-apa pada buruh yang terus saja mengucapkan maaf itu. Setelah buruh itu berlalu ponselnya bergetar. Mau tidak mau Kastara harus menjauh agar ia bisa mengangkat telepon yang ternyata dari papanya.
"Ya, Pa?" sapanya kemudian berbalik kembali ke arah Charis yang sekarang tampak serius dengan wawancaranya. Ia tetap menulis selama Revid mengatakan sesuatu dalam ponselnya.
"Bagaimana kamu ini? Tidak pernah menelpon orangtua sendiri!" Papanya terdengar kesal.
"Maaf, Pa. Beberapa hari ini aku memang sedang sibuk sekali. Jadi bagaimana kabar Papa dan Mama?"
"Kami baik-baik saja untuk ukuran lansia yang kerjanya hanya duduk-duduk saja, untungnya. Lalu bagaimana denganmu dan Charis?"
Kastara mendesah pelan sambil menatap langit-langit. "Entah kenapa Papa hanya menanyakan kabarku jika aku sedang bersama Charis."
"Well, I wonder why," Papanya ringan. "Jadi bagaimana kabar kalian?"
Charis sekali lagi tertawa ketika mengambil gambar Revid yang berpura-pura sedang berbicara dengan seorang buruh yang sedang bekerja. "Kami juga baik-baik saja. Charis juga sedang sibuk dengan tugas kuliahnya."
Jeda diiringi dengan tarikan napas papanya diujung sana.
"Kamu ingat, kan apa yang kamu katakan ketika kamu memutuskan untuk menikahi Charis?"
Kastara langsung menjawab, "Bahwa menikahinya adalah pilihanku, bukan karena kecelakaan itu ataupun karena Mama." Sekarang mereka sedang memeriksa hasil foto itu. Revid tampak puas sedangkan Charis tertawa geli.
"Benar, jadi jangan pernah melupakan itu."
Sambungan telepon-pun diputus dan Kastara menghela napas panjang. Keduanya masih terus mengobrol dan Charis tampak sudah melupakan catatannya. Membuat kepala Kastara miring satu sisi.
Ini kali pertama ia melihat Charis nyaman dengan orang lain dan ia tidak begitu menyukai sensasinya...
***
Charis belum pernah bertemu pria ataupun pemuda yang seperti Pak Revid Dianara. Pria itu menyenangkan dan mudah untuk disukai. Charis jadi semakin penasaran seperti apa hubungannya dengan Kastara selain sebagai atasan dan bawahan karena mereka nampaknya cukup dekat.
Well, ini untuk pertama kalinya Charis ingin mengetahui lebih banyak tentang Kastara.
"Jadi apakah kamu sudah mendapatkan semua yang kamu perlukan?" Pak Revid setelah mengembalikan ponsel Charis.
Charis cepat-cepat mengangguk. "Iya, Pak. Terimakasih sekali lagi atas bantuannya."
"Tidak masalah. Lagipula kamu menyenangkan." Pak Revid menghela napas panjang lalu menunduk padanya. "Jadi setelah ini apa kamu akan kembali ke kampus?"
Charis yang baru saja menaruh kembali bukunya ke dalam tas menggeleng, "Kuliah saya sudah selesai sejak pagi tadi. Saya akan langsung pulang."
"Jadi siapa yang mengantarmu tadi ke sini? Pacar?"
Charis mengerjap, memandang Pak Revid tidak percaya. "Astaga, bukan Pak. Dia sahabat saya."
Pak Revid mengangguk-angguk kemudian tersenyum cerah. "Kalau begitu apa kamu bersedia menemani saya makan siang di kantin kami? Siapa tahu kamu masih punya pertanyaan lain. Makanan kami juga enak-enak, lho."
Charis terperangah dengan ajakan tiba-tiba itu. Tapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau ia memang lapar. Belum lagi perjalanan pulang nanti cukup jauh. Jadi ia mengiyakan ajakan itu. Pak Revid tampak senang melihatnya.
Begitu mereka berbalik badan keduanya terkejut mendapati Kastara masih berdiri di tempat yang sama. Diam-diam Charis mengerang pelan.
Sebegitu tidak pecayanyakah Kastara padanya?
"Sepertinya bos kita tercinta itu memang tidak ada kerjaan hari ini." Pak Revid mendengus. Sekali lagi ia menyentuhkan telapak tangannya ringan dilekuk punggung Charis, membimbingnya.
Kastara langsung berdiri tegak melihat mereka berjalan menuju ke arahnya. Kastara melirik sekilas ke arah Charis sebelum bertanya pada Pak Revid,
"Sudah selesai wawancaranya?"
"Well, kami mau makan siang dulu." Pak Revid tidak menjawab pertanyaannya.
Charis berjinjit-jinjit kecil, gelisah di sebelah Pak Revid. Entah kenapa ia tidak berani memandang langsung ke arah Kastara.
"Aku ikut kalian kalau begitu. Aku juga belum makan."
Pak Revid menyambar, "Memangnya Anda sama sekali tidak ada pekerjaan, Pak Kastara?"
Ketika Charis mencuri pandang ke arah Kastara, pria itu mengunci pandangan mereka. "Siapa tahu Charis ingin menambah wawasannya lebih jauh. Bukan begitu?"
Charis diam-diam menelan ludahnya sebelum menjawab, "Tentu. Suatu kehormatan."
Pak Revid mengerang pelan. "Baiklah kalau begitu." Ia lalu memberi isyarat Kastara untuk berjalan lebih dulu. Sebelum Charis sempat melangkahkan kakinya, Pak Revid menyambar pergelangan tangannya membuatnya berhenti melangkah. Pak Revid lalu berbisik:
"Ingat apa yang kukatakan tadi padamu."
Kali ini Charis membiarkan dirinya memutar bola matanya terang-terangan.
Ternyata suasana kantin yang terletak dibelakang pabrik itu lebih sejuk dan terang-benderang dengan berbagai makanan yang dihidangkan secara prasmanan. Kastara sudah mengambil piringnya (para petugas langsung berdiri begitu melihat keduanya) Ia melirik ke arah mereka sejenak sebelum mulai memilih menunya.
"Kami punya katering yang menyediakan menu makan siang beragam setiap harinya. Agar para buruh tidak perlu lagi mengeluarkan biaya makan siang." Pak Revid menjelaskan dengan bangga.
Pak Revid mempersilahkan Charis mengambil piring lebih dulu. Ia bahkan dengan senang hati menjelaskan setiap menu yang ada. Begitu mereka selesai mereka melihat Kastara sudah mengambil duduk di dekat jendela kaca yang menampakkan jajaran motor yang diparkir.
Akan canggung rasanya jika Charis mengambil meja yang berbeda, kan?
Jadi ia mengambil duduk dihadapan Kastara. Charis merasa tatapan pria itu bisa menembus kepalanya sangking tajamnya. Namun ketika Pak Revid datang, ia menyuruh Charis geser agar ia bisa duduk di samping gadis itu.
Charis langsung mengangkat wajahnya dan mendapati Kastara memandang tajam ke arah Pak Revid yang malah sibuk membenahi letak kursinya.
"Ada apa?" Pak Revid dengan dahi mengerut, kemudian menoleh ke arah Charis. "Ayo, makan. Kamu bisa tambah sesuka hati juga!"
Kemudian Kastara dan Charis bertukar pandang. Charis merasa sampai di apartemen nanti ia akan mendapatkan masalah besar...
***