"Aku benar-benar minta maaf," Charis dengan berat hati melalui mic earphone ponselnya. Ia baru saja menjelaskan hubungannya dengan Kastara pada Tessa sambil mengaduk sayur lodeh dalam panci.
"Don't be. Aku tahu kamu pasti punya alasan untuk merahasiakannya. But really, Chas? With Kastara Basutara?" Tessa berdecak diujung sana.
Charis menghela napas panjang.
"Jadi apakah aku orang pertama yang kamu beritahu?" Tessa tiba-tiba terkesiap. "Bagaimana dengan Pak Revid?!"
"Kalau urusan Pak Revid, itu keputusan Bang Kastara..."
"Tapi, kan kamu akan magang di Basutara's yang notabenenya adalah perusahaan suamimu, dan belum lagi salah satu rekan kerjanya jatuh cinta denganmu!" Tessa menjerit diakhir kalimatnya.
"Sudah berapa kali kubilang, Pak Revid tidak mungkin suka denganku."
Tapi tentu saja Tessa tidak mendengarkan Charis. "Argh, ini akan jadi lebih heboh dari drama Korea!"
Charis mematikan api kompornya sebelum menarik napas panjang. "Kalau memang Pak Revid seperti itu, sebaiknya aku memberitahunya sejak hari pertamaku magang nanti. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman." Charis lalu memindahkan ayam goreng yang baru ditiris ke atas piring.
Hening sejenak sebelum Tessa bertanya, "Apa kamu baik-baik saja?" tanyanya hati-hati. "Aku rasa tidak semua wanita sanggup sepertimu."
"Memang benar. Aku rasa aku butuh diapreasiasi karena sampai saat ini aku sadar aku tidak berhak untuk menuntut macam-macam darinya."
Charis berjengit ketika ia mendengar Tessa mendadak terisak di ujung sana. "Wah, Chas. Aku tidak tahu kamu sedewasa ini."
Charis tertawa rikuh sebelum ia mendengar ada orang yang memencet bel. Ia mengucap pamit pada Tessa sebelum menutup sambungan telepon dan menyimpan earphone ke saku celana katunnya.
Hanya ada dua orang yang mengunjungi ke apartemennya, salah satunya sedang mandi. Jadi yang kedua itu adalah...
"Papa!" serunya senang begitu melihat ayah mertuanya tersenyum lebar sambil merentangkan kedua lengannya dibalik pintu. Charis melemparkan diri ke dalam pelukan pria tua itu yang langsung memeluknya erat.
"Hello, darling. Papa rindu sekali denganmu." Papa Basutara mengelus belakang kepalanya lembut
Papa Basutara adalah sosok ayah yang tidak pernah Charis miliki sebelumnya. Pria itu memperlakukannya dengan lembut bak putri sendiri dan selalu menyempatkan diri mengunjungi Charis bahkan ketika Charis masih menjalani pemulihan di rumah sakit waktu itu.
Sifatnya sangat berbeda dengan istrinya yang selalu membuat Charis merinding.
"Aku juga rindu Papa." Charis melepaskan pelukannya. "Papa bawa apa?" tanyanya begitu menyadari ada tas plastik di tangan Papa Basutara.
"Bakpia isi cokelat lumer, kesukaanmu."
Kedua mata Charis berbinar senang. Ia bisa menghabiskan satu kotak sendirian dalam satu malam. Jadi setiap Papa Basutara membawakannya tiga kotak. Karena Charis dan Kastara bisa bertengkar nyaris saling cakar kalau sudah berebutan potongan terakhir.
Dan sebenarnya Papa Basutara lebih suka melihat keduanya bertengkar seperti itu.
Charis lalu mempersilahkan Papa Basutara masuk. Ia tidak menyadari Papa Basutara mengendus udara dengan tertarik ketika Charis malah sibuk memandangi isi tas plastik.
"Wanginya enak sekali. Apa Papa datang disaat yang tepat?"
Charis cepat-cepat menaruh tas plastik di meja ruang tengah sebelum menjawab, "Aku baru saja selesai masak makan malam. Papa mau ikut makan malam, kan?"
Belum sempat Papa Basutara menjawab, Kastara yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah itu menyela, "Ada urusan apa Papa datang kemari?"
Charis mendesis, memperingatkan di atas meja makan yang sedang ia tata. Tapi pandangan Kastara justru tertuju tajam pada papanya yang malah terkekeh dan menanggapi, "Apa Papa tidak boleh datang menjenguk kalian?"
Charis lalu melihat Papa Basutara mengedipkan sebelah matanya ke arahnya sebelum mengambil duduk di kepala meja. Keduanya lalu tertawa bersama.
***
Kastara hanya menonton dalan diam ketika papanya dan Charis bermain monopoli di ruang tengah sambil duduk di lantai. Sesekali Charis berseru heboh dengan mulut penuh bakpia. Gadis itu tidak ikut makan malam dan saat ini telah menghabiskan dua pertiga isi kotak bakpia sendirian.
Kastara menyadari papanya sangat menikmati menghabiskan waktu bersama Charis. Mungkin hanya karena ia tidak punya anak perempuan. Tapi "anehnya" papanya malah menjaga jarak jika bertemu dengan Verda.
Setelah malam sudah larut dan Charis tidak berhenti menguap, papanya menghentikan permainan. Membuat Kastara tersadar,
"Papa tidak pulang?"
Papanya tidak menjawab dan malah menariknya keras agar turun dari sofa lalu membimbing Charis agar berbaring di sana. Gadis itu yang terlihat sangat lelah, langsung memejamkan mata dan tertidur pulas.
"Malam ini Papa memang berniat untuk menginap di sini."
Kastara mengerjap lalu berseru, "Kenapa?! Apa Papa bertengkar dengan Mama lagi?"
Papanya langsung menjitak kepalanya, menyuruhnya memelankan suara. "Ayo, sekarang pinjamkan Papa pakaian.
Kastara bangkit sambil bersungut-sungut mengusap kepalanya, dengan papanya yang mengikutinya masuk ke kamar. Ia lalu menarik sepasang kaos bersih dan celana trainning dari dalam lemari. Papanya mengucapkan terimakasih lalu masuk ke kamar mandi.
Kastara kemudian memilih duduk menunggu di tepi ranjang yang menghadap ke kamar mandi. Begitu menyadari papanya membiarkan pintu kamar mandi terbuka sedikit, ia lalu bertanya.
"Apa alasan kalian bertengkar?"
"Sebenarnya bukan bertengkar. Hanya Papa merasa malam ini Papa tidak sanggup berada didekat mamamu dulu," jawab papanya dari dalam kamar mandi.
"Kenapa?" ulang Kastara lagi.
"Tadi siang Papa mendengarnya berbicara dengan mamanya Verda di telepon. Mama ternyata berencana memintamu atau mungkin memaksamu menceraikan Charis paling lambat setelah gadis kita itu lulus kuliah."
Kastara terlalu shock hingga ia tidak menyadari sekarang papanya sudah keluar dari kamar mandi dengan pakaian bersih pemberiannya dan tengah berdiri dihadapannya.
"Papa menebak - walau biasanya Papa selalu benar, alasan mamamu bisa mempunyai rencana seperti itu karena sampai detik ini kamu dan Verda belum punya anak. Kamu dan Verda. Mamamu sepertinya tidak akan pernah mau menerima jika Charis mendahului Verda untuk hal itu."
Kastara memegang kepalanya dengan kedua tangan.
"Dan Papa ke sini karena Papa juga punya pertanyaan untukmu. Apa kamu sendiri punya rencana untuk menceraikan Charis jika suatu saat gadis itu telah sanggup menopang dirinya?"
Kastara mendengus ironi. Papanya menanyainya dengan nada datar tanpa belas kasih.
Kastara kemudian mendongak, menatap tajam papanya. "Selama aku masih ingat dengan apa yang aku katakan pada Papa sebelum menikahi Charis, aku tidak akan pernah menceraikannya."
"Kalau begitu Papa harap kamu mengingatnya selamanya." Papanya berubah ceria lagi. Menggantung pakaiannya di dalam lemari sebelum merangkak naik ke ranjang di belakang Kastara.
"Papa benar-benar lebih menyayangi Charis, ya?" tanya Kastara melalui bahunya.
"Untuk itu Papa tidak akan pernah adil. Charis lebih manis darimu." Papanya sambil memejamkan mata lalu menendang Kastara agar ia bisa menarik selimut.
Kastara lalu kembali membuka lemari. Kali ini mengambil dua selimut dan satu bed cover untuk ia yang harus tidur di lantai malam ini.
"Dan Papa sudah dengar tentang Charis yang akan magang di pabrik. Sebaiknya kamu memberitahu semuanya kalau Charis juga istrimu."
Kastara nyaris menjatuhkan barang-barangnya ketika ia mendengar itu. "Bukannya lebih baik kalau tidak ada yang tahu? Charis pasti tidak akan terima jika tiba-tiba dia diperlakukan istimewa, tapi digosipi dibalik tubuhnya."
"Well, Papa hanya tidak ingin ada yang berani-berani menaksir anak perempuan Papa selama dia magang di sana."
Kastara tiba-tiba teringat Revid, mendadak ia menggeram. "Tidak akan ada lagi yang berani melakukannya."
"Lagi, hah? Siapa orangnya? Apakah Revid? Karena Papa juga dengar kalau Charis pernah mewawancarai..."
Tapi Kastara sudah mengambil satu bantal di dekat kepala papanya sebelum dengan susah payah keluar dari kamar dengan membanting pintu.
Kastara tidak tahu kenapa ia begitu kesal, tapi ia bersyukur tindakannya itu tidak membuat Charis terbangun. Gadis itu tertidur membelakanginya dengan posisi meringkuk. Kastara menyadari Charis bisa tidur nyenyak bahkan di tempat yang sempit sekalipun. Jadi ia menyelimuti gadis itu sebelum menyiapkan tempat tidurnya sendiri di lantai.
Kastara sedang berbaring sambil menatap langit-langit ruang tengahnya ketika tangan Charis tiba-tiba menutup arah pandangannya. Kastara memandangi jemari Charis kurus dan panjang sebelum meraihnya dan menggenggamnya sejenak.
Hangat, kuat, dan mantap. Seperti mampu mendampinginya disaat ia paling membutuhkan...
***