IMPG-11

1348 Words
Ucapan Ryeon membuat Dae Eun Jung menatap laki-laki itu dengan keterdiaman. Namun juga salah tingkah. Apa maksud Ryeon barusan?  "Bagaimana jika aku meminta mobil?" Dae Eun Jung berkacak pinggang, dia mencoba mengetes kesanggupan Ryeon. Mungkin sajakan, apa yang diucapkan laki-laki itu hanyalah omong kosong.  Banyak laki-laki hanya ingin terlihat sok di depan seorang gadis. Barangkali, Ryeon adalah salah satunya.  Dua alis Ryeon terangkat. "Kau ingin sebuah mobil?" Dae Eun Jung mengangguk mantap.  "Baiklah. Aku akan membelikanmu mobil," jawab Ryeon dengan nada suara yang meyakinkan.  Dae Eun Jung menganga tak percaya. "Kau serius? Ah aku hanya bercanda Ryeon." Dae Eun Jung tertawa. Tapi Ryeon seperti tak menganggapnya sebagai candaan.  Mendung yang tiba-tiba menyelimuti atmosfer membuat Ryeon dan Dae Eun Jung mendongak.  "Sepertinya akan turun hujan," prediksi Ryeon disambut anggukan oleh Dae Eun Jung.  "Kalau begitu, ayo bergegas pulang!" ajaknya, dengan refleks Dae Eun Jung menarik tangan Ryeon.  Namun karena sadar, pergerakannya terhenti dan dengan cepat melepas tautan tangan mereka.  "Ah, maaf," ujar Dae Eun Jung canggung, sembari mengusap rambutnya,  Ryeon terkekeh. "Santai saja," ujarnya, mengangkat kedua tangan. "Aku tau maksudmu."  "Naiklah duluan." Dae Eun Jung memerintahkan dengan tangannya." Perlahan Ryeon menaiki sepeda motor Dae Eun Jung. Seperti sebelumnya, Ryeon membonceng. Dae Eun Jung menyusul, memakai helmnya.  "Cepat nyalakan mesinnya. Kau tidak mau kan kita kehujanan?" Dae Eun Jung mengangguk tanpa menjawabnya.  Ryeon tahu gadis itu masih canggung.  Setelah beberapa puluh menit perjalanan. Mereka Akhirnya sampai di rumah Dae Eun Jung. Ini keputusan Ryeon. Di perjalanan laki-laki dengan kulit mulus itu meminta Dae Eun Jung untuk berhenti di rumahnya.  Tepat saat mereka sudah sampai di rumah minimalis milik Dae Eun Jung. Hujan jatuh dengan lebatnya. Ryeon mengulurkan tangannya, telapak tangannya menampung buliran-buliran air yang jatuh cukup keras.  Dae Eun Jung melepas helmnya. Jadi ikut berdiri di depan teras rumahnya, terpaan angin membawa air menyapu wajahnya dan Ryeon.  "Terkadang, aku ingin menjadi hujan. Walau kerap kali dibuang oleh langit. Tapi ia tetap kembali pada langit," ujar Ryeon tiba-tiba. Dia melamuni rintik hujan dengan jumlah tak terhitung itu.  Mendengar itu, Dae Eun Jung tersenyum tipisn "Apa kau pernah dibuang oleh seseorang?" Ryeon menurunkan tangannya yang basah. Menoleh dan menatap Dae Eun Jung.  Ryeon diam sejenak. "Pernah. Dan aku tidak bisa kembali seperti hujan." Senyuman tipis terukir di bibirnya.  Memasukan tangannya kedalam saku jaketnya. "Mengapa harus kembali, saat kau jatuh dan tersakiti," sahut Dae Eun Jung.  Cinta adalah tentang dua orang yang saling mencintai. Menghasilkan kebahagiaan karena cinta.  "Oleh karenanya aku tidak ingin kembali."  Sesaat mereka melamuni hujan dalam diam. Hingga kilat tiba-tiba menyambar sebuah bangunan tinggi dengan cahaya yang sangat terang.  Detik saat suara bergemuruh keras, mereka berlari ke dalam dengan keterkejutan luar biasa.  "Jantungku hampir meledak," ungkap Ryeon, memegangi dadanya.  "Huh! Tidak kusangka kau takut pada hal seperti itu," ejek Dae Eun Jung sambil terkekeh.  Ryeon yang kini duduk di kursi kayu tak mengambil pusing. Dia mengangkat bahu acuh. Menyandarkan punggung, seolah dia letih. Menyugar rambutnya yang sedikit basah.  "Tidak masalah. Seorang laki-laki tidak harus tidak takut dengan apapun kan?" Ryeon mencoba membela dirinya.  Dae Eun Jung mencibirkan bibirnya. "Kutau, kau hanya membela dirimu," sewot Dae Eun Jung, mengerlingkan matanya.    Ryeon mencondongkan badannya ke depan, tangannya bertopang pada paha. "Dari pada kau mengejekku seperti itu, lebih baik kau ambilkan aku minuman," perintah Ryeon sambil mengangkat dagunya singkat.  Dae Eun Jung memukul jidatnya pelan, namun juga menggerutu karena perintah tamu yang tak tau malu itu. "Ah, baiklah. Aku hampir lupa." Bangun dari duduknya. "Tunggu sebentar," ujarnya kemudian berjalan ke dalam.  Ryeon memperhatikan setiap sudut rumah Dae Eun Jung. Terkesan minimalis dan sangat sederhana. Bahkan interiornya terkesan sederhana. Tak ada barang mewah yang dapat membuat seseorang tertarik untuk melihatnya.  Hanya ada televisi jadul dan beberapa bingkai foto yang terpajang.  Sangat berbeda jauh dengan keadaan rumahnya yang besar dan super mewah. Interior dari macam negara pun ada di rumahnya.  Ryeon bangkit, menghampiri beberapa bingkai foto yang terpajang di dinding. Cukup berdebu, kacanya kusam. Sepertinya sudah lama tak disentuh.  Dalam bingkai tersebut, dua orang dewasa dan satunya lagi anak perempuan berusia delapan tahun kira-kira. Terlihat bahagia dengan senyum yang terukir di bibir mereka. Pasti, yang di tengah itu adalah Dae Eun Jung bersama orang tuanya.   "Dia terlihat menggemaskan sampai sekarang," gumam Ryeon pelan.  Ryeon beralih pada bingkai selanjutnya dengan letak yang tak jauh dari bingkai sebelumnya.  Potret yang sama, tapi yang ini terlihat berbeda. Dae Eun Jung sepertinya lebih dewasa dalam potret tersebut. Setelah melihat dua foto itu, dapat Ryeon simpulkan bawha Dae Eun Jung adalah anak tunggal. Ia kembali menyusuri setiap inci ruangan minimalis tersebut. Jika dilihat-lihat, bangunan ini mirip dengan sebuah kedai yang kala itu ia kunjungi bersama ayahnya. Ya, salah satu toko yang pemiliknya meminjam uang pada ayahnya.  Tapi entahlah, saat itu ia masih berusia lima tahun dan memorinya tak sebagus itu untuk mengingat kejadian lampau.  "Ini minumlah, aku hanya punya teh untuk diminum." Dae Eun Jung sudah kembali dengan nampak di tangganya. Hanya membuat satu cangkir teh.  Ryeong mengambil cangkir di atas nampan. "Terimakasih," ujar Ryeon. Laki-laki itu menyeruputnya. "Kau tidak minum?" tanya Ryeon setelah meletakan cangkir tehnya.  "Dae Eun Jung menggeleng. Aku lebih suka bir daripada teh," jawabnya. Itu memang faktanya. Apalagi, bir adalah minuman termahal baginya.  "Apa di rumahmu ada Bir?" Pertanyaan itu membuat Dae Eun Jung menggeleng.  Menghela napasnya keras, menepuk pahanya. "Setelah reda, aku akan menyuruh sopirku untuk membawakan bir. Kita minum bersama," kata Ryeon sambil tersenyum.  "Tidak perlu repot-repot. Aku kasihan dengan supirmu itu. Dia lebih terlihat sebagai asistenmu daripada supir," terang Dae Eun Jung. Ryeon justru terkekeh, membuat Dae Eun Jung menyergit.  "Kau tau? Dia bisa menjadi apapun yang aku mau. Dia tidak digaji untuk menjadi supir saja," terang Ryeon.  "Kau ternyata memang orang kaya. Sepertinya kau salah memilih teman," ujar Dae Eun Jung, kemudian tersenyum getir.  Berdecak, Ryeon menatap Dae Eun Jung tak suka. "Sudah kukatakan, aku berteman dengan siapapun. Asal dia baik."  "Kau tidak pernah berkata seperti itu."  "Baru saja aku mengatakannya kan?" Dae Eun Jung mengangguk saja.  Jari Dae Eun Jung bergerak menyalakan televisi. Karena hujan mulai reda, jadi Dae Eun Jung tak terlalu takut jika kilat akan menyambar televisi jadulnya.   "Kau tidak takut jika televisimu disambar petir?" Ryeon meletakan cangkir teh yang baru saja diminumnya.  "Sepertinya hujan akan reda. Jadi, kemungkinan tidak akan ada petir lagi."  "Kemungkinan begitu."  Suara televisi dan rintik hujan yang mulai pelan. Membuat keduanya fokus pada acara yang sedang ditampilkan dalam layar plasma kecil tersebut.  Dae Eun Jung fokus memperhatikan tayangan televisi dimana menampilkan seorang gadis yang sedang menangis di sebuah bangku taman. Ryeon sendiri tak menjadikan acara tersebut sebagai fokusnya. Justru Dae Eun Jung yang duduk di di depannya menjadi fokus indah untuk diamati.  Saat Eun Jung menoleh, tatapan mereka bertemu. Dalam detik yang panjang Ryeon mengulas senyum manis.  Eun Jung berdeham. "K--kau tidak ingin pulang?"  Ryeon yang sadar, memutar kepalanya. Hujan sudah cukup reda tapi gerimis juga tetap bisa membuat bajunya basah. "Sepertinya, aku akan menunggu hujan benar-benar reda," jawab Ryeon saat sudah menatap Dae Eun Jung lagi.  Mengangguk perlahan. "Baiklah. Tapi kau tau, kau tidak bisa menginap di sini."  Ryeon menatap ke sekeliling rumahnya. "Apa ayahmu akan marah?" tanya Ryeon setengah berbisik.  Pertanyaan itu membuat air muka Dae Eun Jung berubah seketika. Sesuatu yang membahas orangtuanya membuatnya sedih dan juga marah.  Ryeon yang merasa ada perubahan dari mimik wajah Dae Eun Jung, segera berujar, "Ah maaf, sepertinya aku salah bicara?" Ryeon merasa bersalah. Entah mengapa matanya tiba-tiba memanas, kalau saja ia tak malu mungkin air matanya akan jatuh. Tapi untungnya, Dae Eun Jung pintar berbohong. Seolah baik-baik saja padahal hatinya terluka.  "Tidak apa-apa. Tidak akan ada yang marah karena orang tuaku sudah tidak ada." Dae Eun Jung tersenyum getir.  Seketika Ryeon benar-benar merasa bersalah. Ia tidak bermaksud membuat Dae Eun Jung mengingat masalalunya. Ia tidak bermaksud mengungkit tentang orangtuanya. "Ma--maafkan aku," ujar Ryeon pelan.  "Santai saja, ini sudah biasa. Lagipula, kau orang baru jadi wajar saja." Dae Eun Jung mengangkat sebelah bahunya dengan mata berkedip. Menjelaskan bahwa memang tidak apa-apa, meski sebenarnya ia berbohong.  "Jadi, kau tinggal sendirian?" tanya Ryeon, suaranya terdengar jelas karena hujan yang berhenti mengguyur Bumi dan televisi yang Dae Eun Jung pelankan volumenya.  Dae Eun Jung mengangguk. "Tentu."  "Kau tidak takut?"  "Apa yang harus kutakut kan?" Ryeon menggeleng.  "Kau punya kekasih?"  "Jika aku punya kekasih, aku tidak akan berteman denganmu dan juga Kang Dae. Aku cukup pintar menjaga perasaan pasanganku." Jawaban Dae Eun Jung benar-benar membuat Ryeon semakin tertarik dengan gadis di depannya itu.  "Kau tidak ingin pulang?" tanyanya lagi.  Ryeon kembali melirik ke arah kaca jendela. Lalu kembali menatap Dae Eun Jung. Laki-laki itu diam sebentar. "Boleh tidak, kalau aku menginap di rumahmu?"  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD