2 : Warna

1040 Words
"Mendadak aku menyukai warna jingga melebihi warna apapun." -Abimanyu Satriya Prakasa- --- Jingga masih terus fokus pada layar laptop. Sembari sesekali ujung matanya melirik ke arah ponsel Haris. Membiarkan laki-laki itu tetap diam di tempatnya. Iya tugas Haris beralih pada gadis itu. Alasannya hanya satu, Jingga kesal dengan cara kerja jemari Haris. Terlalu lambat. Jadi biarkan saja Jingga mengerjakan tugas Haris dan membiarkannya sesekali memandangi sosok gadis itu. “lu ngerjain tugasnya Haris?” Etensi gadis berambut panjang kecoklatan itu beralih. Menatap laki-laki tinggi yang mendadak duduk di sebelahnya. Bima namanya. Jingga mengangguk. Lalu kembali mengerjakan apa yang harus ia lakukan saat ini. Mengetik kembali apa yang ia lihat di ponsel Haris. “dih enak banget lu ris.” Bima mengejek dengan wajah sedikit kesal. Iyalah kesal. Tadi saja Haris berkata ingin menjadi mahasiswa rajin. Tapi sekarang malah meminta Jingga untuk mengerjakan tugasnya. Tidak bukan mengerjakan. Hanya membantu mengetikkan. “enak dong,” timpal Haris tampa dosa lalu melipat kedua tangannya di depan d**a. “kalau bukan karena lu lama ngetiknya dan gue gatel liatnya, gue enggak bakal deh ngetik ini.” Jingga menimpali sambil sesekali menatap Haris dengan tertawa kecil. Mendengar itu Bima tertawa. Lucu pikirnya. Sementara Haris mulai mengumpat kecil-kecilan di dalam hatinya. Sambil menatap wajah Bima yang terlihat tidak merasa punya dosa itu. Bima kembali memainkan ponselnya. Sekedar mengecek notifikasi sampai ia bosan karena tidak ada satupun yang penting. Sebenarnya ada notifikasi di ponselnya. Bukan pesan broadcast dari salah satu operator. Tapi beberapa gadis yang sempat ia hubungi hanya untuk menggodanya. Bima suka menggoda gadis tapi tidak satupun yang ia anggap serius. Jadi tidak heran jika ia adalah kang kerdus di kampus. Sekilas Bima memperhatikan Jingga dari ujung matanya. Memperhatikan gadis yang tengah fokus dengan layar monitor laptop silver milik ayah Haris. Sesekali ia tersenyum. Sekedar merespon candaan renyah yang di ciptakan Haris dan juga Dita yang masih bersama mereka. Manis, pikir Bima. Terkadang Bima berfikir apa Prof Danu atau dosen statistika yang terkenal killer itu adalah ayah dari seorang Jingga yang terlalu indah itu. Lihat saja bagaimana menakutkannya Pak Danu dan sebegitu hangatnya sang anak. Terlalu jauh menurutnya. Ya meskipun kesamaan diantara mereka hanya satu. Cuek. Hanya itu selebihnya berbeda. Katakan saja jika Bima mengagumi sosok Jingga melebihi sang bapak professor. Nyatanya Bima tidak sekedar mengaguminya. Tapi menyukainya. Jingga yang hangat di balik ke dinginannya pada beberapa orang yang belum akrab dengan Jingga, membuat Bima penasaran. Entah mengapa tapi hanya Jingga yang membuatnya begitu. Bima tersenyum kecil saat mengingat bagaimana menggemaskannya Jingga saat ia menggoda gadis itu. Rasanya seperti candu. Sehari saja tidak menggoda Jingga itu seperti bukan seorang Abimanyu Satriya Prakasa. Dan seperti sekarang, ketika tangan Bima mulai ia rentangkan. Sampai tangan kanannya menyentuh bahu Jingga dengan mesrahnya. “apaan sih bim?” pekik Jingga sambil menepis tangan Bima. Bima tidak merespon. Ia hanya tersenyum jahil pada gadis yang menatapnya dengan sedikit kesal itu. Lalu kembali memainkan ponselnya tampa dosa. Sembari sesekali ia mencoba menahan tawanya yang sebenarnya tidak terbendung itu. Bima sekilas melirik ke arah Jingga yang kini sudah kembali dengan aktivitasnya. Mengetik. Sebuah ide busuk pun terbesit di otak jahanamnya itu. “MAMA!!” pekik Jingga lagi saat mendadak tangan Bima menggenggam tangan kanannya. Meskipun itu hanya sedetik karena gadis itu langsung menepis tangan nista itu darinya. Sejak saat itu rasanya Bima seperti om-om yang menggoda bocah berumur 6 tahun. Cukup Bima ketahui jika Jingga adalah anak mama yang tidak bisa berhenti mengucapkan mama ketika terkejut atau ketakutan. Seperti tadi contohnya. Sialnya saat berucap kata mama, gadis itu malah spontan menempel pada Haris yang duduk di sebelah kirinya. Mendadak sebuah suara retakan muncul di otak Bima. “gue mau ke kantin deh nyusulin Fian,” ujar Bima lalu bangkit dari bangkunya dengan wajah serius. Entahlah tapi mendadak ia menyesal berada disini. Etensi Jingga lalu beralih pada Bima. Tepatnya setelah ia membenarkan posisi duduknya. Gadis itu menatap laki-laki berparawakan tinggi dengan wajah menggemaskannya. “gue titip belikan cimol ya?” pintanya. “berapa?” tanya Bima singkat. Tidak ada jawaban. Gadis itu mencoba mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sampai akhirnya ia menyodorkan selembar uang kucel yang di lipat-lipat berwarna kecoklatan pada Bima. “lima ribu aja, nih uangnya.” Bima menggeleng. “enggak usah, biarin gue yang beliin lu kali ini,” jelasnya lalu melangkah pergi dari semua orang itu setelah memberi senyum hangatnya pada Jingga. *** Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, tapi Bima masih tetap bertahan di salah satu toko aksesoris. Ia sedang menemani adik perempuannya. Bukan, bukan adik kandung. Bima tidak memiliki adik perempuan. Ia anak terakhir dari dua bersaudara. Gadis itu adalah adik ketemu gede nya. Namanya Mila, gadis manja yang masih memilah-milah aksesoris menggemaskan di rak. Wajahnya menggemaskan. Cantik dan juga manis. Tapi sayangnya Bima tidak terlalu suka dengannya. Sekali lagi hanya Jingga yang ia suka. Catat itu. “kak Bima,” panggil Mila. Bima berguman. Menatap Mila dengan wajah malasnya. “bagus yang mana kak?” tanya Mila pada laki-laki itu. Sejenak Bima mencoba menelaah dua bandana yang di pegang gadis itu. Modelnya sama saja, polkadot. Hanya saja warnanya yang berbeda. Satunya berwarna hijau pastel dan satunya lagi berwarna peach. Spontan Bima menunjuk warna peach. Entahlah tapi ia pikir warna itu bagus. Bukan bagus untuk Mila. Catat itu lagi. Setelahnya Mila kembali riang. Memasukkan bandana peach itu ke dalam keranjang mungil berwarna biru tua yang ia tenteng kemana-mana selama dua jam. Mereka berdua kembali melangkah. Mila berjalan mendahului Bima yang sudah mulai lelah dengan situasinya saat ini. Sampai ia menemukan sebuah jepitan rambut berwarna jingga di deretan aksesoris itu. Bima mengambil benda itu. Seutas senyum pun ia sunggingkan. Menambah kadar ketampanan seorang Abimanyu Satriya Prakasa. “kalau Jingga pake ini ke kampus pasti cantik,” gumannya. “kakak mau beliin aku ini?” tanya Mila yang mendadak muncul di depan Bima dan memecahkan balon imaji laki-laki itu. “enggak, buat ponakanku.” Bima berdalih lalu berjalan mendahului Mila sambil membawa satu bungkus berisi sepasang jepitan berwarna jingga dengan hiasan berbentuk bunga. Mendengar itu Mila hanya diam. Sembari mengingat-ingat apa Bima benar-benar mempunyai seorang keponakan. Seingatnya sih tidak. Karena kakak perempuannya saja belum menikah. Entahlah disini Mila yang terlalu polos atau gampang di bohongi. Ia malah menaikkan bahunya dan menyusul Bima yang sudah di depan meja kasir. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD