Chapter 8

1106 Words
Suara pintu apartemen terbuka membuat semua orang berhenti. Kedua petugas polisi yang sedang sibuk membongkar pintu dengan paksa, menengadahkan kepalanya menatap ke atas. Mereka berdua melihat sosok wanita cantik sedang berdiri di hadapannya dengan mengenakan piyama. "Apa yang kalian lakukan di depan rumahku?" Flora terkejut melihat sekumpulan orang di depan pintu rumahnya. Ia mengedarkan pandangannya dan terbelalak melihat siapa saja yang ada di hadapannya. "Polisi dan petugas 119. Astaga! Ada apa ini?" batin Flora dengan tubuh yang menegang. "Rayyen? Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa bisa--" "Nanti aku jelasin," potong Rayyen. "Maaf Pak. Sepertinya ada kesalahpahaman," ujar Rayyen seraya membungkukkan badannya. "Lain kali sebelum bertindak, tolong pastikan terlebih dahulu agar tidak menimbulkan keributan," balas Pak Polisi geram. Bagaimana bisa Rayyen memanggil polisi dan petugas 119 sebelum memastikan kejadian sebenarnya? "Baik Pak, terima kasih. Maaf sudah mengganggu waktu Bapak-bapak sekalian," ujar Rayyen lagi masih membungkukkan badannya. Petugas polisi, petugas 119, dan penghuni apartemen setempat bergegas pergi. Suasana yang awalnya ramai kini berubah sepi. Sedangkan Flora dan Rayyen masuk ke dalam. Kini, giliran Flora menginterogasi sahabatnya. "Apa yang terjadi Ray?" tanya Flora penasaran. "Maaf. Aku pikir kau nekat melakukan hal buruk karena perceraianmu. Tapi ternyata-- aku salah dan malah membuat keributan di sini," balas Rayyen menunduk. Ia tidak menyangka telah berpikir pendek. "Astaga, Ray! Apa yang kau pikirkan sampai kau berpikir untuk memanggil polisi dan petugas 119? Apa kau pikir aku akan memotong urat nadiku?" Flora bertanya seakan-akan hal itu tidak pernah terpikirkan olehnya. Padahal sebelumnya ia sudah berniat mengakhiri hidupnya. "Ini bukan sepenuhnya salahku dan justru salahmu sendiri. Kenapa semua panggilanku tidak kau jawab? Bahkan semua pesanku pun kau abaikan." Tidak ingin disalahkan, Rayyen justru balik menyalahkan Flora. Tentu saja apa yang ia katakan memang benar adanya. "Mana ada telepon masuk. Dari tadi aku sedang menonton televisi. Masa iya aku tidak tahu," sahut Flora berjalan mencari ponselnya. "Oh My God! Serius aku tidak tahu kau menelpon," sambung Flora terkejut melihat betapa banyaknya panggilan dan pesan yang masuk dari Rayyen, sahabatnya. Tertulis panggilan tak terjawab sebanyak dua puluh satu dan puluhan pesan masuk dari Rayyen di layar ponselnya. "Apa kau baik-baik saja?" tanya Rayyen. Ia khawatir dengan kondisi psikis sahabatnya. "Seperti yang kau lihat!" balas Flora santai sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa. "Jangan bohong! Aku tahu, pasti terjadi sesuatu antara kau dan Zavier. Lihat saja tubuhmu yang semakin mengurus. Apa kau tidak pernah makan selama ini? Memangnya dengan memikirkan laki-laki b******k itu, kau bisa kenyang, huh?!" Melihat Flora yang tidak terlihat segar dan kurus membuat emosi Rayyen memuncak. "Jelaskan semuanya padaku, jika kau menganggapku sebagai seorang sahabat sekaligus kakak," sambung Rayyen. Ia tahu jelas ada yang disembunyikan darinya. Flora bangkit berdiri, ia berjalan ke arah balkon. Tatapan matanya fokus ke bawah, menatap kendaraan yang lalu lalang layaknya sebuah mobil mainan. "Zavier menceraikanku, di pagi hari setelah resepsi pernikahan kami," lirih Flora dengan pandangan mata yang mulai mengabur. Cairan bening dari kedua matanya perlahan berjatuhan, diiringi dengan rasa sakit di hatinya. Tangannya terulur, menyentuh dadanya yang terasa nyeri dan sesak. Sehingga membuatnya kesulitan sekedar untuk bernafas. Sementara Rayyen, ia menatap punggung Flora yang bergetar. Ia tahu bahwa saat ini, sahabatnya sedang menangis. Ia bangkit berdiri dan berjalan mendekat. Didekapnya tubuh kurus sahabatnya. Memberikan ketenangan seolah-olah ia berkata, Tenang saja, ada aku di sisimu. "Dia menikahiku hanya untuk membalaskan dendamnya pada Papa. Kedua orang tuanya meninggal karena Papa." Flora tidak bisa lagi menahan tangisnya. Ia menangis sesenggukan membuat Rayyen merasakan ngilu di dadanya. "b******k!" umpat Rayyen emosi. Siapa yang tidak kesal, jika sahabat sekaligus adiknya dibuat hancur hingga terpelanting jauh. Padahal ia sangat tahu bahwa Flora sangat mencintai Zavier. Laki-laki itu merupakan orang pertama yang mampu meluluhkan kerasnya hati seorang Flora Almagatha. Namun yang tak disangka-sangka, laki-laki itu justru hanya mempermainkannya. "Apa aku harus memberinya perhitungan? Kau ingin aku melakukan apa padanya, hum? Aku siap, jika memang harus mencabut nyawanya," tanya Rayyen. Ia rela melakukan apa saja demi menyembuhkan luka hati Flora. Asalkan hatinya yang hancur bisa kembali utuh seperti sediakala. Rayyen mengendurkan pelukannya, memundurkan langkahnya, dan membalikkan tubuh Flora menghadap ke arahnya. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya, di pipi perempuan yang ia anggap sebagai seorang adik. Ia menatap dalam-dalam manik mata kecoklatan milik Flora. "Apa kau masih mencintainya, meski apa yang sudah laki-laki itu lakukan padamu?" tanya Rayyen melihat Flora tidak menjawab pertanyaannya. Ia sudah bisa menebak hanya dengan menatap matanya. Flora menundukkan pandangannya agar tidak bertemu dengan manik mata Rayyen. Jujur, Flora sangat mencintai Zavier. Dan sampai sekarang pun ia masih sangat mencintainya. Walaupun apa yang telah laki-laki itu lakukan padanya terlampau menyakitkan. "Lupakan dia! Aku tidak ingin jika kau semakin terluka dan berlarut-larut dalam kesedihan," tegas Rayyen menyentuh kedua bahu Flora. Kemudian ia menghapus air mata di pipi wanita itu. "Bantu aku Ray. Bantu aku agar lepas dari bayang-bayangnya. Sakit Ray, sakit banget di sini," pinta Flora memukul dadanya dengan keras. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. Flora menatap Rayyen dengan tetesan demi tetesan air mata yang menyayat hati. Kemudian, Rayyen menarik Flora masuk ke dalam d**a bidangnya yang kokoh. "Dengan senang hati aku akan membantumu. Apapun itu, aku akan melakukannya sekuat aku mampu." "Jadi jangan menangis lagi! Jangan buang air matamu demi laki-laki b******n sepertinya. Dia tidak pantas menerima air matamu, bahkan hanya satu tetes pun." Rayyen mengusap punggung ringkih Flora dan mengecup puncak kepalanya. Terdengar suara perut yang ternyata belum diisi sejak semalam. Flora menengadahkan kepalanya, tersenyum menatap wajah sendu sahabatnya. "Apa kau lapar?" tanya Rayyen melihat ekspresi malu-malu sahabatnya. "Ehm," sahut Flora mengangguk. "Duduklah. Aku akan membuatkanmu makanan." "Tapi--" "Tidak ada tapi," potong Rayyen. Ia pikir Flora akan melarangnya. Padahal wanita itu hanya ingin mengatakan, bahwa di rumahnya tidak ada apapun yang bisa dimasak. Rayyen berjalan ke arah dapur. Ia membuka kulkas, tapi tidak mendapati sayur atau apapun. Bahkan air putih saja tidak ada. Hanya ada botol kosong yang tertata rapi di dalamnya. Kemudian, ia memeriksa persediaan di tempat semestinya. Namun, tetap saja ia tidak menemukan apa-apa. "Apa yang kau lakukan selama dua Minggu ini di rumah, Flora?" Rayyen berkacak pinggang menatap Flora dengan tatapan kesal. "Apa selama ini kau hanya meminum air putih, sampai-sampai tak ada air setetes pun di rumah ini?" Flora tidak menjawab, ia hanya tersenyum kikuk membenarkan pertanyaan sahabatnya. Memang selama dua minggu ini ia tidak pernah makan. Rasanya sulit sekali karena selama ini Zavier lah yang selalu membuatkan makanan untuknya. "Bukan begitu. Aku hanya malas makan saja. Apa kau tahu, akhir-akhir ini aku tidak bisa makan dan tidak ada selera makan sama sekali." "Tidak ada alasan. Ayo kita makan di luar saja." "Tapi aku berkata jujur. Aku selalu mengeluarkannya kembali setelah selesai makan." Tanpa menghiraukan ucapan Flora, Rayyen bergegas menarik tangan sahabatnya keluar. Ia membawanya ke tempat makan terdekat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD