Kastara baru saja keluar dari ruang printing, mengawasi para pekerja yang sedang mencetak motif kain baru ketika ia mendapati Charis sedang bicara dengan Sandra - manajer HRD-nya dari jendela kaca yang memisahkan mereka.
Kastara tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi Charis terlihat sangat senang. Membuatnya tanpa sadar mengulum senyum. Namun senyumnya mendadak hilang begitu melihat bukan hanya ia yang sedang memerhatikan Charis dari kejauhan...
Ada sesuatu dalam cara Revid memandang Charis yang membuatnya berdiri dengan postur waspada.
Charis kemudian membungkuk dan pergi. Kastara memerhatikan Revid langsung memutar tubuhnya, menghindari Charis yang lewat di depannya. Setelah Charis tidak lagi terlihat, Revid mendatangi Sandra. Entah apa yang dikatakan wanita itu pada Revid, namun begitu Sandra pergi Revid berlari menuju pintu depan.
Kastara mengerjap, menyumpah kecil. Segera ia memohon diri dan langsung berlari ke arah yang sama. Langkahnya terhenti di ambang pintu. Menyaksikan Revid dan Charis saling tatap. Kastara hanya bisa melihat punggung Revid, tapi Charis memberi pria itu senyum lebar, seakan lega akan sesuatu...
Kastara melihat kilau bandul panah di d**a Charis ketika ia terlambat menyadari. Setelah kejadian ini, hari-harinya dipastikan tidak akan tenang lagi...
***
"Aku akan ke Cina selama seminggu menemani Pak Tono bertemu dengan kontraktor pembuat alat kami," Verda ketika ia makan malam dengan Kastara. Namun ia mendapati Kastara tidak mendengarnya. Pria itu seperti sedang tenggelam dengan pikirannya sendiri.
Verda mendesah, disentuhnya lengan Kastara sebelum ia berkata, "Kastara, Mama bertanya kapan kita punya anak."
Kastara akhirnya tersentak sadar dan mengerjap di hadapannya. "Maaf, apa kamu bilang tadi?"
"Aku bilang aku akan ke Cina selama seminggu menemani Pak Tono untuk bertemu dengan kontraktor," Verda mengulang kalimat pertamanya, alih-alih yang kedua.
"Kapan kamu akan berangkat?" Kastara sambil meraih gelas air minumnya.
"Besok malam dan aku akan berangkat dari kantor. Nanti kamu bisa ke tempat Charis." Verda dengan nada biasa-biasa saja.
Kastara mengangguk. "Kalau begitu jangan lupa oleh-oleh. Charis suka sekali dengan cokelat yang kamu pernah bawakan itu."
Verda menyeringai sambil menatap isi piringnya. "Oh, ya? Kalau begitu nanti aku bawakan lagi."
Verda lalu kembali mencuri pandang ke wajah Kastara. Kastara tidak keberatan ketika ia memilih tetap bekerja, tidak pernah mengeluh tentang kemampuan masaknya yang monoton, atau tentang ia tidak begitu pandai mengerjakan pekerjaan rumah. Kastara tidak pernah menuntutnya apapun.
Membuatnya bertanya-tanya seperti apa Charis memperlakukan Kastara? Apakah gadis itu memperlakukan Kastara lebih baik darinya?
Verda seharusnya menahan diri dari perrtanyaan-pertanyaan yang hanya akan menyakitinya itu.
Kastara lalu tiba-tiba tersenyum, seakan teringat sesuatu. "Ada apa?" tanya Verda yang berhasil menjaga suaranya.
"Aku ingat Charis juga pernah membuat sayur lodeh seperti ini. Dia memakai buncis, alih-alih kacang panjang."
Lalu Verda menyadari di piring Kastara ada setumpuk potongan kacang panjang yang tidak dimakan...
***
"Jadi apa yang dikatakan Pak Revid ketika beliau menghampirimu hari itu?" Tessa bertanya begitu mereka bersiap pulang dari aula tempat mereka melakukan seminar pemantapan magang.
"Beliau meminta maaf atas sikapnya yang tiba-tiba berubah dan katanya beliau senang menerimaku lagi di sana." Charis sambil menyampirkan tas selempangnya di pundak.
"Hanya itu?" Tessa terdengar tidak percaya.
"Tentu saja. Memangnya apa yang kamu harapkan?" Charis mendengus.
"Well, pernyataan cinta, mungkin?"
"Aku yakin tipe Pak Revid bukan anak mahasiswi sepertiku." Mereka lalu keluar dari aula yang masih penuh dengan dengungan percakapan.
"Semua orang bisa berubah, kamu tahu. Apalagi berubah ke arah yang lebih baik." Tessa memberinya kedipan sebelah mata. "Ah, ya. Hari ini katanya kamu mau membeli pakaian untuk magang? Mau aku temani?"
Belum sempat Charis menjawab, ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama Kastara tertera di layar, membuatnya mendelik terkejut.
"Er, aku harus mengangkat ini." Kemudian ia menuju sudut koridor, tidak menghiraukan teriakan Tessa,
"Memangnya siapa, sih?! Pak Revid, ya?!"
"Siapa itu yang meneriakkan nama Revid?" Itu pertanyaan pertama Kastara begitu Charis mengangkat teleponnya.
"Tessa," Charis sudah pernah menceritakan tentang sahabatnya itu pada Kastara. "Abang tidak pernah menelponku pada jam begini. Ada apa?" katanya sambil menatap dinding.
"Aku akan di apartemen malam ini sampai seminggu ke depan. Verda akan berada di Cina untuk urusan pekerjaan. Jadi aku harap kamu ada di sana sebelum aku datang."
Charis memutar bola matanya. "Aku sudah punya rencana berbelanja pakaian kerja untuk magang..."
"Kenapa repot sekali?" potong Kastara cepat. "Kamu bisa memakai apa saja di sana selama itu sopan. Bukannya kamu sudah lihat bagaimana cara Sandra berpakaian?" Kastara datar.
Charis langsung mengerang frustrasi. "Tapi, kan tetap saja aku anak magang! Aku tidak mungkin berpakaian seperti kalian!"
Hening sejenak. "Kalau begitu tunggu aku menjemputmu. Aku akan menemanimu belanja."
Charis membeku ketika Kastara menutup sambungan telepon sepihak.
Apa kata pria itu tadi?!
Charis masih mencoba mencerna kata-kata Kastara ketika ia menyadari ternyata Tessa masih menunggunya.
"Kenapa ekspresimu begitu?"
Namun Charis menggeleng. "Aku bisa pergi belanja sendiri. Lagipula aku sudah terlalu sering merepotkanmu."
"Kamu yakin? Memangnya siapa tadi yang menelponmu?"
"Orang gila," jawab Charis singkat. "Sekali-sekali seorang Tessa pulang cepat, bisa saja membuat ibunya menangis bahagia."
Tessa menyumpahinya sebelum melambai meninggalkannya.
Charis akhirnya bisa menarik napas. Ia harus menyiapkan perasaannya karena ini adalah kali pertama Kastara mengajaknya keluar bersama...
***
Verda sedang menatap langit malam dari jendela pesawat sambil bertopang dagu di lengan kursi. Ia menoleh ketika Pak Tono kembali dari toilet dan kembali duduk di sebelahnya.
Biasanya Pak Tono duduk di bussiness class dan ini adalah kali pertama Pak Tono ikut duduk di economy class bersamanya.
Verda tahu alasan Pak Tono melakukannya karena ada yang ingin bosnya itu bahas dengannya. Dan benar saja.
"Saya ingin bertanya denganmu," Verda menoleh ke arah bosnya itu. "Dan ini tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Ada desas-desus yang saya dengar kalau..."
"...Kalau suami saya memiliki istri lain?" Verda tersenyum kecil melihat ekspresi terkejut di wajah bosnya ketika ia berhasil menebak dengan benar apa yang akan beliau tanyakan. "Memang benar, Pak."
"Apa kamu tidak apa-apa?" tanya bosnya lagi, hati-hati.
"Gadis itu yatim-piatu. Saya juga ingin mendapatkan pahala dengan memberi izin Kastara menikahinya."
"Dan kamu tidak menjawab pertanyaan saya."
"Karena saya tidak mau berbohong. Dosa saya sudah terlalu banyak."
Pak Tono tertawa, "Jawaban yang khas sekali dirimu."
Kemudian Verda menyipitkan matanya, "Dan karena inikah alasan Bapak mau duduk di economy class dengan saya?"
"Kan, tidak ada salahnya sekali-sekali merendah sedikit?"
Verda sudah bekerja dengan Pak Tono cukup lama sehingga ia bisa mendengus terang-terangan di depan bosnya yang tergelak.
"Lagipula seharusnya Kastara bersyukur. Tidak semua pria seberuntung dia."
Verda masih melirik bosnya tajam. "Seharusnya perkataan Bapak saya rekam tadi. Agar bisa saya perdengarkan sama Ibu."
Pak Tono sekarang tergelak lebih hebat...
***
Charis memeriksa satu persatu harga pakaian yang ia sukai sebelum memutuskan mengambilnya. Ia sudah menabung jauh-jauh hari dari uang saku pemberian Kastara untuk keperluan magangnya.
"Ambil saja mana yang kamu mau. Nanti aku yang bayar."
Mendengar Kastara berkata seperti itu dibelakangnya, membuat Charis menoleh cepat setelah bergidik ngeri. "Abang sudah memberiku cukup banyak untuk membuatku bisa membayar sendiri."
"Tapi kamu tanggung-jawabku. Jadi jangan membantah. Cepat ambil apa yang kamu perlukan dan keluar dari sini. Aku lapar sekali."
"Aku tidak mau makan di sini!" Membayangkan duduk berdua dengan Kastara kemudian tiba-tiba bertemu dengan orang yang mengenal mereka adalah hal yang paling Charis tidak inginkan saat ini.
"Siapa juga yang mau mengajakmu makan di sini? Aku ingin kita cepat pulang agar kamu bisa masak." Kastara dengan nada menjengkelkan.
Charis mengerang kesal. "Kalau begitu kita harus belanja makanan juga. Aku tidak punya stok karena kupikir Abang baru datang minggu depan."
Kastara berkata ia tidak perlu memakai pakaian kerja yang terlalu formal sehingga ia hanya mengambil beberapa blouse dan sepasang flat shoes hitam dengan diskon lumayan. Mereka berbelanja di deparment store alih-alih butik ternama yang ditunjuk Kastara. Ia tidak menyukai ide menghamburkan uang dan ia juga tidak ingin memulainya.
Kastara menyerahkan kartunya pada sang Kasir yang mencuri lirik ke arahnya dengan wajah bersemu. Charis tidak tahan untuk tidak mengerang. Setelah mereka selesai membayar, Kastara tiba-tiba meraih pundak Charis ke arahnya. Begitu erat, sehingga mau tidak mau mereka berjalan bersisian.
Ujung bahu Charis menyentuh d**a Kastara, membuatnya tidak nyaman. "Er, Abang bisa jalan sendiri."
Tapi Kastara tidak juga melepaskannya. Dia malah berbisik dengan bibirnya di puncak kepala Charis, "Diam sajalah."
Charis mengerjap. Kastara tidak pernah bersikap manja seperti ini. Membuatnya merinding di sekujur tubuh.
Namun itu tidak berlangsung lama. Charis mendadak menghentikan langkahnya ketika melihat Tessa bersama pacarnya berjalan ke arah mereka.
Keduanya membuat pasangan mereka nyaris terjerembab ke depan karena berhenti mendadak...
Charis menyumpahi dirinya dalam hati karena ia lupa pacar Tessa adalah manajer department store tempatnya berbelanja.
Oh, gadis itu pasti akan membombardir Charis dengan rentetan pertanyaan nanti...
***