Epilog- Wasiat Gila dari Nenek Buyut
Aku yang sedang fokus menatap laptopku menampilkan desain interior sebuah cafe, lengkap dengan detail warna dan furnitur yang cerah.
Tapi fokusku pecah saat ayah menelpon. "Jeslyn, kau harus datang ke kantor pengacara keluarga sekarang.
" Ada apa, Yah?" tanyaku. "Aku sedang mengerjakan proyek kafe ini."
"Ini tentang wasiat leluhur kita. Penting." Suaranya terdengar serius. Aku tak bisa membantah. Wasiat leluhur adalah sesuatu yang tak bisa dipermainkan di keluargaku.
Aku membayangkan villa tua milik nenek buyutku yang sering aku kunjungi saat kecil, dengan taman luas dan arsitektur kuno. Itu adalah properti yang paling aku cintai.
Mungkinkah aku akan mewarisi tempat itu? Pikiranku langsung dipenuhi ide-ide desain, mengubahnya menjadi sebuah galeri seni yang modern tapi tetap mempertahankan unsur klasiknya.
Sementara itu, di sebuah gedung perkantoran mewah, Rain Louis baru saja selesai dengan rapat dewan direksi yang melelahkan. Tiba-tiba ponselnya berdering menampilkan nama pengacara keluarga.
"Tuan Rain, kami harus bertemu sekarang ini tentang wasiat yang dijanjikan leluhur anda, " ujar sang pengacara.
Rain menghela nafas. "Wasiat? Saya sudah bilang, sumbangkan saja properti itu." Rain tidak peduli dengan warisan, ia hanya peduli dengan kemajuan bisnisnya.
Ia berasumsi pengacara itu ingin membicarakan tentang proyek properti baru atau aset yang akan ia dapatkan sebagai warisan. Mungkin itu adalah tawaran untuk membeli sebuah lahan strategis, pikirnya, dan itu bisa sangat menguntungkan perusahaannya.
Beberapa saat kemudian.
Aku duduk di kursi empuk di hadapan pengacara keluarga, Tuan Haryo. Suasana ruangan itu terasa dingin. Di seberangku, duduk seorang pria dengan aura dominan. Jasnya hitam, rambutnya tertata rapi. Wajahnya tampan, tapi ekspresinya sangat datar, seolah-olah ia sedang duduk di ruang pengadilan.
Pria itu Rain Louis, CEO yang sering muncul di majalah bisnis. Aku pernah melihat fotonya, tapi aslinya... ia jauh lebih dingin dari yang kuduga.
"Maaf, apa ini pertemuan bisnis? " tanyaku.
"Saya pikir ini tentang wasiat properti.
Bisa dibilang begitu, " jawab Tuan Haryo. Ia menatap kami berdua, lalu mengeluarkan dua dokumen. "Wasiat dari Nenek buyut Anda, Yang Mulia Ratu Kembang... " Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu melanjutkannya.
"Menyatakan bahwa untuk mewarisi seluruh kekayaan, termasuk semua properti, hotel, dan aset, serta perusahaan di bawahnya, Anda berdua harus menikah."
Aku nyaris terjatuh dari kursi.
Aku menatap Tuan Haryo, lalu ke arah Rain. Pria itu hanya diam, tetapi rahangnya mengeras. Ia menatapku tajam. Tatapan itu seolah bertanya, Apa-apaan ini?
Ku tatap layar laptopku yang tadinya berisi ide kafe impian, tiba-tiba terasa begitu berantakan. Semua ide desain, semua rencanaku, hancur dalam hitungan detik. Ini bukan warisan biasa. Ini sebuah jebakan.